Mengapa dalam menerapkan Prinsip ekonomi tidak boleh bertentangan dengan ajaran agama dan hukum yang berlaku ?
Reginarizkyaabdi
Prinsip 1: Pendayagunaan atau pengejawantahan konsep ZIS dalam mengentaskan kemiskinan Pada prinsip ini umat Islam dianjurkan dengan sangat bahkan pada kondisi tertentu diwajibkan untuk membelanjakan harta-hartanya di jalan Allah secara optimal. Membelanjakan dalam arti membantu para kaum duha'afa, yatim piatau, fakir miskin dan lain-lain yang termasuk dalam 8 asnaf mustahik Zakat. Hal ini dilakukan agar dapat terwujud kesejahteraan dan keadilan sosial di masyarakat Islam karena Islam sama sekali tidak mentolerir berlangsunganya atau situasi kesenjangan mencolok antara kaum berpunya dan tidak berpunya ( the have’s and the have nots ). Sebagai contoh, b erdasarkan hasil penelitian apabila umat benar-benar menunaikan zakat lalu dikelola oleh amilin (pengurus badan amil zakat) secara benar maka tidak akan ada orang miskin (Kholilah, 2011). Pengelolaan ZIS perlu profesional agar muzaki yang menunaikan zakat dan membelanjakan hartanya atas dasar ajaran agama merasa percaya bahwa ZIS mereka sampai kepada mustahik yang benar-benar membutuhkan Prinsip 2: Larangan Riba Amat jelas surat-surat dalam al Quran terutama surat al Baqarah tentang laranga melakukan riba bagi umat Islam. Dalam dunia usaha dan perbankan riba sering dikaitkan dengan bunga bank namun sebenarnya tidak hanay tentang bunga bak tetapi menggandakan uang atau berharap mendapat keuntungan berlipat-lipat sebagaimana koperasi berkedok syariah tetapi melakukan manipulasi dengan mengiming-imingi nasabahnya dengan keuntungan banyak bahkan berkali-kali lipat dari kewajaran suatu bisnis itu bisa juga dikatakan riba. Tentang bunga bank memsang ada sedikit perbedaan pendapat dari ulama yang mengatakan bahwa bunga bank itu tidak riba namun sebagian besar ulama mengkategorikan bunga bank riba karena sistem yang ada (ekenomi kapitalis) itu sudah bukan berlandaskan nilai-nilai Islami sehingga turunan dari sistem itu yang berbentuk bunga juga bisa dikatakan riba. Hal ini mengingat juga bahwa bunga bank itu ditetapkan bahkan bisa berlipat- lipat bila misalnya nasabah gagal bayar sehingga akan terdapat siatuasi win-lose (memang kalah) antara nasabah dan pihak bank dan sebaliknya yang ini tidak dibenarkan dalam prinsip ke dua ini. Dalam konteks ini jelas Allah akan memerangi orang-orang yang menjalankan usahanya dengan sistem riba (QS al Baqarah 2: 278-279) dan Allah melarang riba tetapi menghalalkan jual beli. Riba ini dalam sejarahnya amat disenangi oleh kaum Yahudi oleh karena itu hingga kini pun kaum pebisnis Yahudi internasional masih menjalankan usahanya dengan sistem model ini. Kita jangan sampai terjebak untuk mengikuti cara-cara mereka (Yahudi dan Nasrani) karena mereka memang ingin “gaya hidup” mereka ditiru dan mengglobal, apalagi mereka tidak rela Islam berkembang sehingga ingin memisahkan agama (Islam) dari kehidupannya sehari-hari bahkan lebih jauh lagi mereka berharap orang-orang Islam ikut dengan cara-cara dan gaya hidup mereka sebagaimana Allah menggambarkan hal itu dalam QS al Baqarah ayat 120 yang artinya “Dan orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepadamu sebelum engkau mengikuti agama mereka. Katakanlah, “sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk yang (yang sebenarnya). Dan jika engkau mengikuti keinginan mereka setelah ilmu (kebenaran) sampai kepadamu, tidak akan ada bagimu pelindung dan penolong dari Allah”. Prinsp 3 Membagi Resiko (Risk Sharing ) Ekonomi Islam yang berjalan dalam azas kebersamaan dan keadilan itu tidak membolehkan salah satu pihak yang berkongsi menderita kerugian atau rugi sendirian, oleh karena itu menanggung resiko kerugian pada usaha bersama secara adil dan bijak mesti dilakukan agar tidak ada salah satu pihak yang merasa terdzholimi dan tidak puas. Prinsip ini mengajak umat Islam yang berbisnis selalu senasib dan sependeritaan, jika untung mesti sama-sama untung dan jika rugi mesti sama-sama menanggungnya. Inilah suatu ajaran bisnis yang mengajarkan kita dalam kebersamaan, adil, fair, transparan.Hal-hal seperti itulah yang seharusnya ditumbuh-kembangkan dalam ekonomi Islam.
konsep ZIS dalam mengentaskan kemiskinan
Pada prinsip ini umat Islam dianjurkan dengan
sangat bahkan pada kondisi tertentu diwajibkan
untuk membelanjakan harta-hartanya di jalan
Allah secara optimal. Membelanjakan dalam arti
membantu para kaum duha'afa, yatim piatau,
fakir miskin dan lain-lain yang termasuk dalam 8
asnaf mustahik Zakat. Hal ini dilakukan agar
dapat terwujud kesejahteraan dan keadilan sosial
di masyarakat Islam karena Islam sama sekali
tidak mentolerir berlangsunganya atau situasi
kesenjangan mencolok antara kaum berpunya dan
tidak berpunya ( the have’s and the have nots ).
Sebagai contoh, b erdasarkan hasil penelitian
apabila umat benar-benar menunaikan zakat lalu
dikelola oleh amilin (pengurus badan amil zakat)
secara benar maka tidak akan ada orang miskin
(Kholilah, 2011). Pengelolaan ZIS perlu
profesional agar muzaki yang menunaikan zakat
dan membelanjakan hartanya atas dasar ajaran
agama merasa percaya bahwa ZIS mereka
sampai kepada mustahik yang benar-benar
membutuhkan
Prinsip 2: Larangan Riba
Amat jelas surat-surat dalam al Quran terutama
surat al Baqarah tentang laranga melakukan riba
bagi umat Islam. Dalam dunia usaha dan
perbankan riba sering dikaitkan dengan bunga
bank namun sebenarnya tidak hanay tentang
bunga bak tetapi menggandakan uang atau
berharap mendapat keuntungan berlipat-lipat
sebagaimana koperasi berkedok syariah tetapi
melakukan manipulasi dengan mengiming-imingi
nasabahnya dengan keuntungan banyak bahkan
berkali-kali lipat dari kewajaran suatu bisnis itu
bisa juga dikatakan riba. Tentang bunga bank
memsang ada sedikit perbedaan pendapat dari
ulama yang mengatakan bahwa bunga bank itu
tidak riba namun sebagian besar ulama
mengkategorikan bunga bank riba karena sistem
yang ada (ekenomi kapitalis) itu sudah bukan
berlandaskan nilai-nilai Islami sehingga turunan
dari sistem itu yang berbentuk bunga juga bisa
dikatakan riba. Hal ini mengingat juga bahwa
bunga bank itu ditetapkan bahkan bisa berlipat-
lipat bila misalnya nasabah gagal bayar sehingga
akan terdapat siatuasi win-lose (memang kalah)
antara nasabah dan pihak bank dan sebaliknya
yang ini tidak dibenarkan dalam prinsip ke dua
ini. Dalam konteks ini jelas Allah akan memerangi
orang-orang yang menjalankan usahanya dengan
sistem riba (QS al Baqarah 2: 278-279) dan Allah
melarang riba tetapi menghalalkan jual beli. Riba
ini dalam sejarahnya amat disenangi oleh kaum
Yahudi oleh karena itu hingga kini pun kaum
pebisnis Yahudi internasional masih menjalankan
usahanya dengan sistem model ini. Kita jangan
sampai terjebak untuk mengikuti cara-cara
mereka (Yahudi dan Nasrani) karena mereka
memang ingin “gaya hidup” mereka ditiru dan
mengglobal, apalagi mereka tidak rela Islam
berkembang sehingga ingin memisahkan agama
(Islam) dari kehidupannya sehari-hari bahkan
lebih jauh lagi mereka berharap orang-orang
Islam ikut dengan cara-cara dan gaya hidup
mereka sebagaimana Allah menggambarkan hal
itu dalam QS al Baqarah ayat 120 yang artinya
“Dan orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan
rela kepadamu sebelum engkau mengikuti agama
mereka. Katakanlah, “sesungguhnya petunjuk
Allah itulah petunjuk yang (yang sebenarnya).
Dan jika engkau mengikuti keinginan mereka
setelah ilmu (kebenaran) sampai kepadamu, tidak
akan ada bagimu pelindung dan penolong dari
Allah”.
Prinsp 3 Membagi Resiko (Risk Sharing )
Ekonomi Islam yang berjalan dalam azas
kebersamaan dan keadilan itu tidak membolehkan
salah satu pihak yang berkongsi menderita
kerugian atau rugi sendirian, oleh karena itu
menanggung resiko kerugian pada usaha bersama
secara adil dan bijak mesti dilakukan agar tidak
ada salah satu pihak yang merasa terdzholimi
dan tidak puas. Prinsip ini mengajak umat Islam
yang berbisnis selalu senasib dan sependeritaan,
jika untung mesti sama-sama untung dan jika
rugi mesti sama-sama menanggungnya. Inilah
suatu ajaran bisnis yang mengajarkan kita dalam
kebersamaan, adil, fair, transparan.Hal-hal seperti
itulah yang seharusnya ditumbuh-kembangkan
dalam ekonomi Islam.