NAMA DIRI PADA ETNIK BALI DI SURABAYA Irma Budiarti S1 Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Surabaya
[email protected]
Abstrak Nama diri dalam penelitian ini adalah nama diri yang disandang etnik Bali di Surabaya. Etnik Bali memiliki sistem penamaan yang khas. Nama diri etnik Bali dapat menunjukkan jenis kelamin, urutan kelahiran dalam keluarga, hingga kelas sosial penyandang nama dalam masyarakat. Berdasarkan hal tersebut, masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah nama diri berdasarkan urutan kelahiran, nama diri berdasarkan wangsa, nama diri berdasarkan warna, dan nama diri hasil pernikahan beda etnik antara etnik Bali dan etnik non-Bali di Surabaya. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode wawancara dan dokumentasi. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu teknik simak, cakap, rekam, dan catat. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode padan ekstralingual. Berdasarkan masalah yang dikaji, nama diri pada Etnik Bali di Surabaya dibagi menjadi lima bagian. Pertama, nama diri berdasarkan urutan kelahiran. Kedua, nama diri berdasarkan wangsa. Ketiga, nama diri berdasarkan warna. Keempat, nama diri hasil pernikahan beda etnik antara etnik Bali dan non-Bali. Kelima, ada pengaruh bahasa Indonesia pada nama diri etnik Bali di Surabaya. Kata kunci: Nama diri, Urutan kelahiran, Wangsa, Warna
Abstrack The naming system in this research is a self-naming of Balinese ethnic who live in Surabaya. Balinese naming system shows gender, birth order in family, and social class in community. In this research, the writer try to analyze the naming system of Balinese people based on birth order, caste, color, and the intermarriage between Balinese ethnic and non-Balinese ethnic in Surabaya. The methods of data collection used in this research are interview and documentation while the techniques of data collection are observe, speech, record, and note taking. In analyzing the data, the researcher uses unified intralingual method. According to problem statements, Balinese naming system in Surabaya is divided into five parts. Firstly, the naming system based on birth order. Secondly, the naming system based on caste. Thirdly, the naming system based on color. Next, the naming system based on the intermarriage between Balinese ethnic and non-Balinese ethnic. Last, the influence of Indonesian language is also found in the Balinese naming system in Surabaya. Keywords: Naming System, Birth Order, Caste, Color
PENDAHULUAN Salah satu yang menjadi penanda identitas yang berhubungan dengan bahasa, budaya, dan masyarakat pemakainya adalah proses pemberian nama. Menurut Sudikan (dalam Sugiri, 2003:56) proses pemberian nama merupakan suatu kegiatan pranata khusus yang menjadi bagian dari kebudayaan suku bangsa atau lebih dikenal dengan kebudayaan daerah. Proses pemberian nama menjadi penting karena berhubungan dengan identitas penyandang nama. Tidak jarang hal ini menjadi sesuatu yang sakral bagi sebagian suku atau etnik di Indonesia. Proses pemberian nama seringkali menjadi upacara penting di beberapa daerah
dengan pola berbeda sesuai adat dan budaya setempat (Thomas dan Shen Wareing, 2007:229). Salah satu daerah di Indonesia yang memiliki keunikan dalam proses pemberian nama adalah Bali. Bali terkenal dengan kekayaan budayanya yang beragam. Salah satunya adalah proses pemberian nama bagi generasi penerusnya. Proses pemberian nama pada etnik Bali menjadi unik karena nama yang disandang seseorang dapat menunjukkan kelas sosialnya dalam masyarakat. Nama diri etnik Bali didasarkan pada beberapa hal antara lain urutan kelahiran, wangsa, dan warna. Hal ini tidak terlepas
dari pengaruh agama Hindu yang dianut oleh mayoritas masyarakat Bali. Etnik Bali sendiri mengenal empat warna dan wangsa yang sama dalam kehidupan sehari-hari yaitu brahmana, ksatria, waisya, dan sudra. Wangsa brahmana, ksatria, dan waisya memiliki sistem penamaan yang berbeda dengan wangsa sudra. Wangsa brahmana biasa ditandai dengan gelar nama depan Ida diikuti penanda gender Ayu untuk perempuan dan Bagus untuk laki-laki. Sebagai contoh adalah Ida Bagus Dharmapura, Ida Bagus Oka Mahendra, Ida Ayu Diah Tantri, dan lain-lain. Wangsa brahmana merupakan wangsa tertinggi di Bali diikuti wangsa ksatria yang ditandai dengan gelar nama depan Anak Agung, I Gusti Agung, Cokorda atau Tjokorda, misalnya Anak Agung Wahana, Cokorda Rai Sudarta, Cokorda Sawitri. Sementara wangsa waisya ditandai dengan gelar nama depan Dewa, Desak, Gusti, misalnya Dewa Nyoman Parta, Desak Nyoman Sri Mayuni, dan Gusti Ketut Winantara. Berbeda dengan tiga wangsa sebelumnya, wangsa sudra cenderung menggunakan nama depan berdasarkan penanda urutan kelahiran dan penanda gender. Etnik Bali mengenal empat penamaan berdasarkan urutan kelahiran yaitu Putu, Gede, Wayan, dan Luh untuk anak pertama. Contoh Putu Suryadi, Gede Pradipta, Wayan Darmika, dan lainlain. Made, Kadek, dan Nengah untuk anak kedua misal, Kadek Wisnawa, Nengah Tisna, Made Griya, dan lain-lain. Anak ketiga ditandai dengan nama depan Nyoman dan Komang, sedangkan anak terakhir dikenal dengan nama depan Ketut. Selain nama depan berdasarkan urutan kelahiran, nama diri etnik Bali juga ditandai dengan penanda gender sebagai nama depan sebelum urutan kelahiran. Penanda gender yang sering digunakan adalah I untuk laki-laki dan Ni untuk perempuan. Penamaan berdasarkan urutan kelahiran, warna, dan wangsa dalam praktiknya tidak selalu digunakan oleh etnik Bali. Hal ini terjadi pada pernikahan beda etnik antara etnik Bali dan non-Bali. Ada kecenderungan berbeda ketika terjadi pernikahan beda etnik yaitu mulai ditinggalkannya sistem penamaan seperti yang dikenal dalam kebudayaan Bali. Pasangan yang menikah beda etnik tidak lagi terikat pada tradisi penamaan etnik Bali pada umumnya. Contohnya, Gilang Prasetya Surya yang merupakan keturunan Bali–Tionghoa. Ayah Gilang merupakan etnik Bali sementara ibunya berasal dari etnik Tionghoa. Orangtua Gilang tidak lagi menggunakan sistem penamaan etnik Bali pada umumnya. Hal ini terbukti dari nama diri yang diberikan kepada Gilang dan
ketiga adiknya, yaitu Gilang Prasetya Surya, Berliana Permata Surya, Krisnanda Putra Surya, dan Sheliesia Putri Surya. Hal serupa terjadi pada keluarga King Gunawan. Gunawan yang merupakan etnik Tionghoa menikah dengan Ni Made Sudarniati dari etnik Bali. Nama diri yang diberikan pada kedua anaknya adalah Novian Endi Gunawan dan Mega Fany. Hal semacam ini tidak hanya terjadi di Bali, etnik Bali yang tinggal di Surabaya juga melakukan praktik penamaan yang sama. Surabaya dipilih sebagai lokasi penelitian karena lokasinya yang strategis sekaligus sebagai pusat pelaksanaan upacara agama Hindu di Surabaya dan sekitarnya. Selain itu, cukup banyak etnik Bali yang tinggal dan tersebar di berbagai wilayah di Surabaya. Percampuran budaya yang terjadi di Surabaya antar berbagai etnik khususnya Bali menjadi salah satu alasan dilakukannya penelitian ini di Surabaya. Pernikahan beda etnik yang terjadi antara etnik Bali dan non-Bali di Surabaya juga menjadi alasan lain karena memunculkan kecenderungan praktik penamaan yang berbeda. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut. 1) Bagaimana nama diri berdasarkan urutan kelahiran pada etnik Bali di Surabaya? 2) Bagaimana nama diri berdasarkan wangsa pada etnik Bali di Surabaya? 3) Bagaimana nama diri berdasarkan warna pada etnik Bali di Surabaya? 4) Bagaimana nama diri hasil pernikahan beda etnik antara etnik Bali dan non-Bali di Surabaya? KAJIAN TEORI Teori Penamaan Nama yang disandang seseorang memiliki nilai praktis sekaligus nilai magis. Nama tidak sekadar bersifat tersurat tetapi tersirat dengan hal-hal yang mungkin saja melatarbelakangi pemberian nama tersebut. Misal, nama mengandung pengharapan orangtua, peristiwa yang terjadi saat pemberian nama, sifat, kenangan, keindahan, kebanggaan, dan dapat pula menunjukkan tingkat sosial, agama yang dipeluk, jenis kelamin, asal-usul dan sebagainya (Sugiri dalam Sugiri, 2003:57). Bidang ilmu yang mempelajari seluk-beluk nama disebut onomastik (onomastics) (Sibarani dalam Sugiri, 2003:55). Teori penamaan dikenal dengan istilah onomastik yang berarti nama jalan atau tempat yang
memiliki sejarah. Meski demikian onomastik tidak hanya mengaji nama jalan atau tempat namun juga mengaji penamaan diri untuk apa saja termasuk nama diri pada seseorang. Onomastik dibagi menjadi dua cabang, yaitu antroponim yang mengaji riwayat atau asal-usul nama orang atau yang diorangkan dan toponimi yang mengaji riwayat atau asal-usul nama tempat (Ayatrohaedi dalam Istiana, 2012:14).
laki-laki atau maskula, sedangkan Luh digunakan sebagai penanda gender untuk perempuan. Dalam penelitiannya, Sutrisna juga mengatakan bahwa penanda gender Ayu dan Bagus hanya digunakan oleh golongan triwangsa (2015:10). Hal ini berarti penanda gender I untuk laki-laki dan Ni untuk perempuan digunakan oleh wangsa sudra. Wangsa
Urutan Kelahiran Urutan kelahiran sebagai penanda kelahiran seorang anak dalam keluarga dimulai dari anak pertama hingga anak keempat. Anak pertama umumnya diberikan nama Wayan. Nama Wayan berasal dari bahasa Bali, yakni wayahan yang berarti paling matang atau tua. Selain itu, ada beberapa sinonim untuk menunjukkan anak pertama, yaitu Putu, Gede, dan Luh. Nama yang disandangkan untuk anak kedua biasanya adalah Made. Kata Made berasal dari bahasa Sanskerta, yakni madya yang berarti tengah. Ada juga yang menamai anak kedua dengan Nengah dan Kadek. Untuk anak ketiga biasanya orang tua akan memberikan nama Nyoman. Kata Nyoman secara etimologis berasal dari kata uman yang berarti sisa atau akhir. Selain nama Nyoman, etnik Bali kadang menggunakan nama Komang. Anak keempat dalam keluarga biasanya diberi nama Ketut. Kata Ketut berasal dari bahasa Jawa Kuno, yakni kitut yang berarti buntut atau ekor (Antara dalam Amaliana, 2016:34). Urutan kelahiran cenderung digunakan sebagai nama depan mengikuti sistem penamaan berdasarkan penanda gender. Masyarakat Bali mengenal dua penanda gender atau penamaan berdasarkan jenis kelamin, yaitu maskula dan femina yang disandangkan pada nama depan. Antara (dalam Amaliana, 2016:27) menyebutkan bahwa keturunan laki-laki dalam masyarakat Bali dinamakan purusa, sedangkan keturunan perempuan diistilahkan predana. Penanda gender ini merupakan hal yang bersifat opsional, maksudnya boleh digunakan ataupun tidak. Penanda gender untuk laki-laki adalah penambahan I sebagai nama depan. Sementara untuk perempuan adalah penambahan Ni sebagai nama depan. Penanda gender ini hanya digunakan oleh tiga wangsa yaitu ksatria, waisya, dan sudra, karena brahmana memiliki sistem penamaan sendiri. Antara juga mengatakan (dalam Amaliana, 2015:28) bahwa pada penanda gender femina, etnik Bali juga menggunakan unsur nama Ayu, Istri, dan Luh. Menurut Sutrisna (2015:9), selain sebagai penanda urutan kelahiran pada anak pertama, Gede juga digunakan sebagai penanda gender untuk
Wangsa atau jatma merupakan sistem pembagian masyarakat menjadi empat golongan berdasarkan konsep jati (jan: lahir), yaitu sesuai dengan garis keturunan atau kelahiran. Hal ini yang menyebabkan istilah wangsa sering disalahartikan dengan kasta yang terkait dengan keturunan atau ras, sehingga wangsa tidak berubah sepanjang hidup karena terikat dengan keturunan. (Hardy, dkk., 2016:82). Wangsa dibagi menjadi empat dengan brahmana sebagai wangsa tertinggi. Sementara wangsa dibawahnya adalah ksatria, waisya, dan sudra. Wangsa brahmana ditandai dengan gelar nama depan Ida Ayu untuk perempuan dan Ida Bagus untuk laki-laki. Ayu merupakan penanda gender untuk perempuan, sedangkan Bagus untuk laki-laki. Menurut Antara (dalam Amaliana, 2016:31), selain gelar nama depan, wangsa brahmana juga ditandai dengan nama keluarga, seperti Kemenuh, Manuaba, Kemiten, Mas, Ranuh, Giri, Sara, Inggas, Duarsa, Pidada, dan Pemayun. Wangsa ksatria ditandai dengan nama depan Anak Agung dan Tjokorda. Sementara itu, menurut Sutrisna, penanda nama depan untuk wangsa ksatria adalah Gusti atau I Gusti (Sutrisna, 2015:5). Sistem penamaan wangsa waisya ditandai dengan nama depan Dewa, Sang, Ngakan, dan Bagus untuk laki-laki, sedangkan Desak, Sang Ayu, Sayu, Si, dan Ayu untuk perempuan. Sementara itu, wangsa sudra tidak memiliki gelar atau penanda seperti tiga wangsa sebelumnya. Wangsa sudra hanya ditandai dengan nama depan penanda urutan kelahiran dan penanda gender (Antara dalam Amaliana, 2016:32). Warna Menurut bahasa, warna berarti rupa atau warna, sedangkan menurut istilah warna berarti kondisi yang dibentuk untuk membedakan antara keturunan bangsa Arya yang berkulit putih dengan penduduk asli India yang berkulit hitam. Istilah catur warna ini pun diartikan dengan pembagian tugas berdasarkan bakat atau kemampuan (Agung dalam Amaliana, 2016:29). Menurut sistem catur warna, masyarakat dibagi menjadi empat kelompok atau golongan berdasarkan kewajiban, bakat, atau pekerjaan, yaitu (1) brahmana
adalah golongan masyarakat yang berkewajiban dalam bidang keagamaan dan pengembangan ilmu pengetahuan, seperti: pendeta, sulinggih, atau rohaniawan, (2) ksatria adalah golongan masyarakat yang berkewajiban dalam bidang pemerintahan dan militer, seperti: raja, punggawa, atau pejabat, (3) waisya adalah golongan masyarakat yang berkewajiban dalam bidang kesejahteraan masyarakat, seperti: pedagang, dan (4) sudra adalah golongan masyarakat yang berkewajiban membantu golongan brahmana, ksatria, dan waisya, seperti: pekerja dan buruh (Hardy, dkk., 2016:83). Berdasarkan konsep warna, warna yang dimiliki setiap orang dapat berubah menurut desa, kala, patra dan dapat dirangkap oleh satu orang. Keempat warna yang ada saling membutuhkan satu sama lain, sehingga tidak ada perbedaan antara satu warna dengan warna yang lain. Penamaan berdasarkan warna memiliki kesamaan dengan penamaan berdasarkan wangsa pada penanda gelar nama depan yang digunakan. Pembedanya terletak pada pemerolehan nama diri itu sendiri. Jika penamaan berdasarkan wangsa diperoleh berdasarkan keturunan, penamaan berdasarkan warna diperoleh dengan cara melihat bakat kemampuan, pekerjaan, serta keahliannya dalam masyarakat. Warna yang dimiliki seseorang tidak dapat diturunkan pada keturunannya. Berbeda dengan wangsa yang memang diwariskan pada keturunannya. Hal ini memungkinkan seseorang memiliki wangsa dan warna yang berbeda dalam masyarakat. METODE Data dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas nama diri etnik Bali yang tinggal di Surabaya dan nama diri hasil pernikahan beda etnik antara etnik Bali dan etnik non-Bali yang tinggal di Surabaya. Sumber data dalam penelitian ini adalah penutur dan dokumen. Penutur yang dimaksudkan adalah etnik Bali yang menikah dengan etnik non-Bali. Sementara itu, sumber data berupa dokumen diperoleh dari arsip pura tempat penelitian berlangsung dalam wilayah Surabaya. Metode dan Teknik Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah wawancara dan dokumentasi. Wawancara yang dipilih dalam penelitian ini adalah wawancara tansemuka. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik simak, teknik cakap, teknik catat, dan teknik rekam.
Metode dan Teknik Analisis Data Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode padan ekstralingual. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik pilah unsur penentu. Data yang didapat akan dipilah atau dipisah sesuai dengan unsur penentu masing-masing data. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Nama Diri Berdasarkan Urutan Kelahiran Salah satu yang akan dibahas di subbab ini adalah nama depan yang menggunakam penanda urutan kelahiran. Penanda tersebut dapat menunjukkan urutan kelahiran penyandang nama dalam keluarga. Penanda urutan kelahiran yang digunakan pada nama diri seseorang bersifat opsional. Artinya, dapat digunakan atau tidak sesuai dengan kebiasaan dalam keluarga atau pun budaya yang berkembang pada masyarakat setempat. Urutan kelahiran dikenal dengan empat penanda nama yang berbeda yaitu Gede, Putu, Wayan, dan Luh untuk anak pertama. Made, Kadek, dan Nengah untuk anak kedua. Nyoman dan Komang untuk anak ketiga dan Ketut untuk anak keempat. Contoh data berikut. Putu Redit Kamajaya uk
np
Data tersebut menunjukkan penggunaan penanda urutan kelahiran sebagai nama depan diikuti nama pemberian. Penanda urutan kelahiran yang digunakan adalah Putu yang menunjukkan bahwa penyandang nama merupakan anak pertama dalam keluarga. Penanda urutan kelahiran dapat digunakan oleh siapa pun tanpa memandang jenis kelamin. Oleh karena itu, etnik Bali menggunakan penanda gender sebagai pembeda jenis kelamin. Etnik Bali mengenal enam penanda gender yaitu I dan Bagus untuk laki-laki, sedangkan Ni, Niluh, Ayu, dan Istri untuk perempuan. Selain keenam penanda gender tersebut, etnik Bali juga menggunakan penanda gender Gede untuk lakilaki dan Luh untuk perempuan. Penanda gender dapat digunakan dua kali pada satu nama diri. Penanda gender tersebut yaitu I dan Gede untuk laki-laki, Ni dan Luh untuk perempuan. Contoh data berikut. I Wayan Runtun pg
uk
np
Data tersebut menunjukkan bahwa penyandang nama merupakan anak pertama dalam keluarga yang berjenis kelamin laki-laki. Penanda gender yang
digunakan adalah I untuk laki-laki. Contoh data lain sebagai berikut. Ni Luh Putu Marini pg
pg
uk
Ni Gusti Ayu Made Sunetri Mariana
np
Luh pada data tersebut berfungsi sebagai penanda gender mengikuti penanda gender Ni. Penanda urutan kelahiran yang digunakan adalah Putu. Data menunjukkan bahwa penyandang nama merupakan anak pertama dalam keluarga yang berjenis kelamin perempuan. Contoh lain sebagai berikut. I Putu Gede Wirya Saputra pg uk
pg
np
Data tersebut menunjukkan bahwa penanda gender tidak diletakkan sekaligus di depan penanda urutan kelahiran. Penanda gender yang digunakan letaknya terpisah mengapit penanda urutan kelahiran yang ada. Hal ini tidak berpengaruh pada arti nama jika dilihat dari penanda gender dan penanda urutan kelahiran yang digunakan. Data tersebut tetap menunjukkan bahwa penyandang nama merupakan anak pertama dalam keluarga yang berjenis kelamin laki-laki. Penanda urutan kelahiran dapat digunakan oleh semua nama diri etnik Bali tanpa memandang wangsa. Namun tidak semua wangsa menggunakan penanda urutan kelahiran pada namanya. Contoh data tampak sebagai berikut. Ida Kade Sadnyana pw
uk
np
Berdasarkan penanda urutan kelahiran yang digunakan, data tersebut menunjukkan bahwa penyandang nama merupakan anak kedua dalam keluarga. Sementara penanda wangsanya menunjukkan bahwa penyandang nama berasal dari wangsa brahmana. Selain menggunakan penanda urutan kelahiran, penanda wangsa juga dapat disandingkan dengan penanda gender. Contoh data tampak sebagai berikut. I Gusti Ayu Made Sadnyana pw
pg
uk
np
Data tersebut menunjukkan bahwa penyandang nama berasal dari wangsa ksatria dan merupakan anak kedua dalam keluarga yang berjenis kelamin perempuan. Ni Sayu Made Puspa Sari pg
pw
uk
penyandang nama berasal dari wangsa waisya dan merupakan anak kedua dalam keluarga. Contoh lain tampak sebagai berikut.
np
Data tersebut menunjukkan penggunaan penanda gender Ni bukan Ayu untuk perempuan. Sementara penanda wangsa yang digunakan menunjukkan bahwa
pg
pw
pg
uk
np
Data tersebut menunjukkan penggunaan dua penanda gender sekaligus yaitu Ni dan Ayu. Penanda gender Ni letaknya di depan diikuti penanda gender Ayu yang diletakkan setelah penanda wangsa. Berdasarkan penanda gender dan penanda urutan kelahiran yang digunakan, penyandang nama merupakan anak kedua dalam keluarga yang berjenis kelamin perempuan. Penanda wangsa menunjukkan bahwa penyandang nama berasal dari wangsa ksatria. Nama Diri Berdasarkan Wangsa Sistem wangsa yang berkembang di Bali membedakan satu wangsa dengan wangsa lainnya. Sistem penamaan pada masyarakat Bali menggunakan gelar nama depan sebagai penanda wangsa. Penanda wangsa ini berfungsi untuk menunjukkan identitas kewangsaan penyandang nama. Gelar nama depan yang digunakan sebagai penanda wangsa brahmana adalah Ida. Contoh data tampak sebagai berikut. Ida Kade Sadnyana pw uk np Data tersebut menunjukkan bahwa penyandang nama berasal dari wangsa brahmana karena penanda wangsa yang digunakan adalah Ida. Sementara penanda urutan kelahiran menunjukkan bahwa penyandang nama merupakan anak kedua dalam keluarga. Contoh lain tampak sebagai berikut. Ida Ayu Nirwasita Nariswari pw
pg
np
Data menunjukkan penggunaan penanda gender Ayu untuk perempuan. Dengan demikian, data tersebut menunjukkan bahwa penyandang nama berjenis kelamin perempuan dan berasal dari wangsa brahmana. Berikut contoh data yang menggunakan penanda urutan kelahiran. Ida Ayu Putu Devi Savitri pw
pg
uk
np
Pola yang membentuk data tersebut menunjukkan bahwa penyandang nama berasal dari wangsa brahmana dan merupakan anak ketiga dalam keluarga yang berjenis kelamin perempuan. Dalam penelitian ini ditemukan penggunaan nama leluhur pada sistem nama diri etnik Bali dari wangsa
brahmana. Menurut kepercayaan Hindu, leluhur adalah jelmaan orang tua terdahulu pada tubuh anak atau cucunya. Nama leluhur digunakan untuk menunjukkan bahwa penyandang nama merupakan keturunan dari leluhur tertentu (Sutrisna, 2015:12). Meski leluhur diperoleh berdasarkan keturunan, tidak semua nama diri etnik Bali menggunakan nama leluhur. Contoh data sebagai berikut. Ida Bagus Mas Satria D. pw
pg
nl
np
I Gusti Agung Made Raka Santiawan uk
np
Penanda wangsa yang digunakan pada data tersebut yaitu I Gusti Agung. Penanda urutan kelahiran yang digunakan menunjukkan bahwa penyandang nama merupakan anak kedua dalam keluarga. Dengan demikian, data tersebut menunjukkan bahwa penyandang nama merupaka anak kedua dalam keluarga yang berasal dari wangsa ksatria. I Gusti Agung Ayu Ketut Cessya Ardani pw
pg
uk
Gusti Ngurah Agus Kurniawan pw
Berdasarkan penanda wangsa dan penanda gender yang digunakan, penyandang nama berasal dari wangsa brahmana dan berjenis kelamin laki-laki. Kata Mas pada data tersebut bukan sebutan untuk kakak laki-laki seperti yang dikenal masyarakat Jawa tetapi nama leluhur yang digunakan pada data tersebut. Nama leluhur yang digunakan menunjukkan bahwa penyandang nama selain berasal dari wangsa brahmana juga merupakan keturunan dari leluhur Mas. Contoh data lain dari wangsa ksatria tampak sebagai berikut.
pw
penanda genetik. Ketentuan tersebut antara lain, penyandang nama merupakan anak kandung, tidak memandang jenis kelamin dan urutan kelahiran penyandang nama. Dalam penelitian ini, penanda genetik baru ditemukan pada sistem nama diri wangsa ksatria. Penanda genetik yang digunakan yaitu Ngurah. Contoh data tampak sebagai berikut.
np
Data tersebut menunjukkan penggunaan penanda gender untuk jenis kelamin perempuan yaitu Ayu. Penanda wangsa yang digunakan yaitu Gusti, sedangkan penanda urutan kelahirannya menunjukkan anak keempat dalam keluarga. Data tersebut menunjukkan bahwa penyandang nama berasa dari wangsa ksatria dan merupakan anak keempat dalam keluarga yang berjenis kelamin perempuan. Pada sistem nama diri etnik Bali ditemukan penggunaan penanda genetik. Penanda genetik ini disandang oleh anak dari keturunan tri wangsa. Keturunan yang dimaksud adalah dari garis keturunan ibu atau nenek (Amaliana, 2016:33). Jadi, seseorang yang menggunakan penanda genetik harusnya ibu atau neneknya berasal dari golongan tri wangsa. Menurut Antara (dalam Amaliana, 2016:33) ada ketentuan mendasar yang harus dipenuhi dalam penggunaan
pt
np
Data tersebut menunjukkan bahwa penyandang nama berasal dari wangsa ksatria. Penanda wangsa pada data tersebut diikuti penanda genetik yaitu Ngurah serta nama pemberian. Penggunaan penanda genetik menunjukkan bahwa ibu atau nenek penyandang nama berasal dari golongan tri wangsa. Penanda genetik juga dapat disandingkan dengan penanda gender. Penanda genetik mengikuti penanda wangsa dan diikuti penanda gender. Contoh data sebagai berikut. I Gusti Ngurah Nyoman Erwin A. pw
pt
uk
np
Data tersebut menunjukkan tidak digunakannya penanda gender tetapi diganti dengan penanda urutan kelahiran. Penanda genetik letaknya setelah penanda wangsa dan diikuti penanda urutan kelahiran serta nama pemberian. Data tersebut menunjukkan bahwa penyandang nama berasal dari wangsa ksatria dan merupakan anak ketiga dalam keluarga. Penanda genetik menunjukkan bahwa ibu atau nenek penyandang nama berasal dari golongan tri wangsa. Berikut contoh nama diri wangsa ksatria yang menggunakan penanda genetik dan nama leluhur. I Gusti Ngurah Rai Usadha pw
pt
nl
np
Nama leluhur yang digunakan pada data tersebut yaitu Rai yang menunjukkan bahwa penyandang nama merupakan keturunan dari leluhur Rai. Nama leluhur pada data tersebut diikuti nama pemberian. Data tersebut menunjukkan bahwa penyandang nama berasal dari wangsa ksatria. Ibu atau nenek penyandang nama merupakan golongan tri wangsa. Wangsa waisya termasuk dalam golongan tri wangsa yang memiliki penanda wangsa sendiri. Penanda wangsa waisya selain dapat menunjukkan kewangsaan juga dapar menunjukkan jenis kelamin penyandang nama. Penanda wangsa untuk wangsa waisya dibagi menjadi dua berdasarkan jenis kelamin penyandang nama. Penanda wangsa untuk laki-laki yaitu I Dewa atau Dewa, Sang, Ngakan, dan Bagus.
Perempuan ditandai dengan nama depan I Desak atau Desak, Sang Ayu, Sayu, Si, dan Ayu. Contoh data tampak sebagai berikut. I Dewa Kade Madiun pw uk np Penanda wangsa yang digunakan pada data tersebut yaitu I Dewa. Kade menunjukkan bahwa penyandang nama merupakan anak kedua dalam keluarga. Berdasarkan penanda wangsa yang digunakan, penyandang berjenis kelamin laki-laki. Data tersebut menunjukkan bahwa penyandang nama merupakan anak kedua dalam keluarga yang berjenis kelamin laki-laki. Penyandang nama berasal dari wangsa waisya. Contoh data untuk jenis kelamin perempuan tampak sebagai berikut. Desak Putu Setiasih pw uk np Berdasarkan penanda wangsa dan urutan kelahiran yang digunakan, data tersebut menjelaskan bahwa penyandang nama merupakan anak pertama dalam keluarga yang berjenis kelamin perempuan. Penyandang nama berasal dari wangsa waisya. Jenis kelamin terlihat dari penggunaan Desak sebagai penanda wangsa untuk wangsa waisya yang berjenis kelamin perempuan. Pada sistem nama diri etnik Bali, wangsa sudra tidak memiliki gelar nama depan sebagai penanda wangsa. Hal ini berbeda dengan golongan tri wangsa yang memiliki penanda wangsa yang berbeda-beda sesuai wangsanya. Berikut contoh data nama diri wangsa sudra. I Wayan Mundra pw
np
Nama diri pada data tersebut disusun oleh penanda gender, penanda urutan kelahiran, dan nama pemberian. Data tersebut menggunakan penanda gender untuk menunjukkan jenis kelamin penyandang nama. Berdasarkan penanda gender dan penanda urutan kelahiran yang digunakan, penyandang nama merupakan anak pertama dalam keluarga yang berjenis kelamin laki-laki. Penanda gender dan penanda urutan kelahiran juga digunakan sebagai penanda wangsa. Hal itu menunjukkan bahwa penyandang nama berasal dari wangsa sudra. Meskipun tidak memiliki gelar nama depan seperti golongan tri wangsa, wangsa sudra juga menggunakan nama leluhur pada sistem nama dirinya. Dalam penelitian ditemukan penggunaan nama leluhur yang lebih beragam dibanding yang ditemukan pada nama
diri golongan tri wangsa. Contoh data tampak sebagai berikut. I Ketut Merthe pw nl Data tersebut menunjukkan penggunaan nama leluhur Merthe. Sementara penanda wangsa yang digunakan yaitu penanda gender I dan penanda urutan kelahiran Ketut. Data tersebut menunjukkan bahwa penyandang nama merupakan anak keempat dalam keluarga yang berjenis kelamin laki-laki dan berasal dari wangsa sudra. Penyandang nama merupakan keturunan leluhur Merthe. Nama Diri Berdasarkan Warna Masyarakat Bali mengenal empat sistem warna dalam kehidupan sehari-hari. Keempat warna tersebut adalah brahmana, ksatria, waisya, dan sudra. Warna yang dimiliki seseorang berdasarkan pada kewajiban, bakat, atau pekerjaannya dalam masyarakat (Agung dalam Amaliana, 2016:29). Hal inilah yang membedakan warna dan wangsa. Warna tidak diperoleh berdasarkan keturunan tetapi diusahakan melalui kemampuan, pekerjaan, dan kewajiban dalam kehidupan sosial masyarakat. Setiap warna memiliki fungsi dan bidang pekerjaan masing-masing. Warna brahmana berkewajiban di bidang keagamaan dan pengembangan ilmu pengetahuan seperti pendeta, sulinggih, rohaniawan, dosen, guru, pengacara, para medik, dan pekerja seni. Warna ksatria berkewajiban di bidang pemerintahan dan militer. Warna waisya berkewajiban di bidang perdagangan barang dan jasa, sedangkan warna sudra berkewajiban membantu ketiga warna sebelumnya seperti pekerja atau buruh (Hardy, dkk., 2016:83). Warna membagi masyarakat berdasarkan bakat dan kewajibannya dalam masyarakat, sehingga hanya seseorang dengan bakat dan kemampuan tertentu yang dapat digolongkan sebagai warna tertentu. Warna tidak melihat seseorang dari keturunannya, sehingga dibutuhkan data kartu keluarga untuk mengetahui warna yang disandang seseorang. Contoh data tampak sebagai berikut. Ni Made Aryani pw np Data tersebut menggunakan penanda wangsa yang menunjukkan bahwa penyandang nama berwangsa sudra. Berdasarkan data kartu keluarga yang diperoleh dari Pura Tirta Wening, penyandang nama bekerja sebagai guru. Bidang pekerjaan tersebut termasuk dalam warna brahmana. Namun, nama diri yang digunakan tidak menunjukkan bahwa penyandang
nama berwarna brahmana.Contoh lainnya tampak sebagai berikut. Dewa Ketut Meles pw
uk
np
Berdasarkan penanda wangsa yang digunakan penyandang nama berasal dari wangsa waisya. Data kartu keluarga yang diperoleh dari Pura Segara menunjukkan bahwa penyandang nama bekerja sebagai dosen. Bidang pekerjaan tersebut termasuk dalam warna brahmana. Nama diri seharusnya menggunakan penanda warna brahmana yaitu Ida. Namun, nama diri tidak menggunakan penanda warna brahmana, sehingga warna tidak dapat diketahui dari nama yang digunakan. Berikut contoh data nama diri warna ksatria. Ida Kade Sadnyana pw uk np Penanda wangsa yang digunakan menunjukkan bahwa penyandang nama berwangsa brahmana. Data kartu keluarga dari Pura Segara menunjukkan bahwa penyandang nama bekerja sebagai PNS. Bidang pekerjaan tersebut termasuk dalam warna ksatria. Nama diri seharusnya menggunakan penanda warna ksatria untuk menunjukkan warna yang dimiliki penyandang nama. Contoh lain tampak sebagai berikut. I Wayan Sudarma pw
np
I Gusti Putu Cakra Winaya uk
pw
pg
uk
np
Data tersebut menunjukkan bahwa penyandang nama berwangsa brahmana. Data kartu keluarga yang diperoleh dari Pura Segara menunjukkan bahwa penyandang nama bekerja sebagai wiraswasta. Bidang pekerjaan tersebut termasuk dalam warna waisya. Nama diri seharusnya menggunakan penanda warna waisya. Namun, nama diri tidak menunjukkan penggunaan penanda warna waisya, sehingga warna yang dimiliki penyandang nama tidak dapat dilihat dari nama diri yang digunakan. Berikut contoh data nama diri warna sudra. Ida Bagus Ardana pw
pg
np
Data tersebut menunjukkan bahwa penyandang nama berwangsa brahmana. Data kartu keluarga yang diperoleh dari Pura Segara menunjukkan bahwa penyandang nama bekerja sebagai karyawan swasta. Bidang pekerjaan tersebut termasuk dalam warna sudra. Nama diri seharusnya menggunakan penanda warna sudra untuk menunjukkan warna yang dimiliki penyandang nama. Namun, data tersebut tidak menggunakan penanda warna sudra. Contoh lainnya adalah sebagai berikut. I Gusti Ngurah Bagus K.D.
Data tersebut menunjukkan penyandang nama berwangsa sudra. Terlihat dari penanda wangsa yang digunakan yaitu penanda gender dan penanda urutan kelahiran. Data kartu keluarga yang diperoleh dari Pura Tirta Wening menunjukkan bahwa I Wayan Sudarma bekerja sebagai PNS. Bidang pekerjaan tersebut termasuk dalam warna ksatria. Namun, nama diri yang digunakan tidak menunjukkan warna yang dimiliki penyandang nama. Nama diri justru menunjukkan wangsa penyandang nama. Berikut contoh data nama diri warna waisya.
pw
penggunaan penanda warna waisya sesuai bidang pekerjaannya. Contoh data lainnya tampak sebagai berikut. Ida Bagus Gde Surya Dharma
np
Data tersebut menunjukkan penyandang nama berwangsa ksatria. Terlihat dari penanda wangsa yang digunakan yaitu I Gusti. Namun, data kartu keluarga yang diperoleh dari Pura Tirta Wening menunjukkan bahwa I Gusti Putu Cakra Winaya bekerja sebagai wiraswasta. Bidang pekerjaan tersebut termasuk dalam warna waisya. Nama diri tidak menunjukkan
pw
pt
pg
np
Penanda genetik pada data tersebut diikuti penanda gender untuk laki-laki yaitu Bagus. Data tersebut menunjukkan bahwa penyandang nama berwangsa ksatria. Data kartu keluarga yang diperoleh dari Pura Tunggal Jati menunjukkan bahwa penyandang nama bekerja sebagai karyawan swasta. Bidang pekerjaan tersebut termasuk dalam warna sudra. Namun, nama diri yang digunakan tidak menunjukkan warna yang dimiliki penyandang nama. Pada nama diri tidak ditemukan penggunaan penanda warna sudra. Nama Diri Hasil Pernikahan Beda Etnik antara Etnik Bali dan Etnik Non-Bali Pernikahan beda etnik terbagi menjadi dua. Pertama, pernikahan beda etnik antara laki-laki etnik Bali dan perempuan etnik non-Bali. Kedua, pernikahan beda etnik antara laki-laki etnik non-Bali dan perempuan etnik Bali. Contoh data nama diri dari
pernikahan beda etnik antara laki-laki etnik Bali dan perempuan etnik non-Bali tampak sebagai berikut. Ida Ayu Atiek Suastini pw pg np Data tersebut menunjukkan bahwa penyandang nama berwangsa brahmana dan berjenis kelamin perempuan. Data kartu keluarga yang diperoleh dari Pura Segara menunjukkan bahwa penyandang nama merupakan anak dari pasangan Ida Bagus Gede dan Inung Laila Nurhayat. Ayah penyandang nama merupakan etnik Bali dari wangsa brahmana sedangkan, sang ibu merupakan etnik Jawa. Berdasarkan sistem patrilineal yang dianut masyarakat Bali, penyandang nama mewarisi wangsa sang ayah. Nama diri yang digunakan menunjukkan identitasnya sebagai keturunan wangsa brahmana. Contoh lainnya tampak sebagai berikut. I Gusti Ayu Putri Dhira N. pw pg np Penanda wangsa yang digunakan menunjukkan bahwa penyandang nama berwangsa ksatria. Penanda gender Ayu menunjukkan bahwa penyandang nama berjenis kelamin perempuan. Data kartu keluarga yang diperoleh dari Pura Tirta Wening menunjukkan bahwa ayah penyandang nama berasal dari wangsa ksatria. Wangsa tersebut diwariskan kepada I Gusti Ayu Putri Dhira N. Nama diri menggunakan penanda wangsa kstaria mengikuti garis keturunan sang ayah. Contoh lainnya tampak sebagai berikut. I Desak Made Santika pw uk np Data tersebut menunjukkan bahwa penyandang nama berwangsa waisya dan merupakan anak kedua dalam keluarga yang berjenis kelamin perempuan. Data kartu keluarga yang diperoleh dari Pura Tirta Wening menunjukkan bahwa penyandang nama merupakan anak dari pasangan I Dewa Kade Madiun dan Sri Purwati. Berdasarkan data kartu keluarga tersebut diketahui bahwa ayah penyandang nama berasal dari wangsa waisya. Dengan demikian, I Desak Made Santika mewarisi wangsa sang ayah dan nama diri yang digunakan menunjukkan penggunaan penanda wangsa waisya. Berikut contoh data nama diri hasil pernikahan beda etnik antara laki-laki etnik non-Bali dan perempuan etnik Bali. I Putu Anangga Pramana Artha pw
np
Data tersebut menunjukkan bahwa penyandang nama berwangsa sudra dan merupakan anak pertama dalam keluarga yang berjenis kelamin laki-laki. Wangsa penyandang nama diperoleh dari garis keturunan pihak ayah. Data kartu keluarga yang diperoleh dari Pura Tirta menunjukkan bahwa penyandang nama merupakan anak dari pasangan I Wayan Sumadiarta dan Nuryasih. Ayah penyandang nama berasal dari wangsa sudra. Hal ini terlihat dari nama depan yang digunakan sebagai penanda wangsa yaitu penanda gender dan penanda urutan kelahiran. Contoh lainnya tampak sebagai berikut. Putu Arkananta Sangkara Ronaldo Sugiantoro pw
np
Berdasarkan penanda wangsa yang digunakan, diketahui bahwa penyandang nama berasal dari wangsa sudra. Data kartu keluarga yang diperoleh dari Pura Tirta Wening menunjukkan bahwa penyandang nama merupakan anak dari pasangan Kris Sugiantoro dan Ni Nengah Vina Irawati. Data kartu keluarga tersebut menjelaskan bahwa ibu penyandang nama merupakan etnik Bali dari wangsa sudra. Nama diri yang digunakan penyandang nama mengikuti garis keturunan ibu. Penggunaan Bahasa Indonesia pada Nama Diri Etnik Bali Etnik Bali cenderung menggunakan bahasa Sansekerta dan bahasa Bali pada namanya. Bahasa Sansekerta dan bahasa Bali biasanya digunakan pada nama pemberian. Sementara nama depan menggunakan penanda gender, penanda urutan kelahiran, dan penanda wangsa. Pengaruh kosakata bahasa Indonesia terjadi pada nama diri wangsa ksatria, waisya, dan sudra. Nama diri yang terpengaruh kosakata bahasa Indonesia didominasi oleh wangsa sudra. Data yang ditemukan menunjukkan adanya pengaruh kosakata bahasa Indonesia pada nama diri etnik Bali terjadi sejak tahun 1942. Contoh data tampak sebagai berikut. I Gusti Ketut Hans Desember pw uk np Data tersebut menggunakan kosakata bahasa Indonesia yaitu Desember yang berarti bulan kedua belas tahun masehi. Kosakata yang dipilih berhubungan dengan bulan lahir penyandang nama. Contoh lainnya tampak sebagai berikut. I Dewa Gede Mahardika pw
uk
np
Data tersebut menunjukkan penggunaan nama pemberian berupa kosakata bahasa Indonesia. Kosakata yang dipilih yaitu Mahardika yang berarti berilmu (cerdik, pandai, bijak), berbudi luhur, atau memiliki sifat bangsawan. Nama pemberian yang digunakan sesuai keinginan atau harapan orang tua penyandang nama. Berbeda dengan penanda wangsa dan penandan urutan kelahiran yang digunakan. Penanda wangsa harus menunjukkan wangsa yang dimiliki penyandang nama. Begitu pun dengan penanda urutan kelahiran. Data tersebut menunjukkan bahwa penyandang nama berasal dari wangsa waisya dan merupakan anak pertama dalam keluarga. Bahasan Penelitian Data yang ditemukan menunjukkan bahwa nama diri etnik Bali cenderung menggunakan penanda wangsa sebagai nama depan. Masing-masing wangsa memiliki penanda wangsa yang berbeda-beda. Penanda wangsa yang digunakan pada nama diri etnik Bali diperoleh secara turun-temurun. Artinya, wangsa diperoleh sejak lahir berdasarkan garis keturunan ayah. Seseorang dikatakan berwangsa brahmana apabila sang ayah juga berwangsa brahmana. Begitu juga pada tiga wangsa lainnya. Selain penanda wangsa, etnik Bali mengenal penggunaan penanda warna untuk menunjukkan warna yang dimiliki penyandang nama. Warna dan wangsa memang sama-sama dibagi menjadi empat yaitu brahmana, ksatria, waisya, dan sudra. Namun, ada perbedaan yang mendasar antara keduanya yaitu pada proses pemerolehan. Warna diperoleh dengan cara diusahakan melaui bakat kemampuan, pekerjaan, dan kewajiban yang dijalankan dalam masyarakat. Sementara wangsa diperoleh secara langsung dari garis keturunan ayah. Wangsa bersifat turun-temurun sedangkan, warna tidak dapat diturunkan atau diwariskan pada keturunannya. Penamaan berdasarkan warna tidak lagi digunakan pada etnik Bali di Surabaya. Data yang ditemukan menunjukkan bahwa nama diri menggunakan sistem wangsa yang diperoleh secara turun-temurun dari garis keturunan ayah. Nama diri berdasarkan wangsa tidak hanya diketahui dari gelar nama depan yang digunakan tetapi juga dari data kartu keluarga yang diperoleh dari pura. Data kartu keluarga membantu memberikan informasi berupa data nama diri orangtua penyandang nama. Berdasarkan dua hal tersebut, nama diri etnik Bali di Surabaya dapat dikatakan tidak lagi menggunakan sistem warna. Data yang ditemukan menunjukkan bahwa penyandang nama menggunakan nama diri sesuai
wangsa yang dimiliki. Sistem warna tidak lagi digunakan pada nama diri etnik Bali di Surabaya. Nama diri tidak berubah meskipun bidang pekerjaan penyandang nama tidak sesuai dengan nama yang digunakan. Misal, seseorang dari keturunan wangsa brahmana akan tetap menyandang gelar nama depan wangsa brahmana meskipun bidang pekerjaannya termasuk dalam warna sudra. Dengan demikian, untuk mengetahui warna seseorang diperlukan informasi tentang pekerjaannya dalam masyarakat. Hal ini karena nama diri etnik Bali di Surabaya menunjukkan penggunaan penanda wangsa bukan penanda warna. Jika nama diri berdasarkan warna tetap digunakan, maka penyandang nama harus melakukan beberapa kali perubahan nama. Ritual atau tradisi yang dilakukan ketika proses pemberian nama kemungkinan juga akan dilakukan beberapa kali. Proses pemberian nama pertama dilakukan ketika bayi berusia tiga bulan. Nama yang digunakan sesuai dengan yang disepakati pihak keluarga. Nama yang akan disandang pada saat itu tentu akan menunjukkan wangsa sang ayah dan leluhur penyandang nama, sehingga nama diri akan cenderung menggunakan penanda wangsa untuk menunjukkan kewangsaannya. Sementara itu, penanda warna akan digunakan apabila penyandang nama mengubah namanya sesuai dengan warna yang dimiliki. Warna akan diketahui ketika seseorang mulai melaksanakan kewajibannya dalam masyarakat. Meski nama diri berdasarkan warna sudah tidak lagi digunakan, etnik Bali di Surabaya tetap mempertahankan penggunaan nama Bali pada namanya. Pemertahanan nama Bali pada etnik Bali di Surabaya tidak hanya terjadi pada etnik Bali asli tetapi juga pada hasil pernikahan beda etnik. Data nama diri hasil pernikahan beda etnik menunjukkan adanya pemertahanan nama Bali. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya data nama diri yang tetap menggunakan nama Bali meskipun sang ayah berasal dari etnik nonBali. Sesuai sistem patrilineal yang dianut masyarakat Bali, nama diri hasil pernikahan beda etnik antara lakilaki etnik non-Bali dan perempuan etnik Bali seharusnya tidak menggunakan nama Bali. Namun, nama diri yang ditemukan pada data tersebut menunjukkan pemertahanan nama Bali dengan mengikuti garis keturunan ibu. Jadi, nama diri hasil pernikahan beda etnik dapat mengikuti garis keturunan ayah atau ibu. Pemertahanan nama Bali ditandai dengan digunakannya penanda nama depan yang menunjukkan identitas penyandang nama sebagai etnik Bali. Penanda nama depan yang dimaksud
adalah penanda gender, penanda urutan kelahiran, dan penanda wangsa. Sementara itu, pada nama pemberian ada pengaruh bahasa Indonesia. Etnik Bali biasa menggunakan bahasa Sansekerta dan bahasa Bali pada namanya. Kedua bahasa tersebut digunakan pada nama pemberian. Nama pemberian sendiri bersifat bebas. Artinya, sesuai dengan keinginan orangtua penyandang nama dan tidak terikat pada kondisi penyandang nama. Kondisi yang dimaksud adalah jenis kelamin, urutan kelahiran dalam keluarga, dan wangsa. Hal ini menyebabkan pengaruh bahasa Indonesia pada nama pemberian mungkin saja terjadi. Penggunaan kosakata bahasa Indonesia pada nama pemberian dipengaruhi oleh situasi kebahasaan yang ada pada tempat tinggal penyandang nama. Dalam penelitian ini adalah Surabaya sebagai lokasi penelitian. Dalam penelitian ini pengaruh kosakata bahasa Indonesia pada nama pemberian hanya terjadi pada nama diri etnik Bali dari wangsa ksatria, waisya, dan sudra. Nama pemberian pada nama diri wangsa brahmana tidak terpengaruh kosakata bahasa Indonesia. Wangsa brahmana merupakan wangsa tertinggi, sehingga pemertahanan nama Bali pada semua unsur penanda nama lebih kuat dibanding tiga wangsa lainnya. PENUTUP Simpulan Berdasarkan hasil dan bahasan penelitian, nama diri etnik Bali di Surabaya terbagi menjadi lima bagian yaitu nama diri berdasarkan urutan kelahiran, nama diri berdasarkan wangsa, nama diri berdasarkan warna, nama diri hasil pernikahan beda etnik antara etnik Bali dan etnik non-Bali, dan nama diri menggunakan bahasa Indonesia. Kelimanya disimpulkan sebagai berikut. Pertama, nama diri berdasarkan urutan kelahiran. Nama diri berdasarkan urutan kelahiran berfungsi sebagai identitas etnik Bali di Surabaya. Pada nama diri berdasarkan urutan kelahiran terdapat tiga pola utama yaitu: a) Penanda gender (pg)/Ø + penanda gender (pg)/Ø + penanda wangsa (pw)/Ø + penanda urutan kelahiran (uk) + nama pemberian (np) b) Penanda gender (pg) + penanda urutan kelahiran (uk) + penanda gender (pg) + nama pemberian (np) c) Penanda gender (pg)/Ø + penanda wangsa (pw) + penanda gender (pg) + penanda urutan kelahiran (uk) + nama pemberian (np)
Kedua, nama diri berdasarkan wangsa. Nama diri berdasarkan wangsa pada etnik Bali di Surabaya dibagi menjadi empat sebagai berikut. a) Nama diri wangsa brahmana ditemukan satu pola utama yaitu penanda wangsa (pw) + penanda gender (pg)/Ø + penanda urutan kelahiran (uk)/Ø + nama leluhur (nl)/Ø + nama pemberian (np)/Ø. b) Nama diri wangsa ksatria ditemukan dua pola utama berikut. 1. penanda wangsa (pw) + penanda gender (pg)/Ø + penanda genetik (pt)/Ø + penanda urutan kelahiran (uk)/Ø + nama leluhur (nl)/Ø + nama pemberian (np)/Ø 2. penanda gender (pg)/Ø + penana wangsa (pw) + penanda urutan kelahiran (uk)/Ø + penanda genetik (pt)/Ø + nama pemberian (np)/Ø c) Nama diri wangsa waisya ditemukan satu pola utama yaitu penanda wangsa (pw) + penanda gender (pg)/Ø + penanda urutan kelahiran (uk)/Ø + nama pemberian (np)/Ø. d) Nama diri wangsa sudra ditemukan tiga pola utama berikut. 1. penanda gender (pg)/Ø + penanda wangsa (pw) + penanda genetik (pt)/Ø + penanda urutan kelahiran (uk)/Ø + nama leluhur (nl)/Ø + nama pemberian (np)/Ø 2. penanda wangsa (pw) + nama pemberian (np) + nama leluhur (nl) 3. nama leluhur (nl) + penanda wangsa (pw) + nama pemberian (np) Ketiga, Nama diri berdasarkan warna pada etnik Bali di Surabaya tidak lagi digunakan tetapi digantikan dengan wangsa. Data yang ditemukan menunjukkan tidak adanya penggunaan penanda warna pada nama diri etnik Bali di Surabaya. Nama diri yang ditemukan menunjukkan penggunaan gelar nama depan sebagai penanda wangsa. Jadi, seseorang yang sejak lahir sudah menggunakan penanda wangsa brahmana, ketika dewasa tidak mengalami perubahan nama meskipun bidang pekerjaannya termasuk dalam warna sudra. Warna diri berdasarkan warna dibagi menjadi empat berikut. a) Nama diri warna brahmana ditemukan satu pola utama yaitu penanda gender (pg)/Ø + penanda wangsa (pw) + penanda gender (pg)/Ø + penanda genetik (pt)/Ø + penanda urutan kelahiran (uk)/Ø + nama leluhur (nl)/Ø + nama pemberian (np). b) Nama diri warna ksatria ditemukan satu pola utama yaitu penanda wangsa (pw) + penanda gender (pg)/Ø + penanda genetik (pt)/Ø + penanda urutan kelahiran (uk)/Ø + nama pemberian (np).
c) Nama diri warna waisya ditemukan satu pola utama yaitu penanda wangsa (pw) + penanda gender (pg)/Ø + penanda urutan kelahiran (uk)/Ø + nama leluhur (nl)/Ø + nama pemberian (np)/Ø. d) Nama diri warna sudra ditemukan dua pola utama berikut. 1. penanda gender (pg)/Ø + penanda wangsa (pw) + penanda genetik (pt)/Ø + penanda urutan kelahiran (uk)/Ø + nama leluhur (nl)/Ø + nama pemberian (np)/Ø 2. penanda gender (pg) + penanda wangsa (pw) + penanda urutan kelahiran (uk) + nama pemberian (np) Keempat, nama diri hasil pernikahan beda etnik antara etnik Bali dan etnik non-Bali. Pada pernikahan beda etnik terjadi pemertahanan nama Bali. Nama diri yang digunakan dapat mengikuti garis keturunan ayah atau ibu. Pola yang ditemukan dalam nama diri hasil pernikahan beda etnik sama dengan pola yang ditemukan pada nama diri berdasarkan wangsa. Kelima, adanya pengaruh bahasa Indonesia pada nama diri etnik Bali di Surabaya. Pengaruh tersebut terjadi pada nama pemberian, sedangkan nama depan tetap menggunakan unsur nama Bali. Pola yang ditemukan pada nama diri etnik Bali yang terpengaruh bahasa Indonesia sama dengan pola yang ditemukan pada nama diri berdasarkan wangsa. Pengaruh kosakata bahasa Indonesia pada nama pemberian hanya terjadi pada nama diri wangsa ksatria, waisya, dan sudra. Nama pemberian pada nama diri wangsa brahmana tidak menunjukkan adanya pengaruh kosakata bahasa Indonesia. Wangsa brahmana cenderung mempertahankan nama Bali pada keseluruhan unsur pembentuk namanya. Saran Pada nama diri etnik Bali dapat dilakukan penelitian dari berbagai aspek. Selain penelitian pada unsur pembentuk nama, penelitian lain dapat dilakukan dengan lebih jauh menyentuh ranah tradisi dan budaya yang menjadi latar belakang penamaan. Salah satunya adalah sistem pernikahan yang dianut masyarakat Bali. Jadi, nama diri etnik Bali dapat dikaji berdasarkan sistem pernikahannya. Penelitian ini dapat dijadikan bahan penelitian selanjutnya dengan harapan dapat dilakukan penelitian lanjutan yang lebih dalam tentang nama diri etnik Bali pada sistem pernikahan beda wangsa. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya pergeseran nama diri etnik Bali berdasarkan warna. Nama diri etnik Bali di Surabaya sekarang ini sudah tidak lagi menggunakan sistem warna yang ada.
Artinya, nama diri hanya menggunakan penanda wangsa sebagai nama depan untuk menunjukkan identitas wangsanya. Penanda warna sudah tidak lagi ditemukan pada nama diri etnik Bali di Surabaya. Meski demikian, nilai positif yang ada pada sistem warna sebaiknya tetap dipertahankan untuk kehidupan sosial bermasyarakat etnik Bali yang lebih baik ke depannya. DAFTAR RUJUKAN Amaliana, Zulfiana. 2016. ―Akulturasi Budaya dalam Pemberian Nama Anak pada Keluarga Perkawinan Campur antara Suku Bali dan Non-Bali di Desa Kalibukbuk dan Desa Gerokgak Kabupaten Buleleng‖ dalam Tesis Universitas Diponegoro Semarang Fakultas Ilmu dan Budaya. Bandana, I Gde Wayan Soken. 2015. ―Sistem Nama Orang Bali: Kajian Struktur dan Makna‖ dalam Jurnal Aksara, Vol. 27, No. 1, hal. 1— 11. Hardy, I Gusti Ngurah Wiras, Bakti Setiawan, dan Budi Prayitno. 2016. ―Pengaruh Sistem Catur Wangsa terhadap Perwujudan Tata Spasial Kota Peninggalan Kerajaan Hindu di Bali: Khusus Kota Karangasem‖ dalam Jurnal Kajian Bali, Vol. 06 No. 02, hal. 79—92. Indrawan, Iwan. 2015. ―Konotasi Nama-Nama Diri: Sebuah Studi tentang Sikap Bahasa Dosen Dilihat dari Persepsi Mereka tentang Tingkat Kecerdasan Mahasiswa Berdasarkan NamaNama Mereka‖ dalam Jurnal Vidya Samhita Jurnal Penelitian Agama. Denpasar: Institut Hindu Dharma Negeri. Istiana. 2012. ―Bentuk dan Makna Nama-Nama Kampung di Kecamatan Kotagede‖ dalam Skripsi Universitas Negeri Yogyakarta Fakultas Bahasa dan Seni. KBBI Offline versi 1.5.1 Hak Cipta © 2010—2013 Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional Purwadi dan Eko Priyo Purnomo. 2005. ―Kamus Sansekerta Indonesia‖ diunduh dari: https://javasland.files.wordpress.com/2010/01 /kamus-bahasa-sansekerta1.pdf Sibarani, Robert. 2004. Antropolinguistik: Antropologi Linguistik, Linguistik Antropologi. Medan: Penerbit Poda. Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik analisis Bahasa Pengantar Penelitian Wahana
Kebudayaan secara Linguistik. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Sugiri, Eddy. 2003. ―Perspektif Budaya Perubahan Nama Diri Bagi WNI Keturunan Tionghoa di Wilayah Pemerintah Kota Surabaya‖ dalam Jurnal Bahasa dan Seni, Tahun ke-31, No. 1 Februari 2003. Sutrisna, I Gusti Ayu Nila. 2015. ―Sistem Nama Diri Bahasa pada Komunitas Penutur Bahasa Bali di Cakranegara Mataram‖ dalam Skripsi Universitas Mataram Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Thomas, Linda & Shan Wareing. 2007. Bahasa, Masyarakat, & Kekuasaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Tim Penyusun. 2014. Buku Panduan Skripsi Fakultas Bahasa dan Seni (Edisi Revisi). Surabaya: Unesa Wiana, I Ketut. 2006. Memahami Perbedaan Catur Varna, Kasta, dan Wangsa. Surabaya: Penerbit Paramita Winarta, Ana Agung Gd. 2015. ―Eksistensi Kasta dalam Sistem Sosial Masyarakat Hindu di Kecamatan Toili Barat‖ dalam Skripsi Universitas Negeri Gorontalo Fakultas Ilmu Sosial. Wibowo, Ridha Mashudi. 2001. ―Nama Diri Etnik Jawa‖ dalam Humaniora, Vol. XIII, No. 1 Februari 2001, hal. 45—55.