Belakangan ini ada satu topik yang cukup hangat diperbincangkan adalah transportasi online. Pertama bila dilihat dari sudut pandang mahasiswa yang notabene adalah konsumen yang cukup mendominasi dan bisa cukup mewakili suara para konsumen, transportasi online adalah hal yang seakan telah diakui sebagai satu kebutuhan. Ya, kebutuhan transportasi. Alasannya: kenyamanan dan keterjangkauan(murah dan mudah). Untuk bisa melakukan ‘reservasi’ cukup memiliki aplikasi dan membuat akun. Untuk bisa mengakses hanya dengan koneksi internet, buka aplikasi, menentukan tujuan, dan beberapa saat kemudian driver datang lalu konsumen bisa langsung diantar ke tujuan. Begitupula dengan ongkos, cukup terjangkau untuk kalangan masyarakat menengah ke bawah.
Tak bisa dipungkiri lagi memang, transportasi online lebih unggul dalam menyediakan service bagi para customer-nya. Ya unggul dibandingkan moda transportasi umum konvensional. Bila disuruh memilih, masyarakat secara umum akan lebih memilih menggunakan transportasi online dengan segala kepraktisannya dibanding harus berdesak-desak di dalam angkot yang pengap. Masyarakat umum apalagi mahasiswa yang menuntut mobilitas dan efisiensi waktu tinggi akan lebih memilih menggunakan transportasi online yang bisa dengan mudah dan cepat diakses secara online daripada harus menunggu angkot yang terkadang dengan seenaknya berlama-lama ‘ngetem’ demi mendapat penumpang yang lebih banyak.
Namun, tak bijak bila memandang masalah hanya dari satu sisi. Kita harus melihat masalah ini dari pihak yang merasa dirugikan atau yang merasa melihat pelanggaran dari keberadaan transportasi online ini. Transportasi umum konvensional terutama, sangat merasa dirugikan karena mereka menjadi sepi penumpang. Tidak rela mata pencaharian mereka ‘dirampok’, mereka sering mengadakan demo besar-besaran yang membuat pemangku kebijakan kalang kabut. Pihak lain yang kontra dengan keberadaan transportasi online juga menilai bahwasanya kendaraan yang digunakan untuk mengangkut penumpang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku. Kendaraan berplat hitam apapun bentuknya seharusnya tidak diperuntukkan sebagai transportasi umum. Hanya yang berplat kuning dan terdaftar di dinas perhubungan daerah lah yang bisa digunakan sebagai angkutan umum. Para supir transportasi online atau yang sering disebut oleh perusahaan dengan mitra, juga tidak berkewajiban membayar pajak, baik pajak penghasilan maupun pajak kendaraan umum sebagaimana yang dilakukan oleh para supir angkutan umum. Selain itu, kendaraan umum harus menjalani uji kelayakan beroperasi, sedangkan kendaraan yang digunakan untuk transportasi online hanya bersifat sebagai kendaraan pribadi di mana asal surat-surat lengkap bisa didaftarkan untuk ‘narik’.
Sebenarnya bingung harus menyalahkan siapa dan membela pihak yang mana, transportasi online atau konvensional. Namun di sini bisa ditarik solusi yang diharapkan win-win di kedua belah pihak. Tidak lain dan tidak bukan para pengguna jasa angkutan lebih tertarik untuk menggunakan jasa transportasi online adalah karena faktor kenyamanan dan kemudahannya sehingga agar para pelanggan tidak berpindah ke lain hati mungkin para penyedia jasa angkutan umum bisa memperbaiki armada yang digunakan. Yang kedua, solusi yang mungkin bisa dilaksanakan adalah mengajak dan menerapkan sistem online pada moda angkutan umum. Mungkin sangat sulit, tetapi kalau benar-benar terwujud solusi tadi akan sangat bermanfaat ke depannya.
dengan 8ni kita dapat berpergian dengan mudah dan walaupun menfapat biaya lebih
maaf klo salah :)
jdi pengikut atau tekan terimakasih
Belakangan ini ada satu topik yang cukup hangat diperbincangkan adalah transportasi online. Pertama bila dilihat dari sudut pandang mahasiswa yang notabene adalah konsumen yang cukup mendominasi dan bisa cukup mewakili suara para konsumen, transportasi online adalah hal yang seakan telah diakui sebagai satu kebutuhan. Ya, kebutuhan transportasi. Alasannya: kenyamanan dan keterjangkauan(murah dan mudah). Untuk bisa melakukan ‘reservasi’ cukup memiliki aplikasi dan membuat akun. Untuk bisa mengakses hanya dengan koneksi internet, buka aplikasi, menentukan tujuan, dan beberapa saat kemudian driver datang lalu konsumen bisa langsung diantar ke tujuan. Begitupula dengan ongkos, cukup terjangkau untuk kalangan masyarakat menengah ke bawah.
Tak bisa dipungkiri lagi memang, transportasi online lebih unggul dalam menyediakan service bagi para customer-nya. Ya unggul dibandingkan moda transportasi umum konvensional. Bila disuruh memilih, masyarakat secara umum akan lebih memilih menggunakan transportasi online dengan segala kepraktisannya dibanding harus berdesak-desak di dalam angkot yang pengap. Masyarakat umum apalagi mahasiswa yang menuntut mobilitas dan efisiensi waktu tinggi akan lebih memilih menggunakan transportasi online yang bisa dengan mudah dan cepat diakses secara online daripada harus menunggu angkot yang terkadang dengan seenaknya berlama-lama ‘ngetem’ demi mendapat penumpang yang lebih banyak.
Namun, tak bijak bila memandang masalah hanya dari satu sisi. Kita harus melihat masalah ini dari pihak yang merasa dirugikan atau yang merasa melihat pelanggaran dari keberadaan transportasi online ini. Transportasi umum konvensional terutama, sangat merasa dirugikan karena mereka menjadi sepi penumpang. Tidak rela mata pencaharian mereka ‘dirampok’, mereka sering mengadakan demo besar-besaran yang membuat pemangku kebijakan kalang kabut. Pihak lain yang kontra dengan keberadaan transportasi online juga menilai bahwasanya kendaraan yang digunakan untuk mengangkut penumpang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku. Kendaraan berplat hitam apapun bentuknya seharusnya tidak diperuntukkan sebagai transportasi umum. Hanya yang berplat kuning dan terdaftar di dinas perhubungan daerah lah yang bisa digunakan sebagai angkutan umum. Para supir transportasi online atau yang sering disebut oleh perusahaan dengan mitra, juga tidak berkewajiban membayar pajak, baik pajak penghasilan maupun pajak kendaraan umum sebagaimana yang dilakukan oleh para supir angkutan umum. Selain itu, kendaraan umum harus menjalani uji kelayakan beroperasi, sedangkan kendaraan yang digunakan untuk transportasi online hanya bersifat sebagai kendaraan pribadi di mana asal surat-surat lengkap bisa didaftarkan untuk ‘narik’.
Sebenarnya bingung harus menyalahkan siapa dan membela pihak yang mana, transportasi online atau konvensional. Namun di sini bisa ditarik solusi yang diharapkan win-win di kedua belah pihak. Tidak lain dan tidak bukan para pengguna jasa angkutan lebih tertarik untuk menggunakan jasa transportasi online adalah karena faktor kenyamanan dan kemudahannya sehingga agar para pelanggan tidak berpindah ke lain hati mungkin para penyedia jasa angkutan umum bisa memperbaiki armada yang digunakan. Yang kedua, solusi yang mungkin bisa dilaksanakan adalah mengajak dan menerapkan sistem online pada moda angkutan umum. Mungkin sangat sulit, tetapi kalau benar-benar terwujud solusi tadi akan sangat bermanfaat ke depannya.