manda48Pemuda pertama adalah Berney Tambonop, pemuda Merauke- Papua yang tak terpikir sama sekali untuk jadi pegawai kantoran. Ia malah bersikeras ingin menjadi pelaut seperti ayahnya. Lalu ada Guntoro yang berasal dari jawa timur demikian pula, ia malah pernah kabur dari rumah demi mengelakkan tes masuk STPDN. Abdi Praja, pemuda asal Pariaman –Sumatera Barat hanya mempeturutkan arus, ia ikut saja apa kata apaknya yang berciloteh hebatnya sekolah di Bandung, “tak membayar, wa’ang malah digaji. Baju dicucikan. Makan tinggal suap. Tas dan buku peray sajo.” Katanya berapi-api. Abdi mengangguk saja sembari mencerna setengah tak percaya. Dari penjuru Indonesia paling timur, datanglah sosok anak muda bermata tajam, Teuku Faisal, anak Yatim Piatu yang tak sangka menyangka masuk sekolah Pamong Praja itu. Hanya Abdul Rohman saja, pemuda asal Solo yang mati-matian berjuang lulus masuk STPDN. Maklum tubuhnya yang gembrot memaksa ia jauh-jauh tahun untuk mengecilkan lingkar perutnya. Abdul lari saban pagi, keliling taman Swedari Solo sampai berpeluh-peluh. Perutnya tak kunjung menciut, tapi ia berhasil melangkah, memasuki gerbang STPDN. Kisah yang mereka peroleh ketika bertemu para senior tak sepenuhnya meninggalkan goresan luka. Tak semua senior berlaku garang. Kisah-kisah manis juga kerap mereka kecap di kampus yang berada di kaki Gunung Manglayang. Bahkan Abdi bertemu dengan gadis Makasar yang membuat hatinya berkibar-kibar tiap bola matanya bersirobok dengan mata sang gadis. Namun yang paling mengesankan bagi Abdi adalah persahabatan yang terajut indah akibat perasaan senasib dengan rekan-rekannya. Ego kedaerahan mereka singkirkan jauh, diganti dengan rasa bersimpati satu dengan lainnya. ***** Demikian sekilas tentang Novel Sang Abdi Praja. Novel ini saya tulis berdasarkan kejadian nyata yang saya alami selama menempuh pendidikan di STPDN (Sekarang IPDN) dari tahun 1995-1999. Masa-masa dalam era Orde Baru. Saya akui kekerasan memang terjadi disana, tetapi bukanlah sehoror yang terbayang dalam benak kita tatkala media gencar-gencarnya menyoroti kasus kematian Wahyu Hidayat (2003) maupun Cliff Muntu (2007). Imej terbentuk seakan praja (mahasiswa) STPDN dari bangun pagi hingga kembali tidur hanya penyiksaan semata. Banyak kisah-kisah positif yang tak terungkap, namun demikian saya juga tak menutup-nutupi kisah kekerasan yang memang terjadi disana. Saya coba sajikan berimbang. Sehingga publik dapat menilai, apa yang perlu dibenahi demi mencetak para Pamong Praja yang handal dan professional serta mampu memberikan pelayanan dan pengabdian demi kepentingan masyarakat dan Negara RI. Selain itu, novel ini diharapkan dapat menggugah semangat nasionalisme yang mesti kita akui mulai menipis dalam sanubari para pelayan Negara ini.