Kenapa tindakan bulying selalu terjadi di sekolah?
puspaajwa1
Karena ada perbedaan satu sama lain , yg akhir nya ada ketidak sukaan yg menimbulkan bully
1 votes Thanks 1
REYKAL
Bullying merupakan perujudan perilaku agresif. Bentuknya bisa bersifat: verbal (ejekan, hinaan); psikologis (teror, bentakan, pengucilan, pemberian cap buruk); dan fisik (jeweran, cubitan, tamparan, pukulan, tendangan). Fakta seperti itu selama ini sejauh tidak berakibat fatal kita anggap sesuatu yang wajar. Bahkan, bila dilakukan antarsiswa kita eleminasi sebagai bagian dari "dunia bermain" anak-anak. Bila pelakunya adalah guru kepada siswanya, kita nilai bagian dari upaya mendidik (terapi).
Sekolah, tentu saja, bukan laboratorium siswa melakukan praktik bullying. Apa yang terjadi di sekolah hanyalah duplikasi (atau bentuk lain) atas apa yang juga dipraktikkan dalam keluarga dan lingkungan tempat tinggal. Nilai yang tumbuh pada masing-masing keluarga tidaklah sama disebabkan beragam faktor. Misalnya, menyangkut kemampuan ekonomi, tingkat pendidikan, dan pandangan atas nilai-nilai religius. Hal itu berimplikasi terhadap "pola" yang diterapkan di rumah: demokratis, kontrol yang longgar, bahkan anak- anak sudah terbiasa mendapat perlakuan kasar dari orangtua atau kakaknya. Nilai yang terbentuk pada masing-masing keluarga cenderung teraktualisasikan kembali di sekolah.
Sekolah menjadi ruang bertemunya keragaman perilaku, sifat, dan tabiat hasil pendidikan di rumah. Mengiringi pertumbuhannya, anak- anak akan mencoba mencari eksistensi dirinya lewat lingkungan.
Mereka belajar beradaptasi dan bersosialisasi dalam kehidupan yang beragam nilai. Sering kali pula sekolah menjadi forum untuk membebaskan diri dari kekangan orangtua yang bersifat protektif atau karena di rumah terbiasa direndahkan.
Interaksi siswa di sekolah tidak terlepas dari perilaku positif dan negatif. Kita harus mewaspadai perilaku-perilaku negatif siswa. Banyak kasus yang kita anggap sepele yang sesungguhnya dapat ditepis sejak dini. Perilaku agresif menekan teman-temannya terkadang dilakukan secara kolektif terhadap siswa yang lemah (fisik). Begitu juga teror terhadap siswa yang pandai, tetapi tidak ingin hasil kerjaannya (ujian) dicontek. Bahkan, bentuk perilaku agresif dapat berupa benih tindakan kriminal: memaksakan untuk melakukan sesuatu, memukul, mengganggu dengan ejekan kasar, dan memalak.
Pemicu bullying di sekolah bukan hanya diadopsi dari pendidikan orangtua di rumah. Televisi yang mengumbar kekerasan juga memberi andil pada praktik bullying. Kita tentu bisa berdebat seberapa besar pengaruh televisi dalam mengubah perilaku penontonnya. Tetapi, yang perlu mendapat tekanan ialah kekerasan yang diumbar melalui televisi menyebabkan kita (terutama anak-anak) cenderung permisif. Kekerasan pada tayangan televisi mungkin tak mengubah perilaku penontonnya melainkan mendesakkan kekerasan itu sebagai sesuatu yang biasa atau wajar. Karena biasa dan wajar praktik bullying di sekolah luput menjadi perhatian kita secara serius.
Bukan hanya itu, kemungkinan guru ikut berperan memicu praktik bullying. Terkadang guru tak peka sehingga sering cap atau upaya labeling diberikan ke anak didiknya. Siswa yang tak membuat PR, siswa yang sering menangis, siswa yang cenderung pemalu biasa mendapat cap negatif. Itu sama buruknya dengan pujian guru yang berlebihan kepada siswa yang berprestasi sambil merendahkan siswa yang lain. Praktik bullying yang dilakukan guru dalam proses belajar-mengajar diinternalisasi peserta didik.
Anak-anak berpotensi melakukan praktik bullying bila lingkungan sekolah tak memiliki perhatian dan peka terhadap perilaku negatif anak didiknya. Perilaku bullying yang terbentuk sejak dini bisa berefek panjang. Bagi mereka yang terbiasa melakukan bullying pada temannya menyebabkan kesulitan mengontrol diri. Sebaliknya, anak- anak yang terbiasa mendapat perlakuan bullying menyimpan sesuatu yang laten dalam dirinya. Sewaktu-waktu bisa saja muncul ke permukaan dalam bentuk rendah diri (pasif) atau justru mempraktikkan kepada orang lain (aktif). Kita perlu menyadari bahwa pengendalian emosi anak-anak sejak dini merupakan bagian dari tugas pendidikan.
Jadi, sekolah jangan berhenti sekadar memberikan materi ajar yang sesuai dengan kurikulum. Anak didik perlu diasah budi pekertinya.
Sekolah, tentu saja, bukan laboratorium siswa melakukan praktik bullying. Apa yang terjadi di sekolah hanyalah duplikasi (atau bentuk lain) atas apa yang juga dipraktikkan dalam keluarga dan lingkungan tempat tinggal. Nilai yang tumbuh pada masing-masing keluarga tidaklah sama disebabkan beragam faktor. Misalnya, menyangkut kemampuan ekonomi, tingkat pendidikan, dan pandangan atas nilai-nilai religius. Hal itu berimplikasi terhadap "pola" yang diterapkan di rumah: demokratis, kontrol yang longgar, bahkan anak- anak sudah terbiasa mendapat perlakuan kasar dari orangtua atau kakaknya. Nilai yang terbentuk pada masing-masing keluarga cenderung teraktualisasikan kembali di sekolah.
Sekolah menjadi ruang bertemunya keragaman perilaku, sifat, dan tabiat hasil pendidikan di rumah. Mengiringi pertumbuhannya, anak- anak akan mencoba mencari eksistensi dirinya lewat lingkungan.
Mereka belajar beradaptasi dan bersosialisasi dalam kehidupan yang beragam nilai. Sering kali pula sekolah menjadi forum untuk membebaskan diri dari kekangan orangtua yang bersifat protektif atau karena di rumah terbiasa direndahkan.
Interaksi siswa di sekolah tidak terlepas dari perilaku positif dan negatif. Kita harus mewaspadai perilaku-perilaku negatif siswa. Banyak kasus yang kita anggap sepele yang sesungguhnya dapat ditepis sejak dini. Perilaku agresif menekan teman-temannya terkadang dilakukan secara kolektif terhadap siswa yang lemah (fisik). Begitu juga teror terhadap siswa yang pandai, tetapi tidak ingin hasil kerjaannya (ujian) dicontek. Bahkan, bentuk perilaku agresif dapat berupa benih tindakan kriminal: memaksakan untuk melakukan sesuatu, memukul, mengganggu dengan ejekan kasar, dan memalak.
Pemicu bullying di sekolah bukan hanya diadopsi dari pendidikan orangtua di rumah. Televisi yang mengumbar kekerasan juga memberi andil pada praktik bullying. Kita tentu bisa berdebat seberapa besar pengaruh televisi dalam mengubah perilaku penontonnya. Tetapi, yang perlu mendapat tekanan ialah kekerasan yang diumbar melalui televisi menyebabkan kita (terutama anak-anak) cenderung permisif. Kekerasan pada tayangan televisi mungkin tak mengubah perilaku penontonnya melainkan mendesakkan kekerasan itu sebagai sesuatu yang biasa atau wajar. Karena biasa dan wajar praktik bullying di sekolah luput menjadi perhatian kita secara serius.
Bukan hanya itu, kemungkinan guru ikut berperan memicu praktik bullying. Terkadang guru tak peka sehingga sering cap atau upaya labeling diberikan ke anak didiknya. Siswa yang tak membuat PR, siswa yang sering menangis, siswa yang cenderung pemalu biasa mendapat cap negatif. Itu sama buruknya dengan pujian guru yang berlebihan kepada siswa yang berprestasi sambil merendahkan siswa yang lain. Praktik bullying yang dilakukan guru dalam proses belajar-mengajar diinternalisasi peserta didik.
Anak-anak berpotensi melakukan praktik bullying bila lingkungan sekolah tak memiliki perhatian dan peka terhadap perilaku negatif anak didiknya. Perilaku bullying yang terbentuk sejak dini bisa berefek panjang. Bagi mereka yang terbiasa melakukan bullying pada temannya menyebabkan kesulitan mengontrol diri. Sebaliknya, anak- anak yang terbiasa mendapat perlakuan bullying menyimpan sesuatu yang laten dalam dirinya. Sewaktu-waktu bisa saja muncul ke permukaan dalam bentuk rendah diri (pasif) atau justru mempraktikkan kepada orang lain (aktif). Kita perlu menyadari bahwa pengendalian emosi anak-anak sejak dini merupakan bagian dari tugas pendidikan.
Jadi, sekolah jangan berhenti sekadar memberikan materi ajar yang sesuai dengan kurikulum. Anak didik perlu diasah budi pekertinya.