GhofurSanjaya
Perubahan Pendidikan di Berbagai Daerah Pendidikan yang berkembang di Indinesia pada abad ke-19 menggunakan sistem yang diselenggarakan oleh organisasi agama Kristen, Katolik, dan Islam. Sistem persekolahan Islam menggunakan sistem Pesantren. Di luar itu, pemerintah kolonial menerapkan sistem Pendidikan Barat. Sistem Pendidikan Islam dilaksanakan melalui pondok pesantren dengan kurikulum yang terbuka serta staf pengajar yang berasal dari para kiai. Sistem pendidikan ini lebih menekankan pada pendidikan agama, kemampuan membaca huruf arab serta dengan menggunakan bahasa setempat. Sistem pendidikan pesantren dianggap lebih demokratis sebab membuka kesempatan pada semua golongan untuk memperoleh pendidikan di sana. Materi pelajaran umum dalam sistem ini hanya mendapat porsi yang lebih kecil. Namun demikian, melalui sistem pendidikan ini telah dilahirkan banyak orang yang memiliki pandangan yang maju serta mampu melihat kondisi buruk masyarakat yang menjadi korban dari imperialisme Barat. Sistem pendidikan yang dijalankan pemerintah kolonial menggunakan sistem Barat dengan menyediakan tempat berupa sekolah, kurikulum serta guru dengan jadwal teratur. Pada awalnya, sekolah yang didirikan adalah sekolah gubernemen di setiap kabupaten atau kota besar. Sekolah-sekolah tersebut baru didirikan pada 1840-an dan diperuntukkan bagi warga pribumi dari golongan menengah atau anak pegawai pemerintah. Untuk menyipkan tenaga pengajar, didirikan sekolah guru di Sala (1852), Bandung, dan Probolinggo (1866). Lulusan sekolah tersebut ditempatkan di sekolah-sekolah gubernemen. Bahasa yang digunakan dalam sekolah tersebut adalah bahasa Sunda, Jawa, Madura atau Melayu, bergantung dari asal lokasi sekolah tersebut. Demikian juga dengan buku pelajaran. Pada 1851, telah diterbitkan beberapa buku pelajaran mengenai pertanian, peternakan, kesehatan, dan bangunan. Antara tahun 1873-1883 dicapai kemajuan dalam bidang pendidikan yang ditandai dengan meningkatnya jumlah siswa dan guru. Misalnya pada 1873 terdapat 5.512 jumlah siswa di Jawa dan Madura dan meningkat menjadi 16.214 pada 1883. Kemudian, untuk daerah lainnya terdapa 11.276 jumlah siswa pada 1873, meningkat menjadi 18.694 sepuluh tahun kemudian. Adapaun untuk guru seluruh Indonesia meningkat dari 411 pada 1873 menjadi 1.241 sepuluh tahun kemudian. Untuk memenuhi kebutuhan tenaga pangreh praja (birokrasi pemerintahan), didirikan hoofdenschool di Bandung, Magelang, Probolinggo, dan Tondano pada 1878. Di sekolah tersebut digunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. pada 1900, hoofdenschool berubah nama menjadi OSVIA (Opleidingschool Voor Inlandsche Ambtenaren). Di sekolah tersebut diajarkan mengenai hukum administrasi, dan hukum negara untuk menyiapkan calon pangreh praja. Di tingkat perguruan tinggi didirikan sekolah pertanian di Bogor, sekolah dokter hewan di Surabaya, sekolah bidan di Weltervreden, dan sekolah mantri cacar di Jakarta yang kemudian berubah menjadi Sekolah Dokter Jawa. Sekolah-sekolah tersebut diikuti oleh siswa dari kalangan priyayi atau para pamong praja dari lingkungan keraton atau pendopo kabupaten. Memasuki abad ke-20, sejarah Indonesia ditandai dengan semakin banyaknya orang terpelajar yang memperoleh pendidikan Belanda. Mereka bekerja di sektor pemerintahan sebagai pangreh praja serta pegawai swasta. Kelompok terpelajar tersebut telah mampu meningkatkan status sosialnya dari yang berkedudukan rendah menjadi lebih baik.
Maaf kalau salah
Pendidikan yang berkembang di Indinesia pada abad ke-19 menggunakan sistem yang diselenggarakan oleh organisasi agama Kristen, Katolik, dan Islam. Sistem persekolahan Islam menggunakan sistem Pesantren. Di luar itu, pemerintah kolonial menerapkan sistem Pendidikan Barat.
Sistem Pendidikan Islam dilaksanakan melalui pondok pesantren dengan kurikulum yang terbuka serta staf pengajar yang berasal dari para kiai. Sistem pendidikan ini lebih menekankan pada pendidikan agama, kemampuan membaca huruf arab serta dengan menggunakan bahasa setempat. Sistem pendidikan pesantren dianggap lebih demokratis sebab membuka kesempatan pada semua golongan untuk memperoleh pendidikan di sana. Materi pelajaran umum dalam sistem ini hanya mendapat porsi yang lebih kecil. Namun demikian, melalui sistem pendidikan ini telah dilahirkan banyak orang yang memiliki pandangan yang maju serta mampu melihat kondisi buruk masyarakat yang menjadi korban dari imperialisme Barat.
Sistem pendidikan yang dijalankan pemerintah kolonial menggunakan sistem Barat dengan menyediakan tempat berupa sekolah, kurikulum serta guru dengan jadwal teratur. Pada awalnya, sekolah yang didirikan adalah sekolah gubernemen di setiap kabupaten atau kota besar. Sekolah-sekolah tersebut baru didirikan pada 1840-an dan diperuntukkan bagi warga pribumi dari golongan menengah atau anak pegawai pemerintah. Untuk menyipkan tenaga pengajar, didirikan sekolah guru di Sala (1852), Bandung, dan Probolinggo (1866). Lulusan sekolah tersebut ditempatkan di sekolah-sekolah gubernemen.
Bahasa yang digunakan dalam sekolah tersebut adalah bahasa Sunda, Jawa, Madura atau Melayu, bergantung dari asal lokasi sekolah tersebut. Demikian juga dengan buku pelajaran. Pada 1851, telah diterbitkan beberapa buku pelajaran mengenai pertanian, peternakan, kesehatan, dan bangunan.
Antara tahun 1873-1883 dicapai kemajuan dalam bidang pendidikan yang ditandai dengan meningkatnya jumlah siswa dan guru. Misalnya pada 1873 terdapat 5.512 jumlah siswa di Jawa dan Madura dan meningkat menjadi 16.214 pada 1883. Kemudian, untuk daerah lainnya terdapa 11.276 jumlah siswa pada 1873, meningkat menjadi 18.694 sepuluh tahun kemudian. Adapaun untuk guru seluruh Indonesia meningkat dari 411 pada 1873 menjadi 1.241 sepuluh tahun kemudian.
Untuk memenuhi kebutuhan tenaga pangreh praja (birokrasi pemerintahan), didirikan hoofdenschool di Bandung, Magelang, Probolinggo, dan Tondano pada 1878. Di sekolah tersebut digunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. pada 1900, hoofdenschool berubah nama menjadi OSVIA (Opleidingschool Voor Inlandsche Ambtenaren). Di sekolah tersebut diajarkan mengenai hukum administrasi, dan hukum negara untuk menyiapkan calon pangreh praja.
Di tingkat perguruan tinggi didirikan sekolah pertanian di Bogor, sekolah dokter hewan di Surabaya, sekolah bidan di Weltervreden, dan sekolah mantri cacar di Jakarta yang kemudian berubah menjadi Sekolah Dokter Jawa. Sekolah-sekolah tersebut diikuti oleh siswa dari kalangan priyayi atau para pamong praja dari lingkungan keraton atau pendopo kabupaten.
Memasuki abad ke-20, sejarah Indonesia ditandai dengan semakin banyaknya orang terpelajar yang memperoleh pendidikan Belanda. Mereka bekerja di sektor pemerintahan sebagai pangreh praja serta pegawai swasta. Kelompok terpelajar tersebut telah mampu meningkatkan status sosialnya dari yang berkedudukan rendah menjadi lebih baik.