Bagaimana cara penyelesaian lembaga kehakiman dalam permasalahan yang terjadi di BPK?
ainiinrr
Permasalah pertama yang muncul setelah menganut sistem satu atap adalah belum tersedianya sistem organisasi, administrasi dan finansial yang dapat mengintegrasikan sistem di MA dan empat badan peradilan. Solusi yang dilakukan MA ternyata hanya bersifat menggabungkan organisasi yang ada di MA dan badan peradilan, bukan membangun sistem organisasi yang terintegrasi dan komprehensif sebagai konsekuensi diterapkannya sistem satu atap. Hal ini tentu saja bertentangan dengan tujuan lain dari pemberlakuan sistem satu atap, yaitu supaya pengelolaan badan peradilan dapat lebih efisien dan efektif. Akibatnya, penggabungan MA dan empat badan peradilan menimbulkan membengkaknya organisasi dan berlakunya banyak sistem yang menimbulkan tumpang tindih kewenangan dan fungsi kerja serta keruwetan pengelolaan MA.
Permasalah kedua adalah terkait status hakim yang sebelumnya berstatus PNS berubah menjadi Pejabat Negara. Perubahan ini tentu saja memiliki konsekuensi terhadap pengelolaan SDM hakim. Pengelolaan SDM hakim tidak lagi bisa disamakan dengan pengelolaan SDM PNS. Mahkamah Agung membutuhkan sistem pengelolaan SDM hakim yang dapat menciptakan hakim-hakim yang baik demi terciptanya sistem peradilan yang baik. Mengutip kata-kata mantan Menteri Kehakiman Belanda Odette Buitendam bahwagood judges are not born but made, yang dapat diartikan bahwa hakim yang baik tidak lahir dengan sendirinya tetapi harus dibentuk melalui rekrutmen, seleksi dan pelatihan yang baik. Kriteria hakim yang baik itu sendiri adalah hakim yang memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum. Sedangkan profesionalisme hakim dapat dilihat dari aspek-aspek antara lain; penguasaan atas ilmu hukum, kemampuan berpikir yuridis, kemahiran yuridis, kesadaran serta komitmen professional. Hal ini sejalan dengan Beijing Statement of Principles of the Independence of the Judiciary in the Law Asia Region dengan tiga pilar profesionalisme hakim yakni kecakapan, kejujuran dan kemerdekaan.
Permasalah kedua adalah terkait status hakim yang sebelumnya berstatus PNS berubah menjadi Pejabat Negara. Perubahan ini tentu saja memiliki konsekuensi terhadap pengelolaan SDM hakim. Pengelolaan SDM hakim tidak lagi bisa disamakan dengan pengelolaan SDM PNS. Mahkamah Agung membutuhkan sistem pengelolaan SDM hakim yang dapat menciptakan hakim-hakim yang baik demi terciptanya sistem peradilan yang baik. Mengutip kata-kata mantan Menteri Kehakiman Belanda Odette Buitendam bahwagood judges are not born but made, yang dapat diartikan bahwa hakim yang baik tidak lahir dengan sendirinya tetapi harus dibentuk melalui rekrutmen, seleksi dan pelatihan yang baik. Kriteria hakim yang baik itu sendiri adalah hakim yang memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum. Sedangkan profesionalisme hakim dapat dilihat dari aspek-aspek antara lain; penguasaan atas ilmu hukum, kemampuan berpikir yuridis, kemahiran yuridis, kesadaran serta komitmen professional. Hal ini sejalan dengan Beijing Statement of Principles of the Independence of the Judiciary in the Law Asia Region dengan tiga pilar profesionalisme hakim yakni kecakapan, kejujuran dan kemerdekaan.