bargas1. Pemilih Tradisional Cirinya, tunduk dan patuh pada patronnya. Umumnya tinggal dipedesaan atau daerah terpencil yang masih kental nuansa feodalnya. Tingkat pendidikannya juga biasanya menengah kebawah. Hidup dalam kebersahajaan dan cenderung memandang pemilu sebagai sesuatu yang "berbahaya". Sehingga pemilu bukan dianggap sebagai perwujudan demokrasi sebagaimana dibuku teks demokrasi. Tetapi pemilu dianggap sebagai "kondisi kritis" yang bisa berakibat fatal terhadap eksistensi atas kebersahajaan mereka. Dengan demikian, ketundukan pada patron sangat kuat. Siapa yang dipilih oleh patron, itu yang mereka juga pilih. Kategori seperti ini memudahkan bagi calon untuk memperoleh suara yang banyak, yaitu tinggal meyakinkan patronnya sehingga para klien pun turut.
2. Pemilih Cerdas Mendapatkan pengetahuan yang cukup dari berbagai media. Memahami pemilu layaknya buku teks book dengan semua idealitas demokrasi. Sedikit banyaknya mengetahui isu politik, wacana pembangunan, relevansi pemilu dengan pembangunan dan sebagainya. Satu suaranya akan menjadi teramat sulit didapatkan. Sebab butuh argumentasi kuat dari calon untuk menyakinkannya. Pemilih cerdas ~dengan pengetahuan dan informasi yang didapatkan~ akan mempelajari rekam jejak dari calon, dan informasi sebanyak-banyaknya tentang calon yang akan dipilih lalu dibandingkannya dengan calon lain. Untuk menyakinkan pemilih cerdas, calon cukup memamerkan rekam jejak yang baik, visi dan misi yang tajam, dan kontrak politik yang adil. Tetapi kategori pemilih seperti ini persentasenya rendah.
3. Pemilih Pragmatis The real dollar hunter, mungkin gelar yang tepat. Memandang calon layaknya brankas atau ATM berjalan. Jika menjadi tim, ia punya permintaan yang banyak namun kinerja pemenangan yang minim. Terkadang main 2 atau 3 kaki demi memaksimalkan pundi-pundinya. Kesetiaan dan konsistensi pada calon adalah urusan kesekian. Biasanya ngomongnya besar tapi kerjanya kecil. Suka mengklaim banyak pengikut seolah patron ditempatnya. Mempunyai retorika yang mantap untuk menutupi dua atau tigalisme hatinya. Pemilih pragmatis ini yang menjadi salah satu penyebab mahalnya biaya pemilu dan maraknyaMoney Politics.
4. Pemilih Apatis Tidak memiliki patron layaknya pemilih tradisional, memiliki pengetahuan layaknya pemilih cerdas namun tidak percaya kredibilitas calon. Terkadang pada titik apatismenya ia berprinsip "Siapapun yang terpilih tidak berpengaruh terhadap kesejahteraan rakyat". Sangat apriori terhadap para calon. Biasanya memilih golput sebagai final solutions terhadap masalah bangsa. Pemilih apatis kadang berubah menjadi pemilih pragmatis.
pilpres
pides
Cirinya, tunduk dan patuh pada patronnya. Umumnya tinggal dipedesaan atau daerah terpencil yang masih kental nuansa feodalnya. Tingkat pendidikannya juga biasanya menengah kebawah. Hidup dalam kebersahajaan dan cenderung memandang pemilu sebagai sesuatu yang "berbahaya". Sehingga pemilu bukan dianggap sebagai perwujudan demokrasi sebagaimana dibuku teks demokrasi. Tetapi pemilu dianggap sebagai "kondisi kritis" yang bisa berakibat fatal terhadap eksistensi atas kebersahajaan mereka.
Dengan demikian, ketundukan pada patron sangat kuat. Siapa yang dipilih oleh patron, itu yang mereka juga pilih. Kategori seperti ini memudahkan bagi calon untuk memperoleh suara yang banyak, yaitu tinggal meyakinkan patronnya sehingga para klien pun turut.
2. Pemilih Cerdas
Mendapatkan pengetahuan yang cukup dari berbagai media. Memahami pemilu layaknya buku teks book dengan semua idealitas demokrasi. Sedikit banyaknya mengetahui isu politik, wacana pembangunan, relevansi pemilu dengan pembangunan dan sebagainya. Satu suaranya akan menjadi teramat sulit didapatkan. Sebab butuh argumentasi kuat dari calon untuk menyakinkannya.
Pemilih cerdas ~dengan pengetahuan dan informasi yang didapatkan~ akan mempelajari rekam jejak dari calon, dan informasi sebanyak-banyaknya tentang calon yang akan dipilih lalu dibandingkannya dengan calon lain. Untuk menyakinkan pemilih cerdas, calon cukup memamerkan rekam jejak yang baik, visi dan misi yang tajam, dan kontrak politik yang adil. Tetapi kategori pemilih seperti ini persentasenya rendah.
3. Pemilih Pragmatis
The real dollar hunter, mungkin gelar yang tepat. Memandang calon layaknya brankas atau ATM berjalan. Jika menjadi tim, ia punya permintaan yang banyak namun kinerja pemenangan yang minim. Terkadang main 2 atau 3 kaki demi memaksimalkan pundi-pundinya. Kesetiaan dan konsistensi pada calon adalah urusan kesekian.
Biasanya ngomongnya besar tapi kerjanya kecil. Suka mengklaim banyak pengikut seolah patron ditempatnya. Mempunyai retorika yang mantap untuk menutupi dua atau tigalisme hatinya. Pemilih pragmatis ini yang menjadi salah satu penyebab mahalnya biaya pemilu dan maraknyaMoney Politics.
4. Pemilih Apatis
Tidak memiliki patron layaknya pemilih tradisional, memiliki pengetahuan layaknya pemilih cerdas namun tidak percaya kredibilitas calon. Terkadang pada titik apatismenya ia berprinsip "Siapapun yang terpilih tidak berpengaruh terhadap kesejahteraan rakyat". Sangat apriori terhadap para calon.
Biasanya memilih golput sebagai final solutions terhadap masalah bangsa.
Pemilih apatis kadang berubah menjadi pemilih pragmatis.