Muriel Stuart Walker lahir di Glasgow, Skotlandia pada 19 Februari 1898. Bersama ibunya, ia kemudian pindah ke California, Amerika Serikat. Pada 1932, ia memutuskan menetap di Bali, Indonesia karena terinspirasi film berjudul “Bali : The Last Paradise”. Karena itulah, ia lancar berbahasa Bali dan Indonesia.
Pada masa kekuasaan Jepang, ia diperlakukan dengan buruk dan berkali-kali ia disiksa. Ia bahkan nyaris dieksekusi karena keterlibatannya dengan para aktivis anti-Jepang. Karena kesehatannya yang anjlok ke titik ternadir, ia pun dikirim ke rumah sakit. Di sanalah ia mendengar kabar diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia.
Aktivitas bawah tanah dan keteguhan sikap untuk konsisten melawan Jepang membuat tentara Indonesia di bawah pimpinan Bung Tomo membebaskannya. Ia diberi pilihan untuk kembali ke negerinya dengan jaminan pengamanan penuh atau bergabung dengan pejuang Indonesia. Ia memilih yang kedua sehingga selama perang kemerdekaan 1945-1949, Muriel turut bergerilya bersama Bung Tomo dan para pejuang serta menyaksikan dari dekat Pertempuran Surabaya 10 November 1945. Muriel membuat beberapa siaran dalam bahasa Inggris dengan target pendengar orang-orang Eropa, dengan namanya yang baru yaitu K’tut Tantri dan dijuluki “Soerabaja Sue”.
Pada masa tersebut, radio memegang peranan penting untuk mengirim pesan-pesan ke seluruh dunia, agar bangsa-bangsa lain mengetahui tentang kemerdekaan Indonesia. Ia paling dikenal karena menjadi penyiar radio Voice of Free Indonesia (divisi otonom di bawah Radio Republik Indonesia, saat ini menjadi Voice of Indonesia) dan menulis buku “Revolusi di Nusa Damai”. Tantri turut pula menembus blokade laut Belanda dan berhasil lolos ke Singapura dan Australia untuk melakukan kampanye penggalangan dana, solidaritas internasional untuk Indonesia dan melakukan propaganda agar (rakyat) Australia memboikot Belanda.
Ia menuliskan kisahnya selama di Indonesia dalam autobiografinya yang berjudul “Revolt in Paradise”. Tantri wafat di Sydney, Australia pada 27 Juli 1997
Muriel Stuart Walker atau lebih dikenal dengan nama K'tut Tantri adalah perempuan berkebangsaan Amerika Serikat yang membantu menyebarkan berita perjuangan Indonesia melalui radio.
Ia lahir di Skotlandia pada 1898 dan memutuskan pindah ke Bali dari Amerika di usia 34 tahun setelah terpesona film Bali, The Last Paradise yang ia tonton.
Tantri menuliskan kisah perjalanannya dalam otobiografi yang berjudul Revolt In Paradise. atau Revolusi di Nusa Damai.
"Kau kami namakan K'tut, yang dalam bahaa Bali berarti anak keempat. Segera akan kupanggil pedanda. Menurut adat leluhur kami, kau akan kami beri nama lain, yang akan merupakan nama yang ditakdirkan untukmu," cerita K'tut di otobografinya, menirukan kata sang Raja Klungkung, ayah angkatnya.
Kehidupan Tantri di lingkungan Kerajaan Klungkung membuat dia mencintai Indonesia. Dia banyak membantu perjuangan rakyat Indonesia merebut kemerdekaannya.
Ia sempat berpindah-pindah daerah, termasuk ke Surabaya dan Yogyakarta.
Pada 10 November 1945, di tengah perang, ia dengan lantang membacakan pidato berbahasa Inggris.
"Aku akan tetap dengan rakyat Indonesia, kalah atau menang. Sebagai perempuan Inggris, barangkali aku dapat mengimbangi perbuatan sewenang-wenang yang dilakukan kaum sebangsaku dengan berbagai jalan yang bisa kukerjakan, ungkapnya.
"Perwakilan Denmark, Swiss, Uni Soviet, dan Swedia. Kuminta mereka menyertai aku dalam siaran malam itu untuk memprotes tindakan pengeboman serta menyatakan sikap mereka mengenai tindakan Inggris (di Surabaya),’’ tulisnya lagi.
Perisiwa tersebut membuat K'tut Tantri dijuluki "Surabaya Sue" atau penggugat dari Surabaya.
"Kau harus bertugas mengisahkan sejarah negara kami, begitu pula perjuangan kami selama 40 tahun yang lalu. Kau harus mengingatkan bangsa Inggris dan Amerika pada pidato-pidato para negarawan mereka yang diucapkan semasa perang, yang menjanjikan kemerdekaan semua bangsa di seluruh dunia," tulis Tantri dalam otobiografinya.
Di Radio Pemberontakan, Tantri juga bertemu dengan Bung Tomo.
"Kemahirannya berpidato hanya bisa dikalahkan oleh Presiden Soekarno. Bagiku jelas, Bung Tomo sangat berbakti pada perjuangannya," ungkap Tantri saat bertemu dengan Bung Tomo.
Melalui siaran berita, Belanda menjanjikan 50.000 gulden kepada orang Indonesia yang bisa menyerahkan K'tut Tantri ke markas besar tentara Belanda di Surabaya.
Sayembara tersebut dijawab sendiri oleh Tantri melalui siarannya di radio.
"Kalian tahu, uang gulden Belanda kini tidak laku lagi di Indonesia," kata dia.
"Kami sudah memiliki mata uang sendiri. Tetapi, jika Belanda mau menyumbangkan setengah juta rupiah pada bangsa Indonesia sebagai dana perjuangan kemerdekaan, saya bersedia datang sendiri ke markas besar kalian," tantang Tantri.
Jawaban:
Muriel Stuart Walker lahir di Glasgow, Skotlandia pada 19 Februari 1898. Bersama ibunya, ia kemudian pindah ke California, Amerika Serikat. Pada 1932, ia memutuskan menetap di Bali, Indonesia karena terinspirasi film berjudul “Bali : The Last Paradise”. Karena itulah, ia lancar berbahasa Bali dan Indonesia.
Pada masa kekuasaan Jepang, ia diperlakukan dengan buruk dan berkali-kali ia disiksa. Ia bahkan nyaris dieksekusi karena keterlibatannya dengan para aktivis anti-Jepang. Karena kesehatannya yang anjlok ke titik ternadir, ia pun dikirim ke rumah sakit. Di sanalah ia mendengar kabar diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia.
Aktivitas bawah tanah dan keteguhan sikap untuk konsisten melawan Jepang membuat tentara Indonesia di bawah pimpinan Bung Tomo membebaskannya. Ia diberi pilihan untuk kembali ke negerinya dengan jaminan pengamanan penuh atau bergabung dengan pejuang Indonesia. Ia memilih yang kedua sehingga selama perang kemerdekaan 1945-1949, Muriel turut bergerilya bersama Bung Tomo dan para pejuang serta menyaksikan dari dekat Pertempuran Surabaya 10 November 1945. Muriel membuat beberapa siaran dalam bahasa Inggris dengan target pendengar orang-orang Eropa, dengan namanya yang baru yaitu K’tut Tantri dan dijuluki “Soerabaja Sue”.
Pada masa tersebut, radio memegang peranan penting untuk mengirim pesan-pesan ke seluruh dunia, agar bangsa-bangsa lain mengetahui tentang kemerdekaan Indonesia. Ia paling dikenal karena menjadi penyiar radio Voice of Free Indonesia (divisi otonom di bawah Radio Republik Indonesia, saat ini menjadi Voice of Indonesia) dan menulis buku “Revolusi di Nusa Damai”. Tantri turut pula menembus blokade laut Belanda dan berhasil lolos ke Singapura dan Australia untuk melakukan kampanye penggalangan dana, solidaritas internasional untuk Indonesia dan melakukan propaganda agar (rakyat) Australia memboikot Belanda.
Ia menuliskan kisahnya selama di Indonesia dalam autobiografinya yang berjudul “Revolt in Paradise”. Tantri wafat di Sydney, Australia pada 27 Juli 1997
Jawaban:
Muriel Stuart Walker atau lebih dikenal dengan nama K'tut Tantri adalah perempuan berkebangsaan Amerika Serikat yang membantu menyebarkan berita perjuangan Indonesia melalui radio.
Ia lahir di Skotlandia pada 1898 dan memutuskan pindah ke Bali dari Amerika di usia 34 tahun setelah terpesona film Bali, The Last Paradise yang ia tonton.
Tantri menuliskan kisah perjalanannya dalam otobiografi yang berjudul Revolt In Paradise. atau Revolusi di Nusa Damai.
"Kau kami namakan K'tut, yang dalam bahaa Bali berarti anak keempat. Segera akan kupanggil pedanda. Menurut adat leluhur kami, kau akan kami beri nama lain, yang akan merupakan nama yang ditakdirkan untukmu," cerita K'tut di otobografinya, menirukan kata sang Raja Klungkung, ayah angkatnya.
Kehidupan Tantri di lingkungan Kerajaan Klungkung membuat dia mencintai Indonesia. Dia banyak membantu perjuangan rakyat Indonesia merebut kemerdekaannya.
Ia sempat berpindah-pindah daerah, termasuk ke Surabaya dan Yogyakarta.
Pada 10 November 1945, di tengah perang, ia dengan lantang membacakan pidato berbahasa Inggris.
"Aku akan tetap dengan rakyat Indonesia, kalah atau menang. Sebagai perempuan Inggris, barangkali aku dapat mengimbangi perbuatan sewenang-wenang yang dilakukan kaum sebangsaku dengan berbagai jalan yang bisa kukerjakan, ungkapnya.
"Perwakilan Denmark, Swiss, Uni Soviet, dan Swedia. Kuminta mereka menyertai aku dalam siaran malam itu untuk memprotes tindakan pengeboman serta menyatakan sikap mereka mengenai tindakan Inggris (di Surabaya),’’ tulisnya lagi.
Perisiwa tersebut membuat K'tut Tantri dijuluki "Surabaya Sue" atau penggugat dari Surabaya.
"Kau harus bertugas mengisahkan sejarah negara kami, begitu pula perjuangan kami selama 40 tahun yang lalu. Kau harus mengingatkan bangsa Inggris dan Amerika pada pidato-pidato para negarawan mereka yang diucapkan semasa perang, yang menjanjikan kemerdekaan semua bangsa di seluruh dunia," tulis Tantri dalam otobiografinya.
Di Radio Pemberontakan, Tantri juga bertemu dengan Bung Tomo.
"Kemahirannya berpidato hanya bisa dikalahkan oleh Presiden Soekarno. Bagiku jelas, Bung Tomo sangat berbakti pada perjuangannya," ungkap Tantri saat bertemu dengan Bung Tomo.
Melalui siaran berita, Belanda menjanjikan 50.000 gulden kepada orang Indonesia yang bisa menyerahkan K'tut Tantri ke markas besar tentara Belanda di Surabaya.
Sayembara tersebut dijawab sendiri oleh Tantri melalui siarannya di radio.
"Kalian tahu, uang gulden Belanda kini tidak laku lagi di Indonesia," kata dia.
"Kami sudah memiliki mata uang sendiri. Tetapi, jika Belanda mau menyumbangkan setengah juta rupiah pada bangsa Indonesia sebagai dana perjuangan kemerdekaan, saya bersedia datang sendiri ke markas besar kalian," tantang Tantri.
Penjelasan:
maaf jika ada yang kurang