Berbicara mengenai asal-usul nama Kota Tanah Grogot berdasarkan cerita setempattidak dapat dilepaskan dari peristiwa sejarah di Sulawesi Selatan. Menurut Lontara Wajodikisahkan ketika Raja Bone La Patau Matanna Tika mengundang Arung Matoa Wajo LaSalewangeng untuk menghadiri pesta melubangi telinga putrinya bersamaan dengan itu ikut pula La Maddukeleng. Sebagaimana kebiasaan bahwa sudah menjadi kegemaran bangsawanBugis dalam setiap pesta raja-raja pada masa dahulu sering mengadakan pesta sabungayam.Pada pelaksanaan sabung ayam tersebut
Foto. 2Kecamatan Tanah Grogot
A.Sejarah Tanah Grogot
Berbicara mengenai asal-usul nama Kota Tanah Grogot berdasarkan cerita setempattidak dapat dilepaskan dari peristiwa sejarah di Sulawesi Selatan. Menurut Lontara Wajodikisahkan ketika Raja Bone La Patau Matanna Tika mengundang Arung Matoa Wajo LaSalewangeng untuk menghadiri pesta melubangi telinga putrinya bersamaan dengan itu ikut pula La Maddukeleng. Sebagaimana kebiasaan bahwa sudah menjadi kegemaran bangsawanBugis dalam setiap pesta raja-raja pada masa dahulu sering mengadakan pesta sabungayam.Pada pelaksanaan sabung ayam tersebut terjadi ketidakadilan dalam penyelenggaraanacara, saat ayam putera Raja Bone mati dikalahkan oleh ayam Arung Matowa Wajo.Kemenangan itu tidak diakui oleh orang Bone dan mereka berpendapat bahwa pertarungantersebut sama kuatnya. Hal ini menyebabkan terjadinya keributan dan berujung pada perkelahian yang mengakibatkan korban di pihak Bone lebih banyak dibandingkan korban di pihak Wajo. Dengan adanya perkelahian tersebut Raja Bone menuntut kepada Wajo agar LaMaddukeleng menyerahkan diri untuk mempertanggungjawabkan atas perbuatannya yang
dianggap salah. Akan tetapi orang Wajo tidak bersedia memenuhi permintaan Raja Bone.Sebelum Kerajaan Wajo diduduki pasukan Bone, karena tidak mau dijajah La Maddukeleng beserta para pengikutnya merantau meninggalkan Wajo untuk menghindari balas dendamyang akan dilakukan oleh Kerajaan Bone.La Maddukeleng dalam perantauannya dengan bermodalkan tiga ujung: ujung lidah sebagai bekal diplomasi, ujung badik untuk bertarung,dan ujung kelamin melalui perkawinan. Ia malang melintang di negeri orang mengukir kejayaan orang Bugis secara turun menurun. Dengan modal tersebut La Maddukeleng beserta para pengikutnya dan delapan orang bangsawan menengah, yaitu La Mohang DaengMangkona, La Pallawa Daeng Marowa, Puanna Dekke, La Siareje, Daeng Manambung, LaManja Daeng Lebbi, La Sawedi Daeng Sagala, dan La Manrappi Daeng Punggawa berangkatdari Paneki, dan pada awalnya menetap di Tanah Malaka (Malaysia Barat). Kemudian pindah dan menetap di wilayah Kerajaan Pasir tepatnya di Muara Sungai Kandilo selamasepuluh tahun, sebelum kembali ke Wajo dan diangkat menjadi Raja di Kerajaan Wajo. Namun, setelah rombongan tersebut menetap di tempat tersebut, jauh di tanahSulawesi Selatan berhubung tanah Wajo telah diduduki oleh Kerajaan Bone, banyak pulawarga Wajo yang meninggalkan kampung kelahirannya mengikuti jejak rombongan LaMaddukeleng untuk berlayar menuju tanah Pasir, sementara sebagian rombongan yangdipimpin La Mohang Daeng Mangkona menuju ke tanah Kutai dan membentuk pemukimanyang menjadi cikal bakal berdirinya Kota Samarinda. Dengan adanya peristiwa tersebut banyak pula orang Bugis yang pada awalnya berasal dari Wajo, saat itu bermukim danterlibat dalam perdagangan di sekitar Sungai Kandilo.Dalam keseharian rombongan orangBugis-Wajo yang bermukim di pinggiran Sungai Kandilo sering mendengar suara arus yangsangat deras dari arus sungai yang menimbulkan suara gemuruh. Dari keadaan itulah orangBugis-Wajo menamakan pemukiman mereka dengan sebutan Tanah Geroro-E (Geroro-E:suara gemuruh). Dari istilah inilah para Sultan Kerajaan Pasir pada saat itu kemudian sering
menyebut dengan Tanah Geroro-E yang lama kelamaan diperkirakan menjadi cikal bakalsebutan Kota Tanah Grogot.Selanjutnya ketika di Kota Tanah Grogot sudah banyak orangBugis yang bermukim di sepanjang Sungai Kandilo, datang pula utusan Belanda yangtertarik untuk mengadakan usaha perdagangan di Kota Tanah Grogot sekitar tahun 1829 M.Hal ini dikarenakan kondisi perniagaan Pasir pada saat itu sudah cukup ramai dan strategis.Pedagang Belanda yang bernama Alexander Van Soow mengajukan permohonan langsung pada Sultan Kerajaan Pasir untuk meminta ijin membangun sebuah rumah sebagai tempatusaha untuk menjual garam dan candu. Dalam permohonannya tersebut berhubung lidahorang Belanda tidak bisa menyebut Tanah Geroro-E maka pada akhirnya disebut tanah grogot
;)
1 votes Thanks 1
Y05HU4
Saya tahu kalau anda menyalin ini dari website lain
berdasarkan cerita setempat tidak dapat dilepaskan dari peristiwa sejarah di Sulawesi Selatan. Menurut Lontara Wajo dikisahkan ketika Raja Bone La Patau Matanna Tikamengundang Arung Matoa Wajo La Salewangeng untuk menghadiri pesta melubangi telinga putrinya. Bersamaan dengan itu ikut pula La Madukelleng. Sebagaimana kebiasaan bahwa sudah menjadi kegemaran bangsawan Bugis dalam setiap pesta raja-raja pada masa dahulu sering mengadakan pesta sabung ayam.
Pada pelaksanaan sabung ayam tersebut terjadi ketidakadilan dalam penyelenggaraan acara, saat ayam putera Raja Bone mati dikalahkan oleh ayam Arung Matowa Wajo. Kemenangan itu tidak diakui oleh orang Bone dan mereka berpendapat bahwa pertarungan tersebut sama kuatnya. Hal ini menyebabkan terjadinya keributan dan berujung pada perkelahian yang mengakibatkan korban di pihak Bone lebih banyak dibandingkan korban di pihak Wajo. Dengan adanya perkelahian tersebut Raja Bone menuntut kepada Wajo agar La Madukelleng menyerahkan diri untuk mempertanggungjawabkan atas perbuatannya yang dianggap salah. Akan tetapi orang Wajo tidak bersedia memenuhi permintaan Raja Bone. Sebelum Kerajaan Wajo diduduki pasukan Bone, karena tidak mau dijajah La Maddukeleng beserta para pengikutnya merantau meninggalkan Wajo untuk menghindari balas dendam yang akan dilakukan oleh Kerajaan Bone.
La Madukelleng dalam perantauannya dengan bermodalkan tiga ujung; ujung lidah sebagai bekal diplomasi, ujung badik untuk bertarung, dan ujung kelamin melalui perkawinan. Ia malang melintang di negeri orang mengukir kejayaan orang Bugis secara turun menurun. Dengan modal tersebut La Maddukeleng beserta para pengikutnya dan delapan orang bangsawan menengah, yaitu La Mohang Daeng Mangkona, La Pallawa Daeng Marowa, Puanna Dekke, La Siareje, Daeng Manambung, La Manja Daeng Lebbi, La Sawedi Daeng Sagala, dan La Manrappi Daeng Punggawaberangkat dari Paneki, dan pada awalnya menetap di Tanah Malaka (Malaysia Barat). Kemudian pindah dan menetap di wilayah Kerajaan Paser tepatnya di Muara Sungai Kandilo selama sepuluh tahun, sebelum kembali ke Wajo dan diangkat menjadi Raja di Kerajaan Wajo.
Namun, setelah rombongan tersebut menetap di tempat tersebut, jauh di tanah Sulawesi Selatan berhubung tanah Wajo telah diduduki oleh Kerajaan Bone, banyak pula warga Wajo yang meninggalkan kampung kelahirannya mengikuti jejak rombongan La Madukellenguntuk berlayar menuju tanah Paser, sementara sebagian rombongan yang dipimpin La Mohang Daeng Mangkona menuju ke tanah Kutai dan membentuk pemukiman yang menjadi cikal bakal berdirinya Kota Samarinda. Dengan adanya peristiwa tersebut banyak pula orang Bugis yang pada awalnya berasal dari Wajo, saat itu bermukim dan terlibat dalam perdagangan di sekitar Sungai Kandilo.
Dalam keseharian rombongan orang Bugis-Wajo yang bermukim di pinggiran Sungai Kandilo sering mendengar suara arus yang sangat deras dari arus sungai yang menimbulkan suara gemuruh. Dari keadaan itulah orang Bugis-Wajo menamakan pemukiman mereka dengan sebutan Tanah Geroro-E (Geroro-E : suara gemuruh). Dari istilah inilah para Sultan Kerajaan Paser pada saat itu kemudian sering menyebut dengan Tanah Geroro-E yang lama kelamaan diperkirakan menjadi cikal bakal sebutan Kota Tanah Grogot.
Selanjutnya ketika di Kota Tanah Grogot sudah banyak orang Bugis yang bermukim di sepanjang Sungai Kandilo, datang pula utusan Belanda yang tertarik untuk mengadakan usaha perdagangan di Kota Tanah Grogotsekitar tahun 1829 M. Hal ini dikarenakan kondisi perniagaan Paser pada saat itu sudah cukup ramai dan strategis. Pedagang Belanda yang bernama Alexander Van Soowmengajukan permohonan langsung pada Sultan Kerajaan Paser untuk meminta izin membangun sebuah rumah sebagai tempat usaha untuk menjual garam dan candu. Dalam permohonannya tersebut berhubung lidah orang Belanda tidak bisa menyebut Tanah Geroro-E maka pada akhirnya disebut Tanah Grogod.
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa sebutan Tanah Grogod tersebut lama kelamaan ejaannya disempurnakan menjadi Tanah Grogot. Dengan berjalannya waktu karena kondisi Kota Tanah Grogot semakin ramai setelah dihuni oleh orang Bugis, selanjutnya datang juga orang Banjar, Jawa, dan sebagainya yang menyebabkan penduduk Kota Tanah Grogot semakin banyak. Penduduk tersebut lebih dominan berasal dari Bugis dan Banjar, sehingga kebudayaan mereka cepat membaur dengan penduduk asli Suku Paser. Maka dari itu tidak mengherankan bahwa pada saat ini dapat dijumpai perpaduan budaya pada orang Paser di Kota Tanah Grogot. Seiring berjalannya waktu dan semakin banyaknya penduduk yang datang hingga Kota Tanah Grogot terus berkembang pesat. Pada akhirnya berdasarkan Undang-undang Nomor 27 tahun 1959 pada tanggal 29 Desember 1959, Kota Tanah Grogot diresmikan sebagai ibukotaaaa Kabupaten Paser.
Berbicara mengenai asal-usul nama Kota Tanah Grogot berdasarkan cerita setempattidak dapat dilepaskan dari peristiwa sejarah di Sulawesi Selatan. Menurut Lontara Wajodikisahkan ketika Raja Bone La Patau Matanna Tika mengundang Arung Matoa Wajo LaSalewangeng untuk menghadiri pesta melubangi telinga putrinya bersamaan dengan itu ikut pula La Maddukeleng. Sebagaimana kebiasaan bahwa sudah menjadi kegemaran bangsawanBugis dalam setiap pesta raja-raja pada masa dahulu sering mengadakan pesta sabungayam.Pada pelaksanaan sabung ayam tersebut
Foto. 2Kecamatan Tanah Grogot
A.Sejarah Tanah Grogot
Berbicara mengenai asal-usul nama Kota Tanah Grogot berdasarkan cerita setempattidak dapat dilepaskan dari peristiwa sejarah di Sulawesi Selatan. Menurut Lontara Wajodikisahkan ketika Raja Bone La Patau Matanna Tika mengundang Arung Matoa Wajo LaSalewangeng untuk menghadiri pesta melubangi telinga putrinya bersamaan dengan itu ikut pula La Maddukeleng. Sebagaimana kebiasaan bahwa sudah menjadi kegemaran bangsawanBugis dalam setiap pesta raja-raja pada masa dahulu sering mengadakan pesta sabungayam.Pada pelaksanaan sabung ayam tersebut terjadi ketidakadilan dalam penyelenggaraanacara, saat ayam putera Raja Bone mati dikalahkan oleh ayam Arung Matowa Wajo.Kemenangan itu tidak diakui oleh orang Bone dan mereka berpendapat bahwa pertarungantersebut sama kuatnya. Hal ini menyebabkan terjadinya keributan dan berujung pada perkelahian yang mengakibatkan korban di pihak Bone lebih banyak dibandingkan korban di pihak Wajo. Dengan adanya perkelahian tersebut Raja Bone menuntut kepada Wajo agar LaMaddukeleng menyerahkan diri untuk mempertanggungjawabkan atas perbuatannya yang
dianggap salah. Akan tetapi orang Wajo tidak bersedia memenuhi permintaan Raja Bone.Sebelum Kerajaan Wajo diduduki pasukan Bone, karena tidak mau dijajah La Maddukeleng beserta para pengikutnya merantau meninggalkan Wajo untuk menghindari balas dendamyang akan dilakukan oleh Kerajaan Bone.La Maddukeleng dalam perantauannya dengan bermodalkan tiga ujung: ujung lidah sebagai bekal diplomasi, ujung badik untuk bertarung,dan ujung kelamin melalui perkawinan. Ia malang melintang di negeri orang mengukir kejayaan orang Bugis secara turun menurun. Dengan modal tersebut La Maddukeleng beserta para pengikutnya dan delapan orang bangsawan menengah, yaitu La Mohang DaengMangkona, La Pallawa Daeng Marowa, Puanna Dekke, La Siareje, Daeng Manambung, LaManja Daeng Lebbi, La Sawedi Daeng Sagala, dan La Manrappi Daeng Punggawa berangkatdari Paneki, dan pada awalnya menetap di Tanah Malaka (Malaysia Barat). Kemudian pindah dan menetap di wilayah Kerajaan Pasir tepatnya di Muara Sungai Kandilo selamasepuluh tahun, sebelum kembali ke Wajo dan diangkat menjadi Raja di Kerajaan Wajo. Namun, setelah rombongan tersebut menetap di tempat tersebut, jauh di tanahSulawesi Selatan berhubung tanah Wajo telah diduduki oleh Kerajaan Bone, banyak pulawarga Wajo yang meninggalkan kampung kelahirannya mengikuti jejak rombongan LaMaddukeleng untuk berlayar menuju tanah Pasir, sementara sebagian rombongan yangdipimpin La Mohang Daeng Mangkona menuju ke tanah Kutai dan membentuk pemukimanyang menjadi cikal bakal berdirinya Kota Samarinda. Dengan adanya peristiwa tersebut banyak pula orang Bugis yang pada awalnya berasal dari Wajo, saat itu bermukim danterlibat dalam perdagangan di sekitar Sungai Kandilo.Dalam keseharian rombongan orangBugis-Wajo yang bermukim di pinggiran Sungai Kandilo sering mendengar suara arus yangsangat deras dari arus sungai yang menimbulkan suara gemuruh. Dari keadaan itulah orangBugis-Wajo menamakan pemukiman mereka dengan sebutan Tanah Geroro-E (Geroro-E:suara gemuruh). Dari istilah inilah para Sultan Kerajaan Pasir pada saat itu kemudian sering
menyebut dengan Tanah Geroro-E yang lama kelamaan diperkirakan menjadi cikal bakalsebutan Kota Tanah Grogot.Selanjutnya ketika di Kota Tanah Grogot sudah banyak orangBugis yang bermukim di sepanjang Sungai Kandilo, datang pula utusan Belanda yangtertarik untuk mengadakan usaha perdagangan di Kota Tanah Grogot sekitar tahun 1829 M.Hal ini dikarenakan kondisi perniagaan Pasir pada saat itu sudah cukup ramai dan strategis.Pedagang Belanda yang bernama Alexander Van Soow mengajukan permohonan langsung pada Sultan Kerajaan Pasir untuk meminta ijin membangun sebuah rumah sebagai tempatusaha untuk menjual garam dan candu. Dalam permohonannya tersebut berhubung lidahorang Belanda tidak bisa menyebut Tanah Geroro-E maka pada akhirnya disebut tanah grogot
;)
berdasarkan cerita setempat tidak dapat dilepaskan dari peristiwa sejarah di Sulawesi Selatan. Menurut Lontara Wajo dikisahkan ketika Raja Bone La Patau Matanna Tikamengundang Arung Matoa Wajo La Salewangeng untuk menghadiri pesta melubangi telinga putrinya. Bersamaan dengan itu ikut pula La Madukelleng. Sebagaimana kebiasaan bahwa sudah menjadi kegemaran bangsawan Bugis dalam setiap pesta raja-raja pada masa dahulu sering mengadakan pesta sabung ayam.
Pada pelaksanaan sabung ayam tersebut terjadi ketidakadilan dalam penyelenggaraan acara, saat ayam putera Raja Bone mati dikalahkan oleh ayam Arung Matowa Wajo. Kemenangan itu tidak diakui oleh orang Bone dan mereka berpendapat bahwa pertarungan tersebut sama kuatnya. Hal ini menyebabkan terjadinya keributan dan berujung pada perkelahian yang mengakibatkan korban di pihak Bone lebih banyak dibandingkan korban di pihak Wajo. Dengan adanya perkelahian tersebut Raja Bone menuntut kepada Wajo agar La Madukelleng menyerahkan diri untuk mempertanggungjawabkan atas perbuatannya yang dianggap salah. Akan tetapi orang Wajo tidak bersedia memenuhi permintaan Raja Bone. Sebelum Kerajaan Wajo diduduki pasukan Bone, karena tidak mau dijajah La Maddukeleng beserta para pengikutnya merantau meninggalkan Wajo untuk menghindari balas dendam yang akan dilakukan oleh Kerajaan Bone.
La Madukelleng dalam perantauannya dengan bermodalkan tiga ujung; ujung lidah sebagai bekal diplomasi, ujung badik untuk bertarung, dan ujung kelamin melalui perkawinan. Ia malang melintang di negeri orang mengukir kejayaan orang Bugis secara turun menurun. Dengan modal tersebut La Maddukeleng beserta para pengikutnya dan delapan orang bangsawan menengah, yaitu La Mohang Daeng Mangkona, La Pallawa Daeng Marowa, Puanna Dekke, La Siareje, Daeng Manambung, La Manja Daeng Lebbi, La Sawedi Daeng Sagala, dan La Manrappi Daeng Punggawaberangkat dari Paneki, dan pada awalnya menetap di Tanah Malaka (Malaysia Barat). Kemudian pindah dan menetap di wilayah Kerajaan Paser tepatnya di Muara Sungai Kandilo selama sepuluh tahun, sebelum kembali ke Wajo dan diangkat menjadi Raja di Kerajaan Wajo.
Namun, setelah rombongan tersebut menetap di tempat tersebut, jauh di tanah Sulawesi Selatan berhubung tanah Wajo telah diduduki oleh Kerajaan Bone, banyak pula warga Wajo yang meninggalkan kampung kelahirannya mengikuti jejak rombongan La Madukellenguntuk berlayar menuju tanah Paser, sementara sebagian rombongan yang dipimpin La Mohang Daeng Mangkona menuju ke tanah Kutai dan membentuk pemukiman yang menjadi cikal bakal berdirinya Kota Samarinda. Dengan adanya peristiwa tersebut banyak pula orang Bugis yang pada awalnya berasal dari Wajo, saat itu bermukim dan terlibat dalam perdagangan di sekitar Sungai Kandilo.
Dalam keseharian rombongan orang Bugis-Wajo yang bermukim di pinggiran Sungai Kandilo sering mendengar suara arus yang sangat deras dari arus sungai yang menimbulkan suara gemuruh. Dari keadaan itulah orang Bugis-Wajo menamakan pemukiman mereka dengan sebutan Tanah Geroro-E (Geroro-E : suara gemuruh). Dari istilah inilah para Sultan Kerajaan Paser pada saat itu kemudian sering menyebut dengan Tanah Geroro-E yang lama kelamaan diperkirakan menjadi cikal bakal sebutan Kota Tanah Grogot.
Selanjutnya ketika di Kota Tanah Grogot sudah banyak orang Bugis yang bermukim di sepanjang Sungai Kandilo, datang pula utusan Belanda yang tertarik untuk mengadakan usaha perdagangan di Kota Tanah Grogotsekitar tahun 1829 M. Hal ini dikarenakan kondisi perniagaan Paser pada saat itu sudah cukup ramai dan strategis. Pedagang Belanda yang bernama Alexander Van Soowmengajukan permohonan langsung pada Sultan Kerajaan Paser untuk meminta izin membangun sebuah rumah sebagai tempat usaha untuk menjual garam dan candu. Dalam permohonannya tersebut berhubung lidah orang Belanda tidak bisa menyebut Tanah Geroro-E maka pada akhirnya disebut Tanah Grogod.
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa sebutan Tanah Grogod tersebut lama kelamaan ejaannya disempurnakan menjadi Tanah Grogot. Dengan berjalannya waktu karena kondisi Kota Tanah Grogot semakin ramai setelah dihuni oleh orang Bugis, selanjutnya datang juga orang Banjar, Jawa, dan sebagainya yang menyebabkan penduduk Kota Tanah Grogot semakin banyak. Penduduk tersebut lebih dominan berasal dari Bugis dan Banjar, sehingga kebudayaan mereka cepat membaur dengan penduduk asli Suku Paser. Maka dari itu tidak mengherankan bahwa pada saat ini dapat dijumpai perpaduan budaya pada orang Paser di Kota Tanah Grogot. Seiring berjalannya waktu dan semakin banyaknya penduduk yang datang hingga Kota Tanah Grogot terus berkembang pesat. Pada akhirnya berdasarkan Undang-undang Nomor 27 tahun 1959 pada tanggal 29 Desember 1959, Kota Tanah Grogot diresmikan sebagai ibukotaaaa Kabupaten Paser.
semoga membantu :))