3) Tulislah sebuah cerpen yg bertolak belakang dari peristiwa yg pernah kamu alami!
4) Analisislah unsur-unsur yg terdapat dlm cerpen yg telah kamu buat!
5) Susun masing-masing 2 kalimat dgn menggunakan kata berimbuhan men-kan dan memper-, kemudian tentukan artinya!
marmanula
3. Matahari menunjukkan senyumannya, awan-awan putih seakan menjadi perhiasan langit biru yang membentang bagai gulungan kertas polos. Benar-benar hari yang cerah. Cocok untuk menghabiskan waktu Minggu di luar bersama keluarga, teman, kerabat, dan sejenisnya.
Sayangnya, hatiku tak secerah hari ini. Sayangnya juga, aku tidak bisa menikmati waktu Minggu.
Hari ini bukanlah hari yang cerah bagiku. Hari ini adalah ... hari kepergiannya ....
Aku menatap sendu tubuh ibu yang terbujur kaku dari balik kain kafan yang membungkus tubuhnya.
Memori-memori tentangnya bermunculan tanpa bisa kucegah. Aku ingat semuanya. Aku ingat betul wajah cantiknya ketika tersenyum. Aku ingat suaranya yang lembut ketika menasihatiku. Aku ingat, aku ingat, aku ingat, aku i---
"HUWAAAAAAAAAAAAA!!!!"
Isakan yang dari tadi kutahan kini meluncur bebas. Mengingat kenangan berhaga bersama ibu membuatku menyesal. Seharusnya aku tidak memikirkan hal yang membuat diriku semakin terpukul.
Para penggali kuburan mulai mempersiapkan cangkulnya. Perlahan-lahan tetapi pasti, mereka mengembalikan tanah galian ke liang lahad.
Aku berjalan menjauh dari area pemakaman ibu. Aku sangat terpukul atas kematiannya. Ya Allah, tolong hidupkanlah kembali ibuku!
"Eh!" Aku hampir saja terjatuh karena tersandung kerikil berukuran sedang. Kejadian ini membuat diriku menghentikan tangis, namun satu detik kemudian aku melanjutkannya.
Aku berjalan menuju tempat mobil kakakku diparkirkan. Ketika aku melewati gang, orang-orang yang ingin berziarah menatapku beberapa saat, dan aku malu karenanya! Pasti wajahku sekarang sangat kacau!
Aku duduk di sebuah batu besar, berniat menghapus air mata dan merapikan kerudung.
"Woi!" Sebuah suara yang tidak asing terdengar di indra pendengaranku. Acara merapikan kerudungku belum selesai, jadi aku memutuskan mengabaikannya.
"Kamu lho! Ayo kesana!" Nah. Tanpa mencari sumber suara, aku sudah tau.
Aku berdiri. "Kak," panggilku.
"Apa?"
"Mengapa ... harus ada kematian?"
Kakak tidak langsung menjawab. Ia tampak berpikir.
"Mengapa harus ada perpisahan di setiap pertemuan?"
Kakak menatapku lekat. "Kau tahu," katanya, "di dunia fana ini tak ada yang abadi. Di tiap momen yang terjadi, bisa jadi momen yang terakhir bagi kita.
"Kau tak akan pernah lebih muda dari sekarang. Kita tak akan pernah mengalami masa ini lagi. Semua momen yang memiliki akhir itu patut kita syukuri ....
"Karena ...,"--kakak menggenggam tanganku--"setiap momen yang memiliki akhir itu ... lebih bermakna ...."
Aku terbengong. Ucapan kakak barusan ... ada benarnya---eh tidak, memang benar.
"Ayo!" Kakak menarik lengan bajuku.
Aku tersenyum kecut. Aku harus mengikhlaskan kematian ibu.
"Kak! Udah ah lepas!" Aku berusaha melepas genggamannya dan itu berhasil.
Barangkali itulah mengapa kematian ada, aku menduga. Barangkali juga itulah mengapa kita mengenal konsep berpisah dan bersua.
Ibu, meskipun kau sangat menyebalkan, aku tetap menyayangimu. Semoga kau tenang di sisi Tuhan. Amin.
Sayangnya, hatiku tak secerah hari ini. Sayangnya juga, aku tidak bisa menikmati waktu Minggu.
Hari ini bukanlah hari yang cerah bagiku.
Hari ini adalah ... hari kepergiannya ....
Aku menatap sendu tubuh ibu yang terbujur kaku dari balik kain kafan yang membungkus tubuhnya.
Memori-memori tentangnya bermunculan tanpa bisa kucegah. Aku ingat semuanya. Aku ingat betul wajah cantiknya ketika tersenyum. Aku ingat suaranya yang lembut ketika menasihatiku. Aku ingat, aku ingat, aku ingat, aku i---
"HUWAAAAAAAAAAAAA!!!!"
Isakan yang dari tadi kutahan kini meluncur bebas. Mengingat kenangan berhaga bersama ibu membuatku menyesal. Seharusnya aku tidak memikirkan hal yang membuat diriku semakin terpukul.
Para penggali kuburan mulai mempersiapkan cangkulnya. Perlahan-lahan tetapi pasti, mereka mengembalikan tanah galian ke liang lahad.
Aku berjalan menjauh dari area pemakaman ibu. Aku sangat terpukul atas kematiannya. Ya Allah, tolong hidupkanlah kembali ibuku!
"Eh!" Aku hampir saja terjatuh karena tersandung kerikil berukuran sedang. Kejadian ini membuat diriku menghentikan tangis, namun satu detik kemudian aku melanjutkannya.
Aku berjalan menuju tempat mobil kakakku diparkirkan. Ketika aku melewati gang, orang-orang yang ingin berziarah menatapku beberapa saat, dan aku malu karenanya! Pasti wajahku sekarang sangat kacau!
Aku duduk di sebuah batu besar, berniat menghapus air mata dan merapikan kerudung.
"Woi!" Sebuah suara yang tidak asing terdengar di indra pendengaranku. Acara merapikan kerudungku belum selesai, jadi aku memutuskan mengabaikannya.
"Kamu lho! Ayo kesana!" Nah. Tanpa mencari sumber suara, aku sudah tau.
Aku berdiri. "Kak," panggilku.
"Apa?"
"Mengapa ... harus ada kematian?"
Kakak tidak langsung menjawab. Ia tampak berpikir.
"Mengapa harus ada perpisahan di setiap pertemuan?"
Kakak menatapku lekat. "Kau tahu," katanya, "di dunia fana ini tak ada yang abadi. Di tiap momen yang terjadi, bisa jadi momen yang terakhir bagi kita.
"Kau tak akan pernah lebih muda dari sekarang. Kita tak akan pernah mengalami masa ini lagi. Semua momen yang memiliki akhir itu patut kita syukuri ....
"Karena ...,"--kakak menggenggam tanganku--"setiap momen yang memiliki akhir itu ... lebih bermakna ...."
Aku terbengong. Ucapan kakak barusan ... ada benarnya---eh tidak, memang benar.
"Ayo!" Kakak menarik lengan bajuku.
Aku tersenyum kecut. Aku harus mengikhlaskan kematian ibu.
"Kak! Udah ah lepas!" Aku berusaha melepas genggamannya dan itu berhasil.
Barangkali itulah mengapa kematian ada, aku menduga. Barangkali juga itulah mengapa kita mengenal konsep berpisah dan bersua.
Ibu, meskipun kau sangat menyebalkan, aku tetap menyayangimu. Semoga kau tenang di sisi Tuhan. Amin.
maap kalo salah