Benteng Stelsel atau Aturan Benteng merupakan sebuah strategi perang yang diterapkan oleh Belanda untuk mengalahkan musuh-musuhnya. Siasat perang ini dicetuskan oleh Jenderal de Kock,[1] kemudian diterapkan pada Perang Diponegoro dan atas kemenangan Belanda dalam perang tersebut, strategi ini kembali digunakan dalam Perang Padri.
Hendrik Merkus de Kock, pelopor Benteng Stelsel
Secara garis besar strategi perang ini adalah pada setiap kawasan yang sudah berhasil dikuasai Belanda, dibangun benteng pertahanan atau kubu pertahanan, kemudian dari masing kubu pertahanan tersebut dibangun infrastruktur penghubung seperti jalan atau jembatan.
Penggunaan strategi Benteng Stelsel pada satu sisi berhasil mempercepat peperangan yang banyak menghabiskan biaya, dengan menjepit kedudukan musuh sekaligus dapat mengendalikan wilayah yang dikuasai, namun sisi lain taktik ini memberi dampak pada pengerahan tenaga kerja paksa yang banyak terutama untuk membangun infrastruktur dalam mendukung strategi tersebut. Pada awalnya taktik perang ini kurang disukai oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda de Gisignies yang dianggapnya juga memerlukan biaya yang besar namun tekanan untuk dapat mempercepat penyelesaian perang di Hindia Belanda, strategi ini tetap dipertahankan.[2]
Dalam Perang Diponegoro, pada tahun 1827 strategi ini mulai diterapkan,[3] untuk dapat mempersempit kedudukan Pangeran Diponegoro, maka dibangun benteng di Semarang, kemudian Ambarawa, Muntilan, Kulon Progo, dan Magelang.[4] Penerapan dari taktik ini kemudian menghasilkan sekitar 165 benteng baru yang tersebar di Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur. Banyaknya benteng baru yang dibangun Belanda dalam perang ini tidak lepas dari taktik gerilya yang diterapkan oleh Pangeran Diponegoro serta posisi komandonya yang selalu berpindah tempat.
Namun pengaruh strategi ini berhasil mempersempit pergerakan pasukan Pangeran Diponegoro. Sampai tahun 1828 beberapa panglima perang Pangeran Diponegoro mulai banyak ditangkap oleh Belanda, kemudian pada tahun 1829 banyak yang mulai menyerah. Puncaknya Pangeran Diponegoro ditangkap tanggal 28 Maret 1830 di Magelang, dan perang di Jawa kemudian dianggap selesai.
Ketika Belanda kembali melanjutkan ekspansi kolonialisasinya di Sumatera. Dalam Perang Padri, taktik perang ini kembali diterapkan, setelah menguasai Bukittinggi kemudian Belanda membangun sebuah benteng yang dinamai Fort de Kock, didedikasikan pada Hendrik Merkus de Kock, pelopor Benteng Stelsel. Pendirian Fort de Kock ini berhasil mempersempit gerakan perlawanan Kaum Padri, kemudian dari benteng ini Belanda membangun jalur jalan ke Bonjol guna memudahkan mobilisasi pasukannya dalam menaklukan markas utama Tuanku Imam Bonjol, dan pada tanggal 16 Agustus 1837 Benteng Bonjol pun secara keseluruhan dapat ditaklukkan oleh Belanda.
Benteng Stelsel atau Aturan Benteng merupakan sebuah strategi perang yang diterapkan oleh Belanda untuk mengalahkan musuh-musuhnya. Siasat perang ini dicetuskan oleh Jenderal de Kock,[1] kemudian diterapkan pada Perang Diponegoro dan atas kemenangan Belanda dalam perang tersebut, strategi ini kembali digunakan dalam Perang Padri.
Hendrik Merkus de Kock, pelopor Benteng StelselSecara garis besar strategi perang ini adalah pada setiap kawasan yang sudah berhasil dikuasai Belanda, dibangun benteng pertahanan atau kubu pertahanan, kemudian dari masing kubu pertahanan tersebut dibangun infrastruktur penghubung seperti jalan atau jembatan.
Penggunaan strategi Benteng Stelsel pada satu sisi berhasil mempercepat peperangan yang banyak menghabiskan biaya, dengan menjepit kedudukan musuh sekaligus dapat mengendalikan wilayah yang dikuasai, namun sisi lain taktik ini memberi dampak pada pengerahan tenaga kerja paksa yang banyak terutama untuk membangun infrastruktur dalam mendukung strategi tersebut. Pada awalnya taktik perang ini kurang disukai oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda de Gisignies yang dianggapnya juga memerlukan biaya yang besar namun tekanan untuk dapat mempercepat penyelesaian perang di Hindia Belanda, strategi ini tetap dipertahankan.[2]
Dalam Perang Diponegoro, pada tahun 1827 strategi ini mulai diterapkan,[3] untuk dapat mempersempit kedudukan Pangeran Diponegoro, maka dibangun benteng di Semarang, kemudian Ambarawa, Muntilan, Kulon Progo, dan Magelang.[4] Penerapan dari taktik ini kemudian menghasilkan sekitar 165 benteng baru yang tersebar di Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur. Banyaknya benteng baru yang dibangun Belanda dalam perang ini tidak lepas dari taktik gerilya yang diterapkan oleh Pangeran Diponegoro serta posisi komandonya yang selalu berpindah tempat.
Namun pengaruh strategi ini berhasil mempersempit pergerakan pasukan Pangeran Diponegoro. Sampai tahun 1828 beberapa panglima perang Pangeran Diponegoro mulai banyak ditangkap oleh Belanda, kemudian pada tahun 1829 banyak yang mulai menyerah. Puncaknya Pangeran Diponegoro ditangkap tanggal 28 Maret 1830 di Magelang, dan perang di Jawa kemudian dianggap selesai.
Ketika Belanda kembali melanjutkan ekspansi kolonialisasinya di Sumatera. Dalam Perang Padri, taktik perang ini kembali diterapkan, setelah menguasai Bukittinggi kemudian Belanda membangun sebuah benteng yang dinamai Fort de Kock, didedikasikan pada Hendrik Merkus de Kock, pelopor Benteng Stelsel. Pendirian Fort de Kock ini berhasil mempersempit gerakan perlawanan Kaum Padri, kemudian dari benteng ini Belanda membangun jalur jalan ke Bonjol guna memudahkan mobilisasi pasukannya dalam menaklukan markas utama Tuanku Imam Bonjol, dan pada tanggal 16 Agustus 1837 Benteng Bonjol pun secara keseluruhan dapat ditaklukkan oleh Belanda.