Tolong cariin ya unsur intrinsiknya apa aja, cariin (Tema,alur,latar,sudut pandang sama amanatnya) dari cerpen dibawah ini
Banyak orang menganggap diriku sebelah mata. Seakan mereka tak pernah mempedulikan betapa sakitnya hatiku. Hinaan. Cacian. Ejekkan pedas. Itulah yang mereka lakukan kepadaku. Apa salahku?, batinku menjerit keras.
Nayanty Nur Fauzy adalah nama lengkapku. Biasanya aku disapa Zyzy oleh orang-orang di sekitarku. Aku dilahirkan ke dunia ini dengan tubuh normal dan keluarga yang terbilang sederhana. Namun, suatu saat Tuhan berkendak lain. Aku mengalami suatu peristiwa buruk disaat aku masih TK, yaitu tersengat listrik dan mengakibatkan salah satu bagian jariku putus kemudian melengkung. Aku tak tahu harus menyalahkan siapa dalam peristiwa ini. Tidak mungkin aku menyalahkan Tuhan yang menciptakan semua takdir ini.
Aku berusaha untuk menahan perih yang menyerang lubuk hatiku. Namun, itu terasa sulit bagiku. Teman-temanku banyak yang tidak tulus denganku. Mereka memilih teman yang dianggap sederajat dengannya. Aku merasa kekuranganku menjadi penyebab semua ini.
“Din, aku merasa teman-teman seperti menjaga jarak denganku. Apa ada yang salah denganku? Apakah mereka tak mau berteman dengan seseorang yang mempunyai kekurangan?” tanyaku dengan frustasi akan semua ini.
“Bersabarlah, Zy. Aku tahu kok perasaanmu. Kamu pasti tersiksa kan? Sudahlah, tak usah dipikirkan! Lagian kamu juga belum punya bukti kebenarannya. Belum tentu juga mereka mempunyai perilaku seperti itu,” ujar Dina teman sebangkuku yang paling dekat denganku di kelas.
“Oke… Aku akan berpikiran positif!” kataku sambil memotivasi diri sendiri.
Namun, suatu saat hal yang pernah terlintas di angan tentang teman-temanku terjadi. Mereka benar-benar menjaga jarak karena kekuranganku. Aku mengetahuinya dari percakapan dua orang temanku yang tak sengaja kudengar.
“Tin, kamu benar-benar tak menyukai Zy?” tanya Gina serius.
“Sebenarnya, aku biasa aja. Namun, aku tak menyukai gayanya yang sok banget. Padahal dia itu keturunan dari keluarga biasa. Selain itu, dia juga cacat. Gitu kok kelakuaannya sepeti anak orang kaya. Jika memang ia benar-benar pingin gabung bersama kelompok kita. Dia harus sederajat dengan kita!” ujar Tina panjang lebar.
Perkataanya itu membuat hatiku teriris. Pilu yang kurasakan. Serasa bagaikan ada petir yang menyambar hatiku. Perih sekali. Tanpa sadar, secara perlahan air mataku menetes tanpa bisa dicegah. Aku sudah tak bisa menahan luapan emosi di hatiku ini.
“Ya Allah, mengapa ini semua hanya terjadi padaku? Apakah sesorang sepertiku ini mampu menahan semua beban gejolak di hatiku? Aku sangat percaya pada-Mu. Kamu tak mungkin memberi cobaan yang tak bisa dilalui oleh hambamu. Namun, mengapa aku merasa ini semua sangat berat. Aku serasa tak mampu lagi,” batinku pilu sambil meratapi nasibku kepada Allah.
Ketika perjalanan pulang ke rumah. Aku menemukan seorang bapak berumuran sekitar 35 tahun yang ternyata lebih cacat dariku. Beliau seorang penjual minuman di sebuah kedai pinggir jalan. Tak sengaja aku mengetahuinya ketika membeli dagangannya. Cacat yang dia miliki hampir sama denganku. Namun, hampir setiap jarinya melengkung baik itu kanan maupun kiri. Miris sekali aku melihatnya. Aku merasa kasihan dan minder terhadap bapak penjual itu. Secara tak langsung, bapak itu mengajarkan kepadaku jika hidup itu harus dijalani dengan tegar. Tak boleh ada patah semangat. Mulai detik ini, aku menyadari jika di kehidapan ini semua adalah teman. Biarpun seseorang menganggap kita musuh. Namun, kita tak boleh putus asa. Karena di dunia ini pasti masih ada seseorang yang benar-benar peduli dengan kita.
alur: maju
sudut pandang: ke dua
latar: siang hari, di sekolah dan perjalanan pulang ke rumah
amanat: sesusah apapun kita, masih ada orang yang lebih susah dari pada kita. kita harus mensyukuri bahwa kita masih dapat merasakan nikmatnya kehidupan.
latar tempat : di.sekolah, pinggir jalan
waktu: siang
amanat ; jika kita ingin berkawan jangn lah dilihat dari penampilan nya ataupun derajatnya. tapi lihatlah ketulusan hatinya