Aku tinggal di daerah pinggiran kota Jember. Lingkungan tempat tinggalku masih cukup asri dan nyaman. Pepohonan rimbun nan hijau masih dapat ditemukan disini. Sehingga tidak ada kecemasan kami, penghuni desa Keting ini, dilanda kekeringan atau kekeringan air pada musim kemarau tiba.. Selain itu, sebagaian besar penduduk di desaku bekerja mengolah persawahan dan perkebunan. Nah, tidak salah kiranya jika desaku nampak seperti Green Monster yang gagah perkasa. Sebuah sebutan bagi desa tercintaku yang sering aku banggakan kepada saudara-saudaraku di luar daerah.
Di desaku juga terdapat kawasan hutan kecil yang masih terjaga. Pepohonon yang berumur sangat tua dan fauna liar, misalnya beberapa jenis burung, ular, kadal, dan musang pun masih betah tinggal dan berkembang biak disini. Belum lagi kali mati buatan penjajah, sekarang menjadai rawa, menambah asrinya desaku. Singkat kata, desaku: desa kecil, berpotensi besar.
Namun keperkasaan sang Green Monster telah kehilangan taringnya. Betapa tidak, hijaunya desaku telah berganti dengan lubang-lubang terjal, tandus tanpa pepohonan. Disana-sini, bau ampas padi mengepul dan terbang ditiup angin, menyesakkan dada bagi siapa saja yang melintas disana. Burung-burung yang asyik berpaduan suara setiap pagi pun sampai detik ini tampak enggan mendedangkan lagu terbaik mereka. Toh, jika ada pun, bagiku itu merupakan jeritan dan tangisan yang mungkin hanya aku saja yang dapat memahaminya. Ya, para pemilik lahan pencetakan batu bata, inilah yang merubah sang Green Monster. Merekalah yang telah mengebiri keperkasaannya. Oh ... . Menurutku, tak apalah mengolah lahan untuk pencetakan batu bata. Siapa yang akan menyalahkan mereka?. Apalagi kondisi ekonomi saat ini cukup sulit untuk mencari kerja. Dengan adanya sektor ekonomi ini ternyata dapat membuka lapangan kerja baru bagi penduduk di sekitarnya. Utamanya di desaku. Kebanyakan, para pekerja ini adalah pekerja musiman, pekerja sambilan selain sebagai buruh tani. Selama menunggu musim tanam dan panen tiba, mereka menyibukkan diri di sektor ini. Walau upah tak setinggi pegawai negeri, namun cukuplah untuk makan sehari
1 votes Thanks 1
1901
Apalagi, jalan yang melintasi desaku adalah jalan alternatif. Seringkali para pengendara kendaraan bermotor yang tak bersurat kendaraan lengkap memilih jalan ini, jika polisi lalu lintas melakukan aksinya di jalan raya yang tak jauh dari desa kami. Bahkan tak jarang mobil-mobil besar, truk pengangkut kayu, batu dan bus pun turut meramaikan jalan ini.
1901
Kadang aku ngeri sendiri membayangkan tiba-tiba jalan itu runtuh, ambruk, ketika tak mampu menahan beratnya beban kendaraan yang melintas. Sampai berapa lama lagi, jalan ini mampu bertahan?. Duh, Gusti Allah ... .
1901
Dalam suatu kesempatan, aku pernah meminta pendapat ayah tentang masalah ini. “Ayah, apa akibat yang akan dirasakan apabila jalan ini benar-benar ambruk di kemudian hari?”. “Entahlah,”jawab ayah sambil menghela nafas. “Mungkin si pemilik lahan itu baru menyadari kecerobohannya. Menurut ayah, pihak yang paling merasakan akibat buruk dan kerugiannya adalah kita, penduduk disini, dan pemerintah desa,”lanjut ayah.
1901
“Tentu saja. Saya setuju dengan pendapat ayah. Apalagi ambruknya jalan yang nantinya diperkirakan beratus-ratus meter ini dapat dipastikan akan menggangu aktifitas mereka. Nah, Rara tidak habis pikir mengapa pihak pemerintah desa kita hanya diam, tidak ada tidakan apa pun. Padahal, sepengetahuan Rara penggalian lahan untuk batu bata ini kan ada peraturan dan undang-undangnya?,”sambungku dengan berapi-api.
1901
Ayah tersenyum melihat tingkahku. “Ayah tidak bisa menjawab dengan pasti tentang pertanyaan mu itu, Ra?,” . Sejenak kami diam seribu bahasa. “Namun yang pasti, ayah meyakini bahwa pemerintah desa kita telah berupaya melakukan tindakan-tindakan pencegahan ambruknya jalan ini. Salah satunya, dengan cara pengerasan dan pengaspalan jalan ini,”sambung beliau.
1901
“Tapi, itu tidak cukup. Toh, nantinya tetap saja jalan akan ambruk. Menurut rara, apa tidak lebih baik langkah pertama adalah menyumbat aliran air rawa yang masuk ke bekas galian dengan cara membuat tanggul. Kemudian, galian yang terlanjur dibiarkan itu dimanfaatkan sebagai lahan pertanian atau mungkin ditanami pepohonan berakar kuat dan besar. Harapannya, struktur tanah menjadi lebih stabil dan mampu menahan gerusan air hujan.
1901
Namun pemerintah desa seharusnya tetap mengusakan untuk penterasiringan dan pengerasan dinding jalan seperti di sungai-sungai itu, Yah,”terangku.
1901
“Hem, boleh juga pendapatmu itu. Tak salah puteri ayah ini jadi bintang kelas terus-menerus,”puji beliau sambil mengacungkan jempul dua ke arah ku. “Ah, ayah, bisa saja. Rara kan hanya menyuarakan hak rara sebagai warga desa ini,”ujarku sambil malu-malu.
1901
“Ra, kebetulan besok ada musyawarah akhir tahun di balai desa. Coba kamu sampaikan pendapat kamu itu di depan warga. Tenang saja, nanti kamu ayah temani. Bagaimana?,”bujuk ayah.
Wah, kesempatan baik ini, pikirku. Tenang saja, ayah. Rara sudah siap presentasi. Tunggu saja, rara siap beraksi ... !.
Aku tinggal di daerah pinggiran kota Jember. Lingkungan tempat tinggalku masih cukup asri dan nyaman. Pepohonan rimbun nan hijau masih dapat ditemukan disini. Sehingga tidak ada kecemasan kami, penghuni desa Keting ini, dilanda kekeringan atau kekeringan air pada musim kemarau tiba.. Selain itu, sebagaian besar penduduk di desaku bekerja mengolah persawahan dan perkebunan. Nah, tidak salah kiranya jika desaku nampak seperti Green Monster yang gagah perkasa. Sebuah sebutan bagi desa tercintaku yang sering aku banggakan kepada saudara-saudaraku di luar daerah.
Di desaku juga terdapat kawasan hutan kecil yang masih terjaga. Pepohonon yang berumur sangat tua dan fauna liar, misalnya beberapa jenis burung, ular, kadal, dan musang pun masih betah tinggal dan berkembang biak disini. Belum lagi kali mati buatan penjajah, sekarang menjadai rawa, menambah asrinya desaku. Singkat kata, desaku: desa kecil, berpotensi besar.
Namun keperkasaan sang Green Monster telah kehilangan taringnya. Betapa tidak, hijaunya desaku telah berganti dengan lubang-lubang terjal, tandus tanpa pepohonan. Disana-sini, bau ampas padi mengepul dan terbang ditiup angin, menyesakkan dada bagi siapa saja yang melintas disana. Burung-burung yang asyik berpaduan suara setiap pagi pun sampai detik ini tampak enggan mendedangkan lagu terbaik mereka. Toh, jika ada pun, bagiku itu merupakan jeritan dan tangisan yang mungkin hanya aku saja yang dapat memahaminya. Ya, para pemilik lahan pencetakan batu bata, inilah yang merubah sang Green Monster. Merekalah yang telah mengebiri keperkasaannya. Oh ... .
Menurutku, tak apalah mengolah lahan untuk pencetakan batu bata. Siapa yang akan menyalahkan mereka?. Apalagi kondisi ekonomi saat ini cukup sulit untuk mencari kerja. Dengan adanya sektor ekonomi ini ternyata dapat membuka lapangan kerja baru bagi penduduk di sekitarnya. Utamanya di desaku. Kebanyakan, para pekerja ini adalah pekerja musiman, pekerja sambilan selain sebagai buruh tani. Selama menunggu musim tanam dan panen tiba, mereka menyibukkan diri di sektor ini. Walau upah tak setinggi pegawai negeri, namun cukuplah untuk makan sehari