nauvaladityapratama
CERITA SOEDIRMAN.... SOEDIRMAN, salah seorang pahlawan nasional dan simbol Tentara Nasional Indonesia (TNI) bukanlah nama yang asing di telinga. Ia mendapat tempat istimewa dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia karena menjabat panglima angkatan bersenjata pada awal berdirinya republik ini. Namun, pengetahuan tentang Soedirman yang diberikan bangku sekolah tidak pernah cukup mendalam. Sementara ketersediaan literatur yang membahas Soedirman secara khusus jumlahnya tidak memadai.Dalam kurun waktu 25 tahun pertama pascakemerdekaan, tercatat hanya ada satu buku saja yang menempatkan Soedirman sebagai pokok bahasan, yaitu "Djenderal Soedirman Pahlawan Kemerdekaan" (1963) yang ditulis Solichin Salam. Selebihnya pembahasan tentang Soedirman selalu hanya merupakan pelengkap bagi kerangka bahasan lain seperti tentang gerakan Pemuda Muhammadiyah, kepanduan Hizbul Wathan, perang revolusi kemerdekaan, tentara, politik militer, hingga tentang Tan Malaka.
0 votes Thanks 0
Refffan
Sisingamangaraja XII Ketika Sisingamangaraja XII dinobatkan menjadi Raja Batak, waktu itu umurnya baru 19 tahun. Sampai pada tahun 1886, hampir seluruh Sumatera sudah dikuasai Belanda kecuali Aceh dan tanah Batak yang masih berada dalam situasi merdeka dan damai di bawah pimpinan Raja Sisingamangaraja XII yang masih muda. Rakyat bertani dan beternak, berburu dan sedikit-sedikit berdagang. Kalau Raja Sisingamangaraja XII mengunjungi suatu negeri semua yang “terbeang” atau ditawan, harus dilepaskan. Sisingamangaraja XII memang terkenal anti perbudakan, anti penindasan dan sangat menghargai kemerdekaan. Belanda pada waktu itu masih mengakui Tanah Batak sebagai “De Onafhankelijke Bataklandan” (Daerah Batak yang tidak tergantung pada Belanda. Tahun 1837, kolonialis Belanda memadamkan “Perang Paderi” dan melapangkan jalan bagi pemerintahan kolonial di Minangkabau dan Tapanuli Selatan. Minangkabau jatuh ke tangan Belanda, menyusul daerah Natal, Mandailing, Barumun, Padang Bolak, Angkola, Sipirok, Pantai Barus dan kawasan Sibolga. Karena itu, sejak tahun 1837, Tanah Batak terpecah menjadi dua bagian, yaitu daerah-daerah yang telah direbut Belanda menjadi daerah Gubernemen yang disebut “Residentie Tapanuli dan Onderhoorigheden”, dengan seorang Residen berkedudukan di Sibolga yang secara administratif tunduk kepada Gubernur Belanda di Padang. Sedangkan bagian Tanah Batak lainnya, yaitu daerah-daerah Silindung, Pahae, Habinsaran, Dairi, Humbang, Toba, Samosir, belum berhasil dikuasai oleh Belanda dan tetap diakui Belanda sebagai Tanah Batak yang merdeka, atau ‘De Onafhankelijke Bataklandan’. Pada tahun 1873, Belanda menyatakan perang kepada Aceh dan tentaranya mendarat di pantai- pantai Aceh. Saat itu Tanah Batak di mana Raja Sisingamangaraja XII berkuasa, masih belum dijajah Belanda. Tetapi ketika 3 tahun kemudian, yaitu pada tahun 1876, Belanda mengumumkan “Regerings” Besluit Tahun 1876” yang menyatakan daerah Silindung/ Tarutung dan sekitarnya dimasukkan kepada kekuasaan Belanda dan harus tunduk kepada Residen Belanda di Sibolga, suasana di Tanah Batak bagian Utara menjadi panas. Raja Sisingamangaraja XII yang kendati secara clan, bukan berasal dari Silindung, namun sebagai Raja yang mengayomi raja-raja lainnya di seluruh Tanah Batak, bangkit kegeramannya melihat Belanda mulai menganeksasi tanah-tanah Batak. Raja Sisingamangaraja XII cepat mengerti siasat strategi Belanda. Kalau Belanda mulai mencaplok Silindung, tentu mereka akan menyusul dengan menganeksasi Humbang, Toba, Samosir, Dairi dan lain-lain. Raja Sisingamangaraja XII cepat bertindak, Beliau segera mengambil langkah-langkah konsolidasi. Raja-raja Batak lainnya dan pemuka masyarakat dihimpunnya dalam suatu rapat raksasa di Pasar Balige, bulan Juni 1876. Dalam rapat penting dan bersejarah itu diambil tiga keputusan sebagai berikut : 1. Menyatakan perang terhadap Belanda 2. Zending Agama tidak diganggu 3. Menjalin kerjasama Batak dan Aceh untuk sama-sama melawan Belanda. Terlihat dari peristiwa ini, Sisingamangaraja XII lah yang dengan semangat garang, mengumumkan perang terhadap Belanda yang ingin menjajah. Terlihat pula, Sisingamangaraja XII bukan anti agama. Dan terlihat pula, Sisingamangaraja XII di zamannya, sudah dapat membina azas dan semangat persatuan dan suku-suku lainnya. Tahun 1877, mulailah perang Batak yang terkenal itu, yang berlangsung 30 tahun lamanya. Dimulai di Bahal Batu, Humbang, berkobar perang yang ganas selama tiga dasawarsa, 30 tahun. Belanda mengerahkan pasukan-pasukannya dari Singkil Aceh, menyerang pasukan rakyat semesta yang dipimpin Raja Sisingamangaraja XII. Pasukan Belanda yang datang menyerang ke arah Bakara, tempat istana dan markas besar Sisingamangaraja XII di Tangga Batu, Balige mendapat perlawanan dan berhasil dihempang. Belanda merobah taktik, ia menyerbu pada babak berikutnya ke kawasan Balige untuk merebut kantong logistik Sisingamangaraja XII di daerah Toba, untuk selanjutnya mengadakan blokade terhadap Bakara. Tahun 1882, hampir seluruh daerah Balige telah dikuasai Belanda, sedangkan Laguboti masih tetap dipertahankan oleh panglima-panglima Sisingamangaraja XII antara lain Panglima Ompu Partahan Bosi Hutapea. Baru setahun kemudian Laguboti jatuh setelah Belanda mengerahkan pasukan satu batalion tentara bersama barisan penembak-penembak meriam.
SOEDIRMAN, salah seorang pahlawan nasional dan simbol Tentara Nasional Indonesia (TNI) bukanlah nama yang asing di telinga. Ia mendapat tempat istimewa dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia karena menjabat panglima angkatan bersenjata pada awal berdirinya republik ini. Namun, pengetahuan tentang Soedirman yang diberikan bangku sekolah tidak pernah cukup mendalam. Sementara ketersediaan literatur yang membahas Soedirman secara khusus jumlahnya tidak memadai.Dalam kurun waktu 25 tahun pertama pascakemerdekaan, tercatat hanya ada satu buku saja yang menempatkan Soedirman sebagai pokok bahasan, yaitu "Djenderal Soedirman Pahlawan Kemerdekaan" (1963) yang ditulis Solichin Salam. Selebihnya pembahasan tentang Soedirman selalu hanya merupakan pelengkap bagi kerangka bahasan lain seperti tentang gerakan Pemuda Muhammadiyah, kepanduan Hizbul Wathan, perang revolusi kemerdekaan, tentara, politik militer, hingga tentang Tan Malaka.
Ketika Sisingamangaraja XII
dinobatkan menjadi Raja
Batak, waktu itu umurnya
baru 19 tahun. Sampai pada
tahun 1886, hampir seluruh
Sumatera sudah dikuasai
Belanda kecuali Aceh dan tanah Batak yang masih
berada dalam situasi merdeka dan damai di bawah
pimpinan Raja Sisingamangaraja XII yang masih
muda. Rakyat bertani dan beternak, berburu dan
sedikit-sedikit berdagang. Kalau Raja
Sisingamangaraja XII mengunjungi suatu negeri
semua yang “terbeang” atau ditawan, harus
dilepaskan. Sisingamangaraja XII memang terkenal
anti perbudakan, anti penindasan dan sangat
menghargai kemerdekaan. Belanda pada waktu itu
masih mengakui Tanah Batak sebagai “De
Onafhankelijke Bataklandan” (Daerah Batak yang
tidak tergantung pada Belanda.
Tahun 1837, kolonialis Belanda memadamkan
“Perang Paderi” dan melapangkan jalan bagi
pemerintahan kolonial di Minangkabau dan
Tapanuli Selatan. Minangkabau jatuh ke tangan
Belanda, menyusul daerah Natal, Mandailing,
Barumun, Padang Bolak, Angkola, Sipirok, Pantai
Barus dan kawasan Sibolga.
Karena itu, sejak tahun 1837, Tanah Batak
terpecah menjadi dua bagian, yaitu daerah-daerah
yang telah direbut Belanda menjadi daerah
Gubernemen yang disebut “Residentie Tapanuli
dan Onderhoorigheden”, dengan seorang Residen
berkedudukan di Sibolga yang secara administratif
tunduk kepada Gubernur Belanda di Padang.
Sedangkan bagian Tanah Batak lainnya, yaitu
daerah-daerah Silindung, Pahae, Habinsaran,
Dairi, Humbang, Toba, Samosir, belum berhasil
dikuasai oleh Belanda dan tetap diakui Belanda
sebagai Tanah Batak yang merdeka, atau ‘De
Onafhankelijke Bataklandan’.
Pada tahun 1873, Belanda menyatakan perang
kepada Aceh dan tentaranya mendarat di pantai-
pantai Aceh. Saat itu Tanah Batak di mana Raja
Sisingamangaraja XII berkuasa, masih belum
dijajah Belanda.
Tetapi ketika 3 tahun kemudian, yaitu pada tahun
1876, Belanda mengumumkan “Regerings” Besluit
Tahun 1876” yang menyatakan daerah Silindung/
Tarutung dan sekitarnya dimasukkan kepada
kekuasaan Belanda dan harus tunduk kepada
Residen Belanda di Sibolga, suasana di Tanah
Batak bagian Utara menjadi panas.
Raja Sisingamangaraja XII yang kendati secara
clan, bukan berasal dari Silindung, namun sebagai
Raja yang mengayomi raja-raja lainnya di seluruh
Tanah Batak, bangkit kegeramannya melihat
Belanda mulai menganeksasi tanah-tanah Batak.
Raja Sisingamangaraja XII cepat mengerti siasat
strategi Belanda. Kalau Belanda mulai mencaplok
Silindung, tentu mereka akan menyusul dengan
menganeksasi Humbang, Toba, Samosir, Dairi dan
lain-lain.
Raja Sisingamangaraja XII cepat bertindak, Beliau
segera mengambil langkah-langkah konsolidasi.
Raja-raja Batak lainnya dan pemuka masyarakat
dihimpunnya dalam suatu rapat raksasa di Pasar
Balige, bulan Juni 1876. Dalam rapat penting dan
bersejarah itu diambil tiga keputusan sebagai
berikut :
1. Menyatakan perang terhadap Belanda
2. Zending Agama tidak diganggu
3. Menjalin kerjasama Batak dan Aceh untuk
sama-sama melawan Belanda.
Terlihat dari peristiwa ini, Sisingamangaraja XII
lah yang dengan semangat garang, mengumumkan
perang terhadap Belanda yang ingin menjajah.
Terlihat pula, Sisingamangaraja XII bukan anti
agama. Dan terlihat pula, Sisingamangaraja XII di
zamannya, sudah dapat membina azas dan
semangat persatuan dan suku-suku lainnya.
Tahun 1877, mulailah perang Batak yang terkenal
itu, yang berlangsung 30 tahun lamanya.
Dimulai di Bahal Batu, Humbang, berkobar perang
yang ganas selama tiga dasawarsa, 30 tahun.
Belanda mengerahkan pasukan-pasukannya dari
Singkil Aceh, menyerang pasukan rakyat semesta
yang dipimpin Raja Sisingamangaraja XII.
Pasukan Belanda yang datang menyerang ke arah
Bakara, tempat istana dan markas besar
Sisingamangaraja XII di Tangga Batu, Balige
mendapat perlawanan dan berhasil dihempang.
Belanda merobah taktik, ia menyerbu pada babak
berikutnya ke kawasan Balige untuk merebut
kantong logistik Sisingamangaraja XII di daerah
Toba, untuk selanjutnya mengadakan blokade
terhadap Bakara.
Tahun 1882, hampir seluruh daerah Balige telah
dikuasai Belanda, sedangkan Laguboti masih tetap
dipertahankan oleh panglima-panglima
Sisingamangaraja XII antara lain Panglima Ompu
Partahan Bosi Hutapea. Baru setahun kemudian
Laguboti jatuh setelah Belanda mengerahkan
pasukan satu batalion tentara bersama barisan
penembak-penembak meriam.