TOLONG DONG BUAT BESOK NIH TOLONG CERITAIN ULANG CERPEN DIBAWAH PAKE BAHASAMU SENDIRI
KANG DASRIP
(Emha Ainun Nadjib)
Kang Dasrip kecewa dan agak bingung.
Anaknya, Daroji yang belum
sembuh karena dikhitan kemarin, kini
sudah mulai menagih. Sebelum hajat
khitanan ini, ia memang berjanji
kepada anaknya akan membelikannya
radio merek Philip seperti kepunyaan
Wak Haji Kholik. Tapi mana bisa,
perhitungannya ternyata meleset. Ia
bukannya mendapat laba dari hajat ini,
malah rugi. Undangan-undangan itu
ternyata banyak yang kurang ajar.
Cobalah pikir. Perhitungan Kang Dasrip
sebenarnya sudah dibilang
matang. Ia keluarkan biaya sedikit
mungkin untuk hajatan khitanan
anaknya
ini. Ia tidak bikin tarup di depan
rumahnya karena akan menghabiskan
banyak batang bambu dan sesek,
melainkan cukup membuka gedeg
bagian
depan rumahnya. Dengan demikian,
beranda dan ruang depan rumahnya
menjadi tersambung dan bisa dijadikan
tempat upacara khitanan. Ia tidak
pakai acara macem-macem. Cukup
panggil calak, tukang khitan, dengan
bayaran dua ribu upiah. Kemudian tak
usah nanggap wayang atau ketoprak,
ludruk, lagu-lagu dangdut atau
kasidahan, atau apa saja asal ada
kasetnya.
Semua biayannya cukup tiga ribu
rupiah, untuk waktu sehari semalam
penuh.
Biaya yang tidak bisa dielakkan
banyaknya ialah untuk suguhan,
makan minum dan jajan-jajan serta
rokok. Yang diundang tak usah
banyakbanyak.
Cukup kerabat-kerabat terdekat, tetapi
tertama orang-orang yang
dulu pernah mengundangnya berhajat.
Kang Dasrip punya catatan berapa
banyak ia memberi beras atau uang
ketika ia pergi ke kondangan. Ia yakin
pasti memperoleh jumlah yang sama
bahkan bisa lebih banyak.
Tetapi ternyata mereka banyak yang
kurang ajar. Yang dulu ia buwuhi
Rp 200. Sekarang cuma ngasih Rp 100.
Bahkan ada yang lebih parah lagi,
datang tanpa membawa apa-apa. Kang
Dasrip misuh-misuh. Ia rugi ada
kira-kira lima belas ribu. Gagallah ia
membelikan radio buat anaknya.
Sedang
si Daroji sudah merengek-rengek.
“Sudahlah, Kang. Tak usah bingung.
Kita nunggu sewaan tebu sawah
kita saja untuk beli radio itu, “ kata istri
Kang Dasrip.
“Kau kira berapa sewan untuk sawah
kita?” Kang Dasrip malah
kelihatan semakin berang.
Mereka seenaknya sendiri saja memberi
harga sewa kita untuk ditanami
tebu. Ngomongnya saja tebu rakyat!
Tapi nyatanya malah maksa-maksa
kita dan tebunya juga punya pabrik!
Punya pemerintah!”
Istrinya tidak berani membantah. Tapi
Kang Dasrip sendiri toh hanya
bisa bingung.
“Biarlah aku nanti yang ngomongi
Daroji,” kata istrinya lagi.
“Ngomongi apa! Dia anak kecil!”
“Ya disuruh sabar.”
Kang Dasrip tertawa kecut. “Sabar
sampai kapan?”
“Kita kan bisa usaha.”
“Usaha apa!”
“Soal sewa tebu itu misalnya. Kau kan
bisa minta Pak Lurah untuk
menaikkan harga sewanya.”
Tertawa Kang Dasrip mengeras. “Kau
kira lurah kita itu pahlawan,
ya! Dia itu takut sama atasannya.
Atasannya itu ada main sama yang
ngurus
tebu itu. Dan lagi lurah kita pasti juga
dapat apa-apa. Dia sudah punya
sawah berhektar-hektar, pajak-pajak
dari kita tak tahu larinya ke mana, uang
pembangunan desa sedikit sekali kita
lihat hasilnya, tapi belum pernah dia
merasa puas, dia masih merasa kurang
kaya ... !
“Jadi bagaimana?” istrinya nampak
sedih.
“Ya! Bagaimana! Memang bagaimana?”
jawab Kang Dasrip.
Mereka kemudian tak berkata-kata lagi.
Tapi kemudian ternyata Kang Dasrip
punya rencana diam-diam. Ia
mengambil sisa-sisa surat undangan,
kertas cetakan yang dibelinya di toko
dan tinggal mengisi nama yang
diundang. Di bagian belakangnya yang
kosong ia pergunakan untuk menulis
surat. Ternyata ditujukan kepada para
undangan yang kurang ajar itu. “Saya
dulu mbuwuhi saudara Rp 200, kok
sekarang Saudara hanya ngasih Rp100,
tulisnya ................
Ketika surat itu selesai diantarnya,
ributlah orang desa. Ada yag
tertawa, ada yang memaki-maki. Yang
jelas surat itu dengan cepat menjadi
bahan gunjingan. Bahkan ternyata ada
juga yang dikirim ke undangan dari
desa sebelah. Maka makin keraslah
tanggapan orang desa. “Memalukan
desa kita!” kecam mereka.
Dan akhirnya Kang Dasrip tidak
menikmati hasil apa-apa dari
tindakan kebingungannya itu, kecuali
nama yang memalukan. Bahkan, lebih
dari itu, di tengah malam, ia gelisah
karena genting rumahnya ada yang
melempari berkali-kali. Kang Dasrip
naik pitam. Ia keluar rumah dan berlari
hendak mengejar pelaku-pelakunya.
Tapi tentu saja ia sia-sia. Malam amat
pekat dan lingkungan begitu rimbun
untuk ditembus. Akhirnya ia masuk
kembali dan terengah-engah di kursi.
Istrinya ketakutan. Tapi Kang Dasrip
berusaha meredakannya. “Mereka itu
undangan-undangan yang kurang ajar
itu!” katanya.
Paginya Kang Dasrip berpamitan
kepada Daroji akan ke kota untuk
beli radio hingga bersukacitalah anak
itu. Tapi siangnya Kang Dasrip datang
dengan wajah sendu. “Radionya dicopet
di pasar, Nak....!” ujarnya. Daroji
menangis.
dan karna itu keluarga anak itu menjadi caci makian org se kampung. dan ketika ayahnya membeli radio di psar, ternyata radionya di copet org