raulnurdiawan2
Sambil terus berlari, Sartona menuju ke rumahnya yang berada tidak jauh dari SMU Budi Utama, tempat ia sekolah. Ia sangat gembira karena hari ini adalah hari yang ia tunggu-tunggu selama hampir satu bulan akhirnya tiba, ia lulus dengan NEM yang sangat memuaskan dibanding dengan temannya ia dapat juara pertama di sekolahnya. Karena rasa gembira, ia ingin sekali cepat sampai di rumah di jalan Haji Rahmat Panjaitan, perjalanan pulang merupakan hal yang paling menyenangkan saat itu. Tapi, ia tiba-tiba di tengah jalan turun hujan lebat sehingga menghentikan gerak langkahnya. Sartona yang sudah tidak tahan dingin, ingin cepat sampai di rumah. Ia langsung menerjang hujan lebat itu tanpa ia sadari akibatnya. Gang-gang yang biasa ia lewati sekarang hanyut tenggelam oleh hujan badai itu, tapi Sartona tetap melaluinya walaupun keadaan yang kurang menyenangkan, hatinya tetap saja bernyanyi riang. Rumah Sartona cukup sederhana, dindingnya terbuat dari papan dan kayu. Terdapat juga beberapa tiang penyangga di sudut teras yang juga terbuat dari kayu. Ukiran Kaligrafi pada ujung dinding atas menambah keindahan rumah yang sudah nampak tua, namun tetap anggun itu. Teras depan digunakan sebagai ruang tamu, di ruang tamu itu terdapat dua set kursi tamu terbuat dari ukiran kayu yang sangat kokoh. Di tengah meja terdapat bunga sebagai hiasan yangcukup indah. Tiba-tiba dari halaman rumah terdengar suara. “Assalamualaikum.” “Waalaikumsalam.” Terdengar jawaban dari dalam rumah itu. Setelah itu keluarlah seorang wanita setengah baya. “Nyak, ini Sartona.” Begitulah ia menyapa orang itu dengan bahasa Betawinya. “Ada apa sih? Sartona! Ayo masuk-masuk cepat ganti pakaian nanti kamu sakit lagi, udah tahu hujan sangat lebat kok diterjang, gimana nanti kalau kamu sakit?”
“Maafin Sartona Nyak, Sartona yang salah.” “Udah-udah nggak ape-ape. Emangnya kamu lari-lari ngapain, kok nggak seperti biasanye kelihatan wajahmu senang sekali?” “Emang Nyak! Sartona lulus, Nyak.” “Kamu lulus?” “Iya, Nyak!” “Coba Nyak ngelihat ijazah, Nok?”
Karena rasa gembira, ia ingin sekali cepat sampai di rumah di jalan Haji Rahmat Panjaitan, perjalanan pulang merupakan hal yang paling menyenangkan saat itu. Tapi, ia tiba-tiba di tengah jalan turun hujan lebat sehingga menghentikan gerak langkahnya. Sartona yang sudah tidak tahan dingin, ingin cepat sampai di rumah. Ia langsung menerjang hujan lebat itu tanpa ia sadari akibatnya. Gang-gang yang biasa ia lewati sekarang hanyut tenggelam oleh hujan badai itu, tapi Sartona tetap melaluinya walaupun keadaan yang kurang menyenangkan, hatinya tetap saja bernyanyi riang.
Rumah Sartona cukup sederhana, dindingnya terbuat dari papan dan kayu. Terdapat juga beberapa tiang penyangga di sudut teras yang juga terbuat dari kayu. Ukiran Kaligrafi pada ujung dinding atas menambah keindahan rumah yang sudah nampak tua, namun tetap anggun itu. Teras depan digunakan sebagai ruang tamu, di ruang tamu itu terdapat dua set kursi tamu terbuat dari ukiran kayu yang sangat kokoh. Di tengah meja terdapat bunga sebagai hiasan yangcukup indah.
Tiba-tiba dari halaman rumah terdengar suara.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Terdengar jawaban dari dalam rumah itu. Setelah itu keluarlah seorang wanita setengah baya.
“Nyak, ini Sartona.” Begitulah ia menyapa orang itu dengan bahasa Betawinya.
“Ada apa sih? Sartona! Ayo masuk-masuk cepat ganti pakaian nanti kamu sakit lagi, udah tahu hujan sangat lebat kok diterjang, gimana nanti kalau kamu sakit?”
“Maafin Sartona Nyak, Sartona yang salah.”
“Udah-udah nggak ape-ape. Emangnya kamu lari-lari ngapain, kok nggak seperti biasanye kelihatan wajahmu senang sekali?”
“Emang Nyak! Sartona lulus, Nyak.”
“Kamu lulus?”
“Iya, Nyak!”
“Coba Nyak ngelihat ijazah, Nok?”