Saat itu keadaan Sulawesi Selatan, khususnya Makassar, sedang bergejolak. Rakyat yang anti federal (RIS), mengadakan demonstrasi dan mendesak agar NIT (Negara Indonesia Timur) dibubarkan dan bergabung kembali dengan RI. Kelompok yang setuju dengan gagasan Negara federal, mengadakan demonstrasi balasan. Suasana semakin terasa panas dan genting saat menyebarnya isu bahwa batalyon pimpinan Mayor H.V. Worang dari Jawa, akan ditempatkan di Sulawesi Selatan. Padahal pasukan yang sebagian besar terdiri atas putara Sulawesi Utara itu sesungguhnya dikirim ke Manado dengan kapal Waekelo. Mereka harus singgah di Makassar untuk menambah perbekalan. Andi Azis dan pengikutnya khawatir kedudukan mereka akan terdesak oleh pasukan dari Jawa tersebut.
Pada pagi hari tanggal 5 April 1950, Andi Aziz dengan pasukannya menyerang markas APRIS dan menduduki objek-objek penting, seperti lapangan terbang dan kantor telekomunikasi. Dalam waktu singkat kota Makassar dapat dikuasai karena pasukan APRIS jumlahnya sangat sedikit. Pemerintah RIS (Republik Indonesia Serikat) terpaksa menghadapi pemberontakan dengan kekuatan senjata. Tiga hari kemudian, yaitu pada tanggal 8 April 1950, pemerintah mengeluarkan ultimatum agar Andi Aziz melaporkan diri ke Jakarta dalam waktu 4 X 24 jam.
Untuk mempertanggungjawabkan tindakannya, pasukan Andi Aziz dilarang keluar dari asrama. Perlengkapan senjata mereka pun harus diserahkan kepada APRIS. Ultimatum tersebut tidak dipenuhi, sehingga pemerintah pusat terpaksa mengerahkan kekuatan senjata untuk menumpas Andi Aziz dan pasukannya.
Pasukan gabungan APRIS dikerahkan ke Sulawesi Selatan dipimpin oleh Kolonel A.E. Kawilarang. Ia dibantu oleh para perwira komandan pasukan, seperti Letkol. Soeharto, Mayor H.V. Worang, Andi Mattalata, dan Letnan S. Sukowati. Angkatan Laut mengerahkan kapal perang Hang Tuah, Banteng, dan Rajawali, sedangkan Angkatan Udara membantu dengan beberapa pesawat pembom B-25 Mitchell.
Karena terdesak, pada tanggal 15 April 1950 Andi Aziz menyerah dan berangkat ke Jakarta. Dengan penyerahan diri Andi Aziz maka pasukannya dan NIT dibubarkan, lalu melebur kembali ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Saat itu keadaan Sulawesi Selatan, khususnya Makassar, sedang bergejolak. Rakyat yang anti federal (RIS), mengadakan demonstrasi dan mendesak agar NIT (Negara Indonesia Timur) dibubarkan dan bergabung kembali dengan RI. Kelompok yang setuju dengan gagasan Negara federal, mengadakan demonstrasi balasan. Suasana semakin terasa panas dan genting saat menyebarnya isu bahwa batalyon pimpinan Mayor H.V. Worang dari Jawa, akan ditempatkan di Sulawesi Selatan. Padahal pasukan yang sebagian besar terdiri atas putara Sulawesi Utara itu sesungguhnya dikirim ke Manado dengan kapal Waekelo. Mereka harus singgah di Makassar untuk menambah perbekalan. Andi Azis dan pengikutnya khawatir kedudukan mereka akan terdesak oleh pasukan dari Jawa tersebut.
Pada pagi hari tanggal 5 April 1950, Andi Aziz dengan pasukannya menyerang markas APRIS dan menduduki objek-objek penting, seperti lapangan terbang dan kantor telekomunikasi. Dalam waktu singkat kota Makassar dapat dikuasai karena pasukan APRIS jumlahnya sangat sedikit. Pemerintah RIS (Republik Indonesia Serikat) terpaksa menghadapi pemberontakan dengan kekuatan senjata. Tiga hari kemudian, yaitu pada tanggal 8 April 1950, pemerintah mengeluarkan ultimatum agar Andi Aziz melaporkan diri ke Jakarta dalam waktu 4 X 24 jam.
Untuk mempertanggungjawabkan tindakannya, pasukan Andi Aziz dilarang keluar dari asrama. Perlengkapan senjata mereka pun harus diserahkan kepada APRIS. Ultimatum tersebut tidak dipenuhi, sehingga pemerintah pusat terpaksa mengerahkan kekuatan senjata untuk menumpas Andi Aziz dan pasukannya.
Pasukan gabungan APRIS dikerahkan ke Sulawesi Selatan dipimpin oleh Kolonel A.E. Kawilarang. Ia dibantu oleh para perwira komandan pasukan, seperti Letkol. Soeharto, Mayor H.V. Worang, Andi Mattalata, dan Letnan S. Sukowati. Angkatan Laut mengerahkan kapal perang Hang Tuah, Banteng, dan Rajawali, sedangkan Angkatan Udara membantu dengan beberapa pesawat pembom B-25 Mitchell.
Karena terdesak, pada tanggal 15 April 1950 Andi Aziz menyerah dan berangkat ke Jakarta. Dengan penyerahan diri Andi Aziz maka pasukannya dan NIT dibubarkan, lalu melebur kembali ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).