Tugas departemen transmigrasi berkaitan dengan masalah kependudukan
farhanmuhammad1Besarnya jumlah penduduk karena jumlah kelahiran lebih besar dari pada jumlah kematian.[3] Dampak besar dan penting adalah perubahan lingkungan hidup yang sangat mendasar yang diakibatkan oleh suatu usaha dan atau kegiatan manusia. Permasalahan mengenai lingkungan yang kerap ditemui dalam kaitannya dengan bidang penataan ruang antara lain dapat ditemukan dalam contoh kasus sebagai berikut:Alih fungsi lahan pertanian produktif menjadi lahan non pertanian seperti industri, permukiman, prasarana umum, dan lain sebagainya[4]. Secara keseluruhan, alih fungsi lahan dari kawasan lindung menjadi kawasan budidaya (pertanian, industri, permukiman, dan sebagainya) mencapai 50.000 ha/ tahun.[5]Penurunan secara signifikan luas hutan tropis sebagai kawasan resapan air. Pengurangan ini terjadi baik akibat kebakaran maupun akibat penjarahanataupenggundulan. Apabila tidak diambil langkah-langkah tepat maka kerusakan hutan akan menyebabkan run-off yang besar pada kawasan hulu-hilir, meningkatkan resiko pendangkalan dan banjir pada wilayah hilir, mengganggu siklus hidrologis, dan memperluas kelangkaan air bersih dalam jangka panjang.Kosentrasi dan sifat kimiawi bahan pencemar yang masuk ke air permukaan mengalami perubahan sebagai akibat empat proses ilmiah yaitu: pengeceran, biodegredasi, penigkatan biologis, dan sedimentasi.[6]Meningkatnya satuan wilayah sungai (SWS) yang kritis. Pada tahun 1984, tercatat dari total 89 SWS yang ada di Indonesia, 22 SWS berada dalam kondisi kritis. Kondisi ini terus memburuk dimana pada tahun 1992 jumlah SWS yang kritis meningkat menjadi 39 SWS dan pada tahun 1998 membengkak menjadi 59 SWS.Kebijakan nasional penataan ruang secara formal ditetapkan bersamaan dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang [UU 24/1992], yang kemudian diperbaharui dengan Undangundang Nomor 26 Tahun 2007 [UU 26/2007]. Kebijakan tersebut ditujukan untuk mewujudkan kualitas tata ruang nasional yang semakin baik, yang oleh undang-undang dinyatakan dengan kriteria aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan. Namun, setelah lebih dari 25 tahun diberlakukannya kebijakan tersebut, kualitas tata ruang masih belum memenuhi harapan. Bahkan cenderung sebaliknya, justru yang belakangan ini sedang berlangsung adalah indikasi dengan penurunan kualitas dan daya dukung lingkungan. Pencemaran dan kerusakan lingkungan bahkan makin terlihat secara kasat mata baik di kawasan perkotaan maupun di kawasan perdesaan.[7]Dengan diberlakukannya kebijakan nasional penataan ruang tersebut, maka tidak ada lagi tata ruang wilayah yang tidak direncanakan. Tata ruang menjadi produk dari rangkaian proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Oleh karena itu, penegasan sanksi atas pelanggaran tata ruang sebagaimana diatur dalam UU 26/ 2007 menuntut proses perencanaan tata ruang harus diselenggarakan dengan baik agar penyimpangan pemanfaatan ruang bukan disebabkan oleh rendahnya kualitas rencana tata ruang wilayah. Guna membantu mengupayakan perbaikan kualitas rencana tata ruang wilayah maka Kajian Lingkungan Hidup Strategis [KLHS] atau Strategic Environmental Assessment [SEA] menjadi salah satu pilihan alat bantu melalui perbaikan kerangka pikir [framework of thinking] perencanaan tata ruang wilayah untuk mengatasi persoalan lingkungan hidup.