Judul : Pizza dari Surga Penulis : Rini Handayani Penerbit : Dioma Cetakan : November, 2016 Tebal : 254 ISBN : 978–979- 26-0155-8 Pizza terasa nikmat karena terbuat dari campuran berbagai bahan. Jika tiap bahan dipisah tersendiri, terasa hambar. Jagung, daging, dan kentang jika dimakan terasa biasa saja. Paprika dan bawang bombai justru tidak enak. Namun, ketika semua bahan diracik menjadi pizza, rasanya sangat spesial. Begitulah gambaran hidup yang hendak dituturkan buku ini. Hidup adalah pizza yang dibikin Tuhan buat manusia. Tuhan membuatnya di surga. Dia adalah Koki terhebat yang tidak pernah gagal menghidangkan kelezatan. Kesedihan, kegembiraan, kesuksesan, kegagalan, dan ratusan kondisi yang dialami manusia adalah toping-nya. Jika kesedihan hanya dilihat secara parsial, akan terasa seperti merica. Namun, jika dirangkai dengan berbagai kondisi lain, akan menjadi penyedap pizza kehidupan. Tuhan tidak pernah salah mengkreasi kehidupan. Jika manusia merasa hidupnya susah, berarti salah sendiri, tidak paham cara menyantap pizza kehidupan (hlm 6). Tuhan sangat mengasihi manusia. Kasih-Nya tersebar dalam ruang dan waktu. Segala yang dicipta isyarat manusia makhluk istimewa. Dia berhak mendapat cinta dalam setiap jengkal hidup. Dari kupu-kupu, manusi belajar tentang cinta. Dia tersentak ketika telunjuknya ada kupu-kupu cantik yang biasa hinggap di bunga. “Ajari aku cinta yang membuatmu memberi kesempatan jariku kau hinggapi. Ajari aku cinta yang membuatmu ramah. Dengan mau hinggap di jariku, membuatku bersyukur bahwa kupu-kupu saja mengasihiku. Maka Sang Maha Cinta pastilah lebih-lebih mengasihiku (hlm 28).” Cinta adalah cara terbaik menyantap pizza kehidupan. Tanpa cinta, setiap persoalan dianggap sebagai melulu masalah, bukan bagian pizza yang Tuhan sajikan. Rini Handayani intens melayani gereja. Dia sangat paham bahwa tanpa cinta, tidak mungkin orang bisa bertahan menjadi pelayan gereja. Apa pun pekerjaan tidak luput dari perselisihan dan ketidaksepahaman karena setiap orang ingin senang. Dia mau tampil di depan dan berobsesi menjadi sosok yang diperhitungkan. Namun atas nama cinta, persoalan demikian bukan prioritas. Atas nama cinta, pelayanan adalah kesejatian, kendatipun bertugas di sektor sepele. “Melayani tidak harus di depan. Bahkan, memberi diri merapikan motor-motor jemaat pun juga bentuk pelayanan (hlm 80).” Dengan pandangan cinta, setiap persolan hidup diyakini mengandung hikmah agar manusia menjadi kreatif, tangguh, dan bersungguh-sungguh membiaskan cinta kepada umat yang lain. Masalah muncul tatkala kenyataan tidak sesuai dengan harapan. Masalah guru muncul ketika muridnya nakal. Problem orang tua saat anaknya tidak patuh. Jika diperhatikan, setiap orang punya masalah. Lalu, siapakah yang melahirkan masalah? Manusia sendiri! Dia kurang mencintai. Manusia juga kurang mencintai Tuhan, “Aku harus mengubah hatiku untuk mencintai Allah lebih sungguh. Dengan begitu, aku pastilah dimampukan mengubah hati anak-anak dengan cintaku,” kata Rini Handayani (hlm 21). Mencintai butuh perjuangan. Mencintai hidup dan segala yang ada di dalamnya memerlukan pengorbanan, tapi bukan nekat. Nekat adalah keberanian, tanpa perhitungan dan persiapan matang, sedangkan perjuangan dan pengorbanan berlandaskan ilmu serta perhitungan yang mapan. Dengan ilmu, manusia paham bahwa cinta itu abadi. Cinta sejati tidak takut luka karena darinya akan mengalir benih kasih yang lebih utuh. “Berani terluka karena mencintai akan membawa keberhasilan memiliki hati yang penuh kasih sayang sejati (hlm 192).” Itulah resep menikmati pizza kehidupan. Setiap pribadi tentu memiliki problem tersendiri, tak bisa tidak. Mustahil menemui semua sesuai dengan harapan. Selalu ada riak-riak dalam kehidupan. Namun, dengan cinta, segalanya sangat mungkin menjadi anugerah terindah. Identifikasi lah teks resensi berjudul Menikmati Hidup Seperti Makan Pizza tersebut berdasarkan unsur-unsur berikut! 1. Judul Resensi 2. Identitas Buku 3. Pendahuluan 4. Isi, meliputi sinopsis buku, kelemahan dan keunggulan buku 5. Penutup
Answer
Judul : Memo Antikekerasan terhadap AnakPenulis : 194 Penyair IndonesiaPenerbit : Forum Sastra SurakartaCetakan : September, 2016Tebal : 384 halamanISBN : 978-602-6284-35-8Anak-anak adalah masa depan bangsa. Menyelamatkan mereka sama saja menyelamatkan bangsa ini ke depannya melalui gerakan moral bersandar pada laku kebudayaan. Itulah cuplikan pengantar dari antologi puisi yang ikut serta ambil bagian menyelamatkan anak-anak dari kekerasan (baik secara psikis dan fisik) lewat puisi-puisi.Akhir tahun 2016 lalu, bangsa seolah dikejutkan dengan berbagai macam berita mengenai kekerasan terhadap anak. Setiap hari di berbagai sudut kehidupan berita kekerasan berkarib dengan masyarakat. Televisi, radio, koran, hingga mulut orang-orang terus membahasnya. Anak-anak pun dibiarkan begitu saja menjadi korban.Maraknya kekerasan terhadap anak menjadikan hak-hak bocah seolah tak lagi dipedulikan. Mereka dipaksa bekerja mencari uang, dijebak menjadi pengemis, diperjualbelikan hingga menjadi korban pencabulan sampai pembunuhan. Coba camkan puisi berikut. “Nak, tahukah kau, apa yang kaulakukan di sini. Kau disuruh jualan koran di pinggir jalan. Katanya sambil bermain-main, tapi mana uangnya. Kau hanya diberi sebungkus nasi untuk mengganjal perutmu. Hanya nasi dan sayur,” (hal 145).Puisi ini menjelaskan tentang hak seorang anak telah dirampas paksa oleh orang-orang dewasa yang tak bertanggung jawab. Sering kali mereka tampak secara langsung di jalan-jalan raya sekitar lampu lalu lintas. Peristiwa perampasan hak masih terjadi. Padahal, mereka tetaplah anak-anak lugu yang terkadang hanya mematuhi perintah dan menjauhi larangan orang-orang tak bertanggung jawab.Diharapkan dengan adanya buku ini bisa menggerakkan hati pemerintah untuk turut serta bertanggung jawab kesejahteraan anak-anak, bukan hanya merumuskan UU perlindungan anak. Harapannya, anak-anak tidak lagi menjadi korban dekadensi moral bangsa.“Dalam bilik sempit ini aku hanya berteman air mata, terpenjara di rumah sendiri, mendengarkan tik tak sepi. Kadang-kadang menjerit merasakan cambuk di punggung. Saat kutumpahkan secangkir kopi di atas meja, sebab limbung dirajam lapar,” (hal 294).Puisi berjudul Air Mata ini terlihat jelas menggambarkan seorang anak menjadi korban tindak kekerasan orang tuanya sendiri. Mereka tak bisa melawan. Mereka hanya berharap dan menunggu keajaiban datang.Ada 194 penyair dari seluruh Nusantara berpartisipasi mengisi buku ini. Dengan berbagai latar belakang, tapi memiliki satu tujuan menyerukan untuk tidak menyetujui, menolak keras kekerasan terhadap anak. Antologi ini merupakan lanjutan dari buku sebelumnya, Memo untuk Presiden dan Memo untuk Teroris. Buku saling berkaitan. Isinya menolak penyimpangan masyarakat.Di antara kekerasan terhadap anak dilakuan orang tua dengan tidak memperhatikan mereka. Kekerasan tidak hanya dalam bentuk fisik, tapi bisa juga melalui kata-kata. Dengan adanya buku ini, setidaknya ada harapan bisa memutus mata rantai kekerasan terhadap anak, menjauhkan dari hal-hal yang bisa membuat tertekan dan tidak nyaman. Dengan demikian, bocah bisa benar-benar terlindungi oleh negara dan seluruh lapisan masyarakat. Jelaskan Informasi yang terdapat dalam teks tersebut.jangan dijawab ngawur ya?​
Answer

Life Enjoy

" Life is not a problem to be solved but a reality to be experienced! "

Get in touch

Social

© Copyright 2013 - 2024 KUDO.TIPS - All rights reserved.