adrian262
Amir Amir Syarifuddin Harahap) (lahir di Medan, Sumatera Utara, 27 April 1907 – meninggal di Surakarta, Jawa Tengah, 19 Desember 1948 pada umur 41 tahun) adalah seorang politikus sosialis dan salah satu pemimpin terawal Republik Indonesia. Ia menjabat sebagai Perdana Menteri ketika Revolusi Nasional Indonesia sedang berlangsung.[1]Berasal dari keluarga Batak Muslim, Amir menjadi pemimpin sayap kiriterdepan pada masa Revolusi. Pada tahun 1948, ia dieksekusi mati oleh pemerintah karena terlibat dalam pemberontakan komunis. Lahir dalam aristokrasi Sumatera di kota Medan, latar belakang Amir yang kaya dan kemampuan intelektual yang luar biasa memungkinkan dia untuk masuk ke sekolah-sekolah paling elit; ia dididik di Haarlem dan Leiden di Belandasebelum memperoleh gelar sarjana hukum di Batavia (sekarang Jakarta).[1]Selama waktunya di Belanda ia belajar filsafat Timur dan Barat di bawah pengawasan Theosophical Society.[1]Amir pindah dari Islam ke Kristen pada tahun 1931.[1] Ada bukti khotbah ia berikan dalam gereja Protestan terbesar di Batak Batavia.
Ayahnya, Djamin gelar Baginda Soripada (1885-1949), seorang jaksa di Medan. Ibunya, Basunu Siregar (1890-1931), dari keluarga Batak yang telah membaur dengan masyarakat Melayu-Islam di Deli. Ayahnya keturunan keluarga kepala adat dari Pasar Matanggor di Padang Lawas, Tapanuli.
Amir menikmati pendidikan di ELS atau sekolah dasar Belanda di Medan pada tahun 1914 hingga selesai Agustus 1921. Atas undangan saudara sepupunya, T.S.G. Mulia yang baru saja diangkat sebagai anggota Volksraaddan belajar di kota Leiden sejak 1911, Amir pun berangkat ke Leiden. Tak lama setelah kedatangannya dalam kurun waktu 1926-1927 dia menjadi anggota pengurus perhimpunan siswa Gymnasium di Haarlem, selama masa itu pula Amir aktif terlibat dalam diskusi-diskusi kelompok kristen misalnya dalam CSV-op Java yang menjadi cikal bakal GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia). Ia tinggal di rumah guru pemeluk Kristen Calvinis, Dirk Smink, dan di sini juga Mulia menumpang.
Namun pada September 1927, sesudah lulus ujian tingkat kedua, Amir kembali ke kampung halaman karena masalah keluarga, walaupun teman-teman dekatnya mendesak agar menyelesaikan pendidikannya di Leiden. Kemudian Amir masuk Sekolah Hukum di Batavia, menumpang di rumah Mulia (sepupunya) yang telah menjabat sebagai direktur sekolah pendidikan guru di Jatinegara. Kemudian Amir pindah ke asrama pelajar Indonesisch Clubgebouw, Kramat 106, ia ditampung oleh senior satu sekolahnya, Mr. Muhammad Yamin.
1 votes Thanks 2
adrian262
kalo muso sih saya agak kurang tahu hehe
Lahir dalam aristokrasi Sumatera di kota Medan, latar belakang Amir yang kaya dan kemampuan intelektual yang luar biasa memungkinkan dia untuk masuk ke sekolah-sekolah paling elit; ia dididik di Haarlem dan Leiden di Belandasebelum memperoleh gelar sarjana hukum di Batavia (sekarang Jakarta).[1]Selama waktunya di Belanda ia belajar filsafat Timur dan Barat di bawah pengawasan Theosophical Society.[1]Amir pindah dari Islam ke Kristen pada tahun 1931.[1] Ada bukti khotbah ia berikan dalam gereja Protestan terbesar di Batak Batavia.
Ayahnya, Djamin gelar Baginda Soripada (1885-1949), seorang jaksa di Medan. Ibunya, Basunu Siregar (1890-1931), dari keluarga Batak yang telah membaur dengan masyarakat Melayu-Islam di Deli. Ayahnya keturunan keluarga kepala adat dari Pasar Matanggor di Padang Lawas, Tapanuli.
Amir menikmati pendidikan di ELS atau sekolah dasar Belanda di Medan pada tahun 1914 hingga selesai Agustus 1921. Atas undangan saudara sepupunya, T.S.G. Mulia yang baru saja diangkat sebagai anggota Volksraaddan belajar di kota Leiden sejak 1911, Amir pun berangkat ke Leiden. Tak lama setelah kedatangannya dalam kurun waktu 1926-1927 dia menjadi anggota pengurus perhimpunan siswa Gymnasium di Haarlem, selama masa itu pula Amir aktif terlibat dalam diskusi-diskusi kelompok kristen misalnya dalam CSV-op Java yang menjadi cikal bakal GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia). Ia tinggal di rumah guru pemeluk Kristen Calvinis, Dirk Smink, dan di sini juga Mulia menumpang.
Namun pada September 1927, sesudah lulus ujian tingkat kedua, Amir kembali ke kampung halaman karena masalah keluarga, walaupun teman-teman dekatnya mendesak agar menyelesaikan pendidikannya di Leiden. Kemudian Amir masuk Sekolah Hukum di Batavia, menumpang di rumah Mulia (sepupunya) yang telah menjabat sebagai direktur sekolah pendidikan guru di Jatinegara. Kemudian Amir pindah ke asrama pelajar Indonesisch Clubgebouw, Kramat 106, ia ditampung oleh senior satu sekolahnya, Mr. Muhammad Yamin.