PENGATURAN INTERNASIONAL VANDALISME TERHADAP TERUMBU KARANG DI INDONESIA Oleh: Riski Bagus Try Ananda Ida Bagus Wyasa Putra A. A. Sri Utari*** Program Kekhususan Hukum Internasional dan Bisnis Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK Perkembangan teknologi yang sangat pesat berbanding lurus dengan kebutuhan manusia akan wisata. Wisata alam adalah salah satu alternatif pilihan bagi manusia untuk menenangkan pikirannya namun, tidak semua manusia yang melakukan kegiatan wisata ikut serta dalam menjaga kelestarian alam tersebut. Tangan-tangan perusak seringkali menghasilkan dampak yang sangat buruk bagi kelangsungan makhluk hidup yang berada disekitar tempat wisata. Atas hal tersebut maka timbulah suatu permasalahan pertama bagaimanakah penjabaran pengaturan internasional mengenai vandalisme terhadap terumbu karang?; kedua, bagaimanakah penjabaran pengaturan pertanggungjawaban hukum vandalisme terumbu karang di Indonesia? Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus, dan pendekatan konseptual. Dalam menyusun penelitian ini, penulis menggunakan sumber bahan hukum primer yang merupakan pengaturan internasional dan nasional yang terkait dengan pokok permasalahan serta sumber hukum sekunder dan tersier yang mendukung sumber hukum primer. Dalam pengumpulan sumber bahan hukum primer, penulis akan melakukan penelitian terhadap pengaturan internasional dan nasional yang berkaitan dengan pokok bahasan pertama dan kedua, sedangkan pengumpulan sumber bahan hukum sekunder dan tersier penulis melakukan penelitian kepustakaan. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan penulis, maka didapat kesimpulan sebagai berikut: 1. Telah terdapat pengaturan internasional yang dapat digunakan Indonesia dalam melindungi terumbu karang akan tetapi pengaturan tersebut masih bersifat
Riski Bagus Try Ananda adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Udayana,
[email protected] Ida Bagus Wyasa Putra adalah Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Udayana. *** A.A. Sri Utari adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana.
1
Softlaw. 2. Dalam hal tidak terdapatnya suatu konvensi yang bersifat Hardlaw dan global maka Indonesia dapat melakukan ekstradisi karena vandalisme telah melanggar ketentuan UUPPLH dan UU Kepariwisataan Indonesia. Hukum Internasional harus mampu menghasilkan suatu peraturan yang bersifat Hard Law dan global. Indonesia juga harus memanfaatkan perjanjian ekstradisi yang telah diratifikasi dengan baik. Kata Kunci: vandalisme terhadap terumbu karang, ekstradisi, pengaturan internasional ABSTRACT Rapid technological development is directly proportional to the human need for travel. Ecotourism is one of the alternative options for people to calm their mind however, that not all humans who do travel activities to participate in the natural preserve. Hands of ignorant tourists often produce disastrous consequences for the survival of which are located around the tourist attractions. The destruction by the hands of ignorant traveler can lead to sustainability, harmony, and the benefits that are in the marine ecosystem become disrupted. This study uses normative legal research with the legislation approaches, case approaches, and conceptual approaches. The author through this thesis will discuss two main legal issues namely: the existence of international law in dealing with vandalisme on coral reefs and how the perpetrators of vandalisme towards the reef will be charged. Through normative research of this Journal, it can be deduced as follows: 1. The absence of a global convention that binds on the countries in the world in the face of vandalisme on coral reefs. The regulations are only soft laws which does not have the legal certainty of the countries in the world. So it has not reached a global consensus in the face of vandalisme on coral reefs. 2. In case of the absence of a global convention then Indonesia can extradite. International law must be able to produce a regulation that is Hard Law and globally. Indonesia should also take the advantages of the extradition treaty which has been well ratified. Keywords: vandalisme on coral reefs, extradition, international regulation I. PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menjelaskan
bahwa luas daratan Indonesia adalah 1.890.754 KM2 sedangkan luas lautan Indonesia sebesar 3.302.498 KM2. Luas wilayah Laut
2
Indonesia sendiri terdiri sebagai berikut: 0,3 juta km2 adalah laut territorial, 2,8 juta km2 merupakan perairan kepulauan, dan 2,7 Juta km2 merupakan Zona Ekonomi Eksklusif.1 Keadaan laut Indonesia yang begitu luas membuat Indonesia menjadi ekosistem yang disukai oleh flora dan fauna penghuni laut. Salah satu flora dan fauna laut tersebut adalah terumbu karang. Perkembangbiakan dan pertumbuhan ekosistem laut tidak terlepas dari keadaan terumbu karang yang menjadi ekosistem tempat tinggal flora dan fauna tersebut. Terumbu karang tepian memiliki fungsi sebagai pemecah kecepatan angin dan gelombang lautan sehingga dapat mencegah kerusakan yang ditimbulkan oleh badai di lautan.2 Apabila terumbu karang dalam keadaan yang prima maka, biaya sebesar 550.000 dolar AS untuk perlindungan pantai oleh erosi lautan dapat dihemat. Sebaliknya apabila terumbu karang rusak, diperlukan dana yang banyak untuk memulihkannya serta memakan waktu yang cukup lama.3 Perkembangan teknologi yang sangat pesat berbanding lurus dengan kebutuhan manusia akan wisata. Wisata alam adalah salah satu alternatif pilihan bagi manusia untuk menenangkan pikirannya. Para wisatawan yang datang ke Bali tidak selalu menjaga kelestarian alam Bali, seperti aksi vandalisme terumbu karang yang diunggah oleh OK Divers melalu media sosial. Keadaan ini
membuat Gubernur Bali pada 11 September 2016
melalui “Podium Bali Bebas Bicara Apa Saja” menyatakan LIPI, 17 Februari 2016, “LIPI Ditetapkan Sebagai Wali Data Ekosistem Terumbu Karang dan Padang Lamun, siaran press, URL : http://www.lipi.go.id/siaranpress/LIPI-Ditetapkan-Sebagai-Wali-DataEkosistem-Terumbu-Karang-dan-Padang-Lamun/15010, diakses pada tanggal 11 Februari 2017. 2 Maurice Knight, dkk, 2012, Menengok Kembali Terumbu Karang yang Terancam di Segitiga Terumbu Karang terjemahan Yayasan terangi, World Resources Institute: Washington DC, h. 5. 3 Yuni Ikawati, 13 Februari 2009, “Segitiga Koral, Jantung Dunia”. LIPI, URL : http://www.lipi.go.id/berita/segitiga-koral-jantung-dunia/4175, diakses pada tanggal 23 Oktober 2016 pukul 20.32 WITA. 1
3
kekecewaannya
akan
ulah
wisatawan
mancanegara
yang
melakukan aksi vandalisme saat berlibur di Pulau Dewata.4 Perlindungan Hak terhadap wisatawan diatur di dalam Universal Declaration of Human Right (UDHR), Global Code of Ethics for Tourism (GCET), dan International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (IESCR).5 Perlindungan hak tersebut diikuti kewajiban setiap wisatawan untuk menjaga kelestarian lingkungan daya tarik wisata. Kewajiban pengaturan internasional tersebut, tidak diikuti dengan sanksi bagi setiap pelaku wisatawan yang melakukan vandalisme. Di Indonesia, kepariwisataan diatur di dalam Undang-undang Nomor
10
Tahun
2009
Tentang
Kepariwisataan
(UU
Kepariwisataan). Dalam poin menimbang huruf (a) dijelaskan bahwa keadaan alam, flora, dan fauna, sebagai karunia Tuhan yang Maha Esa, serta peninggalan purbakala, peninggalan sejarah, seni, dan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia merupakan sumberdaya dan modal pembangunan kepariwisataan untuk peningkatan
kemakmuran
dan
kesejahteraan
masyarakat.
Perlindungan Lingkungan Hidup juga diatur tersendiri dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH). Kedua
pengaturan
pertanggungjawaban
tersebut
wisatawan
belum
asing
yang
diatur
mengenai
melakukan
aksi
vandalisme terhadap terumbu karang. Berdasarkan uraian latar 4 Tim Redaksi Detak.co, 11 September 2016 pukul 1:20 PM, “Gubernur Bali Sayangkan Vandalisme Terumbu Karang”. Detak.co, URL : http://detak.co/gubernur-bali-sayangkan-vandalisme-terumbu-karang, diakses pada tanggal 19 Juni 2017 pukul 12.26 WIB. 5 Liputan6, 11 September 2016, “Parah, Penyelam Corat-Coret Terumbu Karang Pantai Bali”. Liputan6 Regional, URL : http://www.liputan6.com/regional/read/2599327/parah-penyelam-corat-coretterumbu-karang-pantai-bali, diakses pada tanggal 14 September 2016 pukul 20.32 WITA.
4
belakang tersebut, penulis merumuskan 2 (dua) permasalahan, yaitu:
pertama,
internasional
bagaimanakah
mengenai
terumbukarang bagaimanakah
oleh
penjabaran
perilaku
wisatawan
penjabaran
pengaturan
vandalisme di
pengaturan
terhadap
Indonesia?
Kedua,
pertanggungjawaban
hukum Vandalisme terhadap terumbu karang di Indonesia? 1.2
Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah penjabaran pengaturan internasional mengenai perilaku vandalisme terhadap terumbukarang oleh wisatawan di Indonesia? 2. Bagaimanakah penjabaran pengaturan pertanggungjawaban hukum Vandalisme terhadap terumbu karang di Indonesia? 1.3
Tujuan Penulisan Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pengaturan internasional yang berhubungan dengan perilaku vandalisme terhadap terumbu karang oleh wisatawan global serta untuk mengetahui upaya hukum yang dapat ditempuh dalam mengatasi perilaku vandalisme terhadap terumbu karang. Tujuan khusus dari penulisan karya ilmiah ini adalah untuk mengetahui
pengaturan
internasional
maupun
pengaturan
nasional dalam menangani kasus vandalisme terhadap terumbu karang. II.
ISI MAKALAH
2.1
Metode Penelitian
2.1.1 Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum normatif yang mengkaji suatu permasalahan yang bersumber dari bahan
5
hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.6 2.1.2 Jenis Pendekatan Dalam penulisan skripsi ini, penulis akan menggunakan jenis pendekatan antara lain: 1. Pendekatan Perundang-Undangan Penulis
akan
menelaah
pengaturan
internasional
dan
pengaturan nasional yang berkaitan dengan kasus vandalisme terhadap terumbu karang. 2. Pendekatan Kasus Dalam penelitian ini akan diangkat sebuah kasus yaitu kasus vandalisme
yang
dilakukan
oleh
turis-turis
yang
tidak
bertanggungjawab. Kasus tersebut terjadi di perairan Nusa Penida, Bali dimana para wisatawan menggurat tubuh terumbu karang sehingga membentuk tulisan-tulisan. Tulisan itu antara lain: Phey Lym, Miya, dan 33 Baby sedangkan sisanya ditulis dengan aksara Mandarin dan Korea. Selain itu vandalisme terhadap terumbu karang juga terjadi di kawasan perairan Raja Ampat Papua. Terumbu karang mulai rusak karena diinjak-injak oleh para wisatawan dengan sengaja, bahkan pemilik yacht pribadi tidak segan membuang rantai jangkar begitu saja ke kawasan perairan Raja Ampat Papua.7 3. Pendekatan Konseptual Dalam penulisan ini, penulis akan menelaah konsep-konsep hukum yang terdapat pada berbagai peraturan hukum primer maupun peraturan hukum lainnya yang memiliki korelasi dengan kasus yang diangkat. Melalui pendekatan ini, penulis akan menghubungkan
kasus
dan
fakta-fakta
yang
terjadi
yang
6
Zainuddin Ali, 2010, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h.
7
Echi, Loc. cit.
17.
6
kemudian akan dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku baik internasional maupun nasional.8 2.1.3 Bahan Hukum Penelitian ini menggunakan bahan hukum primer antara lain: A. Resolution
of
General
A/C.2/65/L.28/Rev.1 Sustainable
Assembly
“Protection
Livelihoods
and
of
Coral
Development
Number Reefs
for
tanggal
22
November 2010”; B. Resolution adopted by the General Assembly on 20 December 2010 Number A/RES/65/150 “Protection of Coral Reefs for Sustainable Livelihoods and Development”; C. Resolution adopted by the General Assembly on 22 December 2011 Number A/RES/66/194 “Protection of Coral Reefs for Sustainable Livelihoods and Development”. D. Resolusi United Nations Environment Programme (UNEP) No. 2/12 tanggal 23-27 Mei 2016 “Sustainable Coral Reefs Management”; E. GCET; F. Regional Plan Of Action Coral Triangle Initiative On Coral Reefs, Fisheries and Food Security (CTI-CFF); G. ASEAN
Declaration
on
Environmental
Sustainability
(deklarasi Singapura 2007); H. UUPPLH; I. UU Kepariwisataan; dan J. UU Ekstradisi. Selain bahan hukum primer yang telah disebut di atas, penelitian ini juga menggunakan bahan hukum sekunder yang
Amiruddin dan Zaenal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 48. 8
7
merupakan
bahan
penunjang
yang
memberikan
penjelasan
terhadap bahan hukum primer.9 2.1.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik
pengumpulan
bahan
hukum
primer
dilakukan
dengan penyesuaian pokok permasalahan yang akan diteliti dan pengumpulan bahan hukum sekunder dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan. 2.1.5 Teknik Analisis Dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis antara lain: teknik deskripsi, teknik evaluasi, teknik konstruksi, teknik argumentasi, dan teknik sistematis. 2.2
Hasil dan Analisis
2.2.1 Penjabaran Perilaku
Pengaturan
Vandalisme
Hukum Internasional Mengenai
Terhadap
Terumbu
Karang
Oleh
Wisatawan Indonesia Vandalisme adalah penghancuran terhadap karya seni, monumen, dan benda apapun dimana memiliki akibat yang bersifat
mencela
sebagai
perbuatan
biadab,
bodoh,
atau
menghilangkan nilai seni sehingga tidak bermakna.10 Vandalisme dipengaruhi oleh faktor keluarga dan masyarakat di sekitar tempat tinggal seseorang.11 Selain itu vandalisme juga sangat dipengaruhi oleh keadaan sekitar dan lingkungan sekitar seperti kebersihan, kekacauan publik, dan pengemis yang agresif.12
Ibid, h. 32. Dario Gamboni, 2007, The Destruction of Art: Iconoclasmand Vandalisme Since the French Revolution, Biddles Ltd, London, h. 18. 11 Dorothy L. Taylor, etc, 1997, Family Fators, Theft, Vandalisme, and Major Deviance Among A Multiracial Or Multiethnic Sample of Adolescent Girls, Journal of Social Distress and The Homeless, University Of Miami, Florida, h.1. 12 Malcolm Gladwell, 2000, The Tipping Point: How Little Things Can Make a Big Difference, Little, Brown, and Company, New York, h. 141. 9
10
8
Pengaturan mengenai vandalisme terhadap terumbu karang secara tidak langsung telah diatur di dalam beberapa pengaturan internasional yang dibentuk oleh PBB, yakni: a. Resolution adopted by the General Assembly on 22 December 2011 Number A/RES/66/194 “Protection of Coral Reefs
for
Sustainable
Livelihoods
and
Development”,
resolusi ini bertitik fokus pada berbagai cara yang mungkin untuk diambil oleh negara dalam melindungi terumbu karang serta ekosistem terkait terhadap mata pencaharian mencapai
dan
pembangunan
tujuan
bersama
berkelanjutan
yaitu,
untuk
demi
memenuhi
kebutuhan generasi sekarang tanpa merusak pemenuhan kebutuhan generasi yang akan datang. b. Resolution
adopted
by
United
Nations
Environment
Programme No. 2/12 tanggal 23-27 Mei 2016, resolusi ini menganjurkan kepada seluruh negara dan organisasi internasional untuk membuat suatu peraturan hukum nasional. Hukum
nasional tersebut
harus berkaitan
dengan tindakan di semua tingkatan untuk melindungi terumbu karang dan ekosistem yang terkait dalam mata pencaharian dan pembangunan berkelanjutan. Resolusi ini telah diadopsi oleh Indonesia ke dalam UUPPLH. c. GCET
dibentuk
kepariwisataan
sebagai yang
acuan
dasar
dalam
bertanggungjawab
hal dan
berkelanjutan. Larangan vandalisme tercermin pada Pasal 3 Ayat (1) yang menyatakan bahwa pelaku kegiatan pariwisata wajib menjaga kelestarian lingkungan alam dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang maupun generasi yang akan datang dengan adil.
9
Pengaturan ini kemudian diadopsi oleh Indonesia ke dalam UU Kepariwisataan Pasal 27 Ayat (1). Indonesia
juga
menjadi
anggota
beberapa
organisasi
internasional yang bergerak di bidang perlindungan terumbu karang. organisasi-organisasi tersebut juga membuat beberapa pengaturan terkait terumbu karang, antara lain: a. Asia-Pasifik Dalam ruang lingkup Asia- Pasifik, Indonesia telah tergabung dengan
negara-negara
segitiga
terumbu
karang.
Organisasi
internasional tersebut bernama Coral Triangle Inisiative (CTI). Forum ini bekerja dalam menangani tiga isu global yakni: konservasi laut, pengelolaan perikanan, dan adaptasi perubahan iklim. CTI sendiri merupakan organisasi baru yang berdiri pada tanggal 29 Agustus 2015. CTI sendiri memiliki prinsip-prinsip utama yang dibukukan pada Regional Plan of Action Coral Triangle Initiative. Adapun
tujuan
dari
dibentuknya
CTI
adalah
untuk
memperkuat pengelolaan bentang laut, mendukung pendekatan ekosistem
untuk
meningkatkan
pengelolaan
manajemen
perikanan,
yang
efektif
membangun dalam
dan
melakukan
perlindungan laut, meningkatkan ketahanan masyarakat pesisir terhadap perubahan iklim, dan melindungi spesies yang terancam. CTI
sendiri
belum
mengeluarkan
peraturan
mengenai
perlindungan terhadap terumbu karang mengingat CTI merupakan organisasi yang baru saja dibentuk di Manado pada tahun 2009. Prinsip-prinsip CTI sendiri banyak yang diadopsi dari pengaturan mengenai kelautan di Indonesia karena pelopor berdirinya CTI adalah Indonesia.
10
b. Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) Kerjasama lingkungan negara-negara ASEAN pertama kali dilakukan dalam ASEAN Ministral Meeting yang diselenggarakan pada April 1981. Pertemuan ini menghasilkan Deklarasi Manila tentang
Lingkungan
Hidup.
Deklarasi
Manila
sering
juga
disandingkan dengan Deklarasi Stockholm, yang membuat kedua deklarasi ini berbeda hanya pada ruang lingkup negara anggota saja.13 Deklarasi ini melahirkan suatu badan ASEAN yang bergerak dibidang lingkungan hidup yaitu ASEAN Cooperation on Environment.
Badan
tersebut
telah
melahirkan
Deklarasi
Singapura dengan judul ASEAN Declaration on Environmental Sustainability. Pada point ke delapan dijelaskan bahwa ASEAN akan mempromosikan konservasi dan pengelolaan ekosistem kunci yang termasuk di dalamnya adalah ekosistem terumbu karang. Apabila dilihat dari ragam pengaturan internasional yang telah dijelaskan sebelumnya, terdapat suatu kelemahan dimana pengaturan-pengaturan
tersebut
tidak
memiliki
kekuatan
mengikat. Adapun derajat keterikatan dari resolusi-resolusi PBB bersifat tidak mengikat bagi negara anggotanya meskipun resolusi tersebut diadopsi dari kesepakatan bersama.14 Dari penjelasan tersebut maka pengaturan-pengaturan yang telah dipaparkan sebelumnya bersifat Softlaw. Softlaw seharusnya perihal
seringkali hukum
pengaturan
mendapat
bersifat
mengikat.
vandalisme
pertentangan hukum
terhadap
karena
internasional
terumbu
karang
13 Sukanda Husin, 1991, National and International Laws for Heavy Industrial Air Pollution With Emphasis on the North American an Indonesian Regimes, Thesis Faculty of Law Dalhosie University, Halifax, Canada, h. 376. 14 Martin Dixon, 2007, Textbook on International Law Seventh Edition, Oxford University Press, London, h. 50.
11
merupakan softlaw karena tidak memberikan kepastian hukum terhadap pelakunya.15 Penegakan pengaturan-pengaturan hukum internasional di atas sangatlah sulit mengingat tidak adanya aturan internasional tersebut yang bersifat hardlaw. Pengaturan-pengaturan tersebut tidak
mampu
mengikat
negara-negara
di
dunia
dalam
menyelesaikan masalah vandalisme terhadap terumbu karang. 2.2.2 Penjabaran
Pengaturan
Pertanggungjawaban
Hukum
Vandalisme Terhadap Terumbu Karang di Indonesia Hukum lingkungan nasional setiap negara telah ada jauh sebelum dibentuknya Konferensi Stockholm tahun 1972, namun hukum lingkungan nasional tersebut hanya bersifat sektoral dan mengabaikan perlindungan lingkungan hidup itu sendiri. Di Indonesia sendiri, pengaturan mengenai vandalisme terhadap terumbu karang tercermin pada UUPPLH dan UU Kepariwisataan. Dalam UUPPLH tepatnya pada pasal 98 dan 99 telah dijelaskan hukuman pidana terhadap setiap orang baik disengaja maupun tidak
disengaja
mengakibatkan
dilampauinya
kriteria
baku
kerusakan lingkungan hidup termasuk terumbu karang. Didalam UUPPLH, untuk dikenakan suatu hukuman pidana lingkungan, seseorang harus melakukan perusakan melampau batas kriteria baku kerusakan terumbu karang. Apabila hal tersebut tidak dipenuhi maka seseorang tidak dapat dikenakan pidana sesuai UUPPLH. Ukuran mengenai baku kerusakan terumbu karang diatur dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 4 Tahun 2001 Tentang Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang (Kepmen Terumbu Karang). Dalam lampiran Kepmen Terumbu Karang dijelaskan bahwa keadaan ekosistem terumbu karang dinyatakan 15 Pierre Marie Dupuy, 1991, Soft Law and the International Law of the Environment, jurnal Hukum International, Michigan University, h. 420.
12
buruk ketika prosentase luas tutupan terumbu karang yang hidup memiliki angka 0%-24,9%. Jika dilihat dari besaran pada Kepmen Terumbu Karang tidak dimungkinkan pelaku vandalisme terhadap terumbu karang dapat melakukan pengrusakan terumbukarang lebih dari 75,1% dalam luas terumbu karang tutupan. Sehingga seseorang sangat sulit untuk dijerat peraturan yang terdapat pada UUPPLH. UU
Kepariwisataan
mengatur
pidana
terhadap
pelaku
vandalisme terhadap terumbu karang pada Pasal 27 Ayat (1). Pada pasal
ini
dijelaskan
bahwa
setiap
orang
yang
melakukan
pengrusakan terhadap daya Tarik wisata dapat dipidana tidak peduli seberapa besar perusakan tersebut dilakukan. Pasal ini juga menjelaskan unsur setiap orang sehingga pasal ini tidak membedakan Warga Negara Indonesia maupun Warga Negara Asing. Dalam peraturan mengenai vandalisme terhadap daya Tarik wisata di UU Kepariwisataan tidak mencantumkan besaran yang harus dipenuhi sehingga UU Kepariwisataan sangatlah cocok untuk menghukum pelaku vandalisme terhadap terumbu karang. Vandalisme yang dilakukan oleh wisatawan di perairan Nusa Penida dan Raja Ampat telah sangat jelas dilakukan oleh wisatawan asing sehingga cukup sulit apabila wisatawan asing tersebut telah kembali ke negara asalnya. Indonesia dapat memanfaatkan perjanjian ekstradisi sesuai UU Ekstradisi dalam menyelesaikan
kasus
tersebut.
Dalam
Undang-Undang
ini
deijelaskan bahwa ekstradisi adalah proses formal dimana negara lain meminta untuk mengembalikan orang yang membantu atau
13
terlibat dalam suatu kejahatan untuk diadili di negara yang meminta.16 Setiap pelaku vandalisme terhadap terumbu karang dalam skala kecil, dapat dipidana sesuai Kepariwisataan akan tetapi apabila vandalisme dilakukan secara brutal dan menyeluruh seperti yang dilakukan kapal pesiar Nobel Caledonia, maka perusahaan mewakili pelaku dapat dijerat pidana lingkungan sesuai Pasal 98 UUPPLH. Apabila vandalisme terhadap terumbu karang dilakukan oleh wisatawan mancanegara yang telah kembali ke
negara
asalnya,
maka
Indonesia
dapat
memanfaatkan
perjanjian ekstradisi yang telah disetujui oleh Indonesia mengingat terumbu karang merupakan asset berharga milik negara sesuai dengan pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria. Selain
UU
Kepariwisataan
dan
UUPPLH,
belum
ada
pengaturan hukum internasional mengatur mengenai sanksi dari perilaku
vandalisme
terhadap
terumbu
karang.
Peraturan-
peraturan hukum internasional yang ada hanyalah bersifat Softlaw dan tidak memiliki kekuatan mengikat negara-negara anggotanya. III.
PENUTUP
3.1
Kesimpulan Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan penulis, maka
dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Pengaturan internasional mengenai vandalisme terhadap terumbu karang sudah ada dan telah diadopsi ke dalam UUPPLH dan UU Kepariwisataan namun, pengaturan internasional yang ada masih bersifat softlaw sehingga 16 United Nations Office on Drug and Crime, Document on Manual of Mutual Legal Assistance and Extradition, h. 24.
14
membuat vandalisme terhadap terumbu karang hanya bisa diatasi melalui pengaturan nasional. 2. Vandalisme terhadap terumbu karang telah melanggar ketentuan dalam UUPPLH dan UU Kepariwisataan namun, dalam Undang-Undang tersebut tidak terdapat suatu ketentuan mengenai pelaku vandalisme terhadap terumbu karang yang dilakukan oleh wisatawan asing. Langkah yang dapat dilakukan oleh Indonesia adalah ekstradisi yang harus didasari oleh perjanjian ekstradisi. 5.1
Saran 1. Untuk negara-negara di dunia agar segera membentuk suatu perjanjian internasional yang bersifat memaksa negara-negara di dunia dalam menanggulangi masalah vandalisme terhadap terumbu karang. Peraturan tersebut harus bersifat global dan mengikat dalam bentuk konvensi PBB
sehingga
dapat
mengisi
kekosongan
hukum
internasional. 2. Indonesia
harus
memaksimalkan
kesiapan
hukum
nasionalnya dalam memanfaatkan perjanjian ekstradisi baik yang telah ada dan diratifikasi maupun melakukan perjanjian dengan maupun
negara lain baik secara bilateral
multilateral
serta
sesegera
mungkin
memanfaatkan perjanjian ekstradisi yang ada.
15
DAFTAR PUSTAKA BUKU Amiruddin dan Zaenal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rajawali Pers. Dario Gamboni, 2007, The Destruction of Art: Iconoclasmand Vandalisme Since the French Revolution, London: Biddles Ltd. Maurice Knight, dkk, 2012, Menengok Kembali Terumbu Karang yang Terancam di Segitiga Terumbu Karang, World Resources Institute, terjemahan Yayasan Terangi, Jakarta: Yayasan Terangi. Malcolm Gladwell, 2000, The Tipping Point: How Little Things Can Make a Big Difference, New York City: Little Brown, and Company. Martin Dixon, 2007, Textbook on International Law Seventh Edition, London: Oxford University Press. Zainuddin Ali, 2010, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika. Jurnal Dorothy L. Taylor, etc, 1997, “Family Fators, Theft, Vandalisme, and Major Deviance Among A Multiracial Or Multiethnic Sample of Adolescent Girls”, Journal of Social Distress and The Homeless, University Of Miami, Florida. Pierre Marie Dupuy, 1991, “Soft Law and the International Law of the Environment”, jurnal Hukum International, Michigan University, Michigan. Tesis Sukanda Husin, 1991, “National and International Laws for Heavy Industrial Air Pollution With Emphasis on the North American an Indonesian Regimes”, Thesis Faculty of Law Dalhosie University, Halifax, Canada. ARTIKEL INTERNET Echi, 4 April 2016, “Video Wisatawan Snorkeling Sambil InjakInjak Terumbu Karang di Raja Ampat Buat Geram Netizen”. Phinemo, URL : http://www.phinemo.com/Video-WisatawanSnorkeling-Sambil-Injak-Injak-Terumbu-Karang-di-RajaAmpat-Buat-Geram-Netizen. diakses pada tanggal 29 September 2016 pukul 18.19 WITA.
16
LIPI, 17 Februari 2016, “LIPI Ditetapkan Sebagai Wali Data Ekosistem Terumbu Karang dan Padang Lamun, siaran press, URL : http://www.lipi.go.id/siaranpress/LIPI-DitetapkanSebagai-Wali-Data-Ekosistem-Terumbu-Karang-dan-PadangLamun/15010, diakses pada tanggal 11 Februari 2017. Liputan6, 11 September 2016, “Parah, Penyelam Corat-Coret Terumbu Karang Pantai Bali”. Liputan6 Regional, URL : http://www.liputan6.com/regional/read/2599327/parahpenyelam-corat-coret-terumbu-karang-pantai-bali, diakses pada tanggal 14 September 2016 pukul 20.32 WITA. PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL ASEAN Declaration on Environmental Sustainability (deklarasi Singapura 2007). CTI-CFF, 2011, The Agreement on the Establishment of the Regional Secretariat of the Coral Triangle Initiative on Coral Reefs, Fisheries and Food Security. Global Code of Ethics for Tourism tanggal 1 Oktober 1999. Regional Plan Of Action Coral Triangle Initiative On Coral Reefs, Fisheries and Food Security (CTI-CFF) tanggal 15 Mei 2009. Resolution of General Assembly Number A/C.2/65/L.28/Rev.1 dengan judul Protection of Coral Reefs for Sustainable Livelihoods and Development tanggal 22 November 2010. Resolution adopted by the General Assembly on 20 December 2010 Number A/RES/65/150 dengan judul Protection of Coral Reefs for Sustainable Livelihoods and Development. Resolution adopted by the General Assembly on 22 December 2011 Number A/RES/66/194 dengan judul Protection of Coral Reefs for Sustainable Livelihoods and Development. Resolusi United Nations Environment Programme (UNEP) No. 2/12 tanggal 23-27 Mei 2016 dengan Judul Sustainable Coral Reefs Management. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
17
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 4 Tahun 2001 Tentang Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang
18