abidmuhammad435 Ketikan Hidup Langit Kembali menekan tuts keybord. Hari sudah larut malam. Tapi hati masih saja memikirkan keadaan di rumah. Entah Puri atau Dio. Bagimana keadaan mereka sekarang mebuat nya gusar hingga waktu terus berjalan dan setumpuk pekerjaan yang harus ia selesai kan pun tak kunjung usai. “Langit, aku pulang dulu ya. Hati-hati kamu di kantor sendirian.” Ucap Reina kekasih Langit, yang juga pegawai di kantor. Ini memang sebuah pekerjaan yang sudah biasa untuk Langit, bagaimanapun suasana di rumah ia harus segera menyelesaikan pekerjaan ini sebelum hari berganti dan rutinitas kantor di mulai. Pikirannya semakin tak menentu, entah apa yang terjadi dengan kedua adiknya di rumah. Sebagai seoarang kakak tertua bagi Dio, menjaga dan melindungi adalah utama dibandingkan yang lain. “Apa yah? Kamu mau pergi lagi sama pacar barumu itu? Siapa namanya? Aku lupa!” ucap Ibu, tak terdengar suara lemah Ayah dari balik pintu, justru suara vas yang dilempar Ibu ke dinding mengagetkan Puri dan Dio dari tidurnya. Jelas saja, keributan itu terjadi tengah malam. Puri dan Dio mana tau tentang apa yang diributkan Ibu dan Ayah. — “Mas Langit, Puri salah apa ya sama Ayah dan Ibu. Sampai-sampai mereka tak punya waktu untuk di rumah” suara Puri pelan, takut terdengar Ayah dan Ibu yang sedang berunding di ruang tamu. “Kamu gak salah apa-apa kok dek. Mereka saja yang seperti anak kecil, tidak pernah mau memahami satu sama lain, hingga harus mengorbankan kau, aku dan Dio. Mereka selalu menuruti ego masing-masing, bahkan, mungkin mereka sudah lupa kalau kita butuh kasih sayang mereka. Bukan hanya suara teriakan dan perabotan yang terbanting setiap harinya” batin Langit, tak mungkin dia mengatakan hal itu pada Puri, dia belum tahu tentang konflik rumah tangga seperti ini. “Puri gak salah kok, Ayah dan Ibu kan cari uang untuk kita. Jadi Puri bisa beli apapun nanti” jawab Langit menasehati adiknya.Kemudian suara di ruang tamu masih hening. Tiba-tiba Ayah yang tak pernah membalas omelan Ibu, kini berbicara. Ruang tamu menjadi riuh lagi, barang-barang di sekitar pecah, berantakan, dan banyak kata-kata yang tak pantas didengar. “Ibu pikir Ayah tidak tahu tentang hubungan Ibu dengan teman SMA mu itu? Siapa namanya? Aku juga lupa!” Ayah melempar kata-kata pedas itu. Tidak selang beberapa lama, meja kaca di ruang tamu itu hancur berantakan. Ibu melempar vas bunga tepat di meja kaca. Ayah memengang pundak Ibu, menatap matanya dan mendorongnya hingga jatuh. Langit melihat Puri dan Dio bersembunyi di balik selimut, pemandangan yang sudah tak asing pertengkaran seperti ini. Langit ingin sekali melerai mereka dan menyadarkan mereka, mereka masih punya Langit, Puri dan Dio. Bukti cinta, yang mungkin sudah terlupakan. Ayah dan Ibu saling beradu pendapat berteriak seolah-olah lawan bicaranya tak mendengar apa yang dibicarakan. Ibu gemas melihat Ayah yang hanya bisa mengulang-ngulang kalimat. “Ibu pergi saja dengan pacar baru mu itu, Anton. Pergi saja sana. Tak usah urus kami” Ibu melempar bantal-bantal yang ada di sofa, Ibu dan Ayah tak malu semua itu dilihat oleh anak-anaknya. Di tengah pertengkaran, Langit berjalan di tengah-tengah mereka. Ini cara Langit supaya mereka tak semakin panas. Untuk apa mereka bertengkar, tak malu dengan anak-anaknya yang belum mengerti apa mau mereka. “Hey Langit, apa maksudmu berjalan di sana? Apa tak ada jalan lain? Masuk kamu ke kamar.” Ibu meneriaki Langit. Langit justru duduk di sofa yang sudah dipenuhi dengan barang-barang yang dibuang Ibu. “Kau mau apa Langit” teriak Ayah dari sisi kanan. “Ayah dan Ibu mau tau aku mau apa?” Langit meledek, Ayah dan Ibu di buatnya bingung. Saling tatap satu sama lain, muka kesal Ibu sudah terlihat. Ayah mengepal, menahan marah. “Aku mau nonton. Pertandingan bola kesukaanku saja bisa kalah seru dengan pertandingan kalian. Ketika Ibu melempar vas bunga adalah hal yang jauh lebih seru dibandingkan ketika jagoan sepak bola ku mencoba memasukkan bola ke gawang. Ketika Ayah dan Ibu berteriak kesana kemari adalah hal yang paling menarik dibandingankan dengan suara reporter sepak bola yang tiada hentinya berbicara.” Langit tersenyum lirih, tetap duduk di sofa menatapi mereka. Langit lah yang lebih tau Ayah dan Ibu dia anak yang sudah lebih dulu lahir dibanding Puri dan Dio, jadi baginya pertengkaran seperti ini sudah makanan sehari-hari. Tapi siapa juga yang tahan bila terus menerus rumah diisi dengan pertengkaran belaka.
Ini memang sebuah pekerjaan yang sudah biasa untuk Langit, bagaimanapun suasana di rumah ia harus segera menyelesaikan pekerjaan ini sebelum hari berganti dan rutinitas kantor di mulai. Pikirannya semakin tak menentu, entah apa yang terjadi dengan kedua adiknya di rumah. Sebagai seoarang kakak tertua bagi Dio, menjaga dan melindungi adalah utama dibandingkan yang lain.
“Apa yah? Kamu mau pergi lagi sama pacar barumu itu? Siapa namanya? Aku lupa!” ucap Ibu, tak terdengar suara lemah Ayah dari balik pintu, justru suara vas yang dilempar Ibu ke dinding mengagetkan Puri dan Dio dari tidurnya.
Jelas saja, keributan itu terjadi tengah malam. Puri dan Dio mana tau tentang apa yang diributkan Ibu dan Ayah. — “Mas Langit, Puri salah apa ya sama Ayah dan Ibu. Sampai-sampai mereka tak punya waktu untuk di rumah” suara Puri pelan, takut terdengar Ayah dan Ibu yang sedang berunding di ruang tamu.
“Kamu gak salah apa-apa kok dek. Mereka saja yang seperti anak kecil, tidak pernah mau memahami satu sama lain, hingga harus mengorbankan kau, aku dan Dio. Mereka selalu menuruti ego masing-masing, bahkan, mungkin mereka sudah lupa kalau kita butuh kasih sayang mereka. Bukan hanya suara teriakan dan perabotan yang terbanting setiap harinya” batin Langit, tak mungkin dia mengatakan hal itu pada Puri, dia belum tahu tentang konflik rumah tangga seperti ini.
“Puri gak salah kok, Ayah dan Ibu kan cari uang untuk kita. Jadi Puri bisa beli apapun nanti” jawab Langit menasehati adiknya.Kemudian suara di ruang tamu masih hening. Tiba-tiba Ayah yang tak pernah membalas omelan Ibu, kini berbicara. Ruang tamu menjadi riuh lagi, barang-barang di sekitar pecah, berantakan, dan banyak kata-kata yang tak pantas didengar.
“Ibu pikir Ayah tidak tahu tentang hubungan Ibu dengan teman SMA mu itu? Siapa namanya? Aku juga lupa!” Ayah melempar kata-kata pedas itu.
Tidak selang beberapa lama, meja kaca di ruang tamu itu hancur berantakan. Ibu melempar vas bunga tepat di meja kaca. Ayah memengang pundak Ibu, menatap matanya dan mendorongnya hingga jatuh. Langit melihat Puri dan Dio bersembunyi di balik selimut, pemandangan yang sudah tak asing pertengkaran seperti ini. Langit ingin sekali melerai mereka dan menyadarkan mereka, mereka masih punya Langit, Puri dan Dio. Bukti cinta, yang mungkin sudah terlupakan. Ayah dan Ibu saling beradu pendapat berteriak seolah-olah lawan bicaranya tak mendengar apa yang dibicarakan. Ibu gemas melihat Ayah yang hanya bisa mengulang-ngulang kalimat.
“Ibu pergi saja dengan pacar baru mu itu, Anton. Pergi saja sana. Tak usah urus kami”
Ibu melempar bantal-bantal yang ada di sofa, Ibu dan Ayah tak malu semua itu dilihat oleh anak-anaknya. Di tengah pertengkaran, Langit berjalan di tengah-tengah mereka. Ini cara Langit supaya mereka tak semakin panas. Untuk apa mereka bertengkar, tak malu dengan anak-anaknya yang belum mengerti apa mau mereka. “Hey Langit, apa maksudmu berjalan di sana? Apa tak ada jalan lain? Masuk kamu ke kamar.” Ibu meneriaki Langit.
Langit justru duduk di sofa yang sudah dipenuhi dengan barang-barang yang dibuang Ibu.
“Kau mau apa Langit” teriak Ayah dari sisi kanan.
“Ayah dan Ibu mau tau aku mau apa?” Langit meledek, Ayah dan Ibu di buatnya bingung. Saling tatap satu sama lain, muka kesal Ibu sudah terlihat. Ayah mengepal, menahan marah.
“Aku mau nonton. Pertandingan bola kesukaanku saja bisa kalah seru dengan pertandingan kalian. Ketika Ibu melempar vas bunga adalah hal yang jauh lebih seru dibandingkan ketika jagoan sepak bola ku mencoba memasukkan bola ke gawang. Ketika Ayah dan Ibu berteriak kesana kemari adalah hal yang paling menarik dibandingankan dengan suara reporter sepak bola yang tiada hentinya berbicara.” Langit tersenyum lirih, tetap duduk di sofa menatapi mereka.
Langit lah yang lebih tau Ayah dan Ibu dia anak yang sudah lebih dulu lahir dibanding Puri dan Dio, jadi baginya pertengkaran seperti ini sudah makanan sehari-hari. Tapi siapa juga yang tahan bila terus menerus rumah diisi dengan pertengkaran belaka.