Tolong buatkan cerpen. Bebas cerpen tentang apa saja ..
vithoforgiti
Pada suatu hari ada seorang anak yang pergi bermain bersama adik nya yang bernama risa dan adik nya bernama rio mereka hidup akur dan saling menyayangi pada hari minggu mereka di ajak orang tuanya untuk pergi berlibur dan mereka sangat senang mendengar nya karena mereka akan pergi liburan
0 votes Thanks 0
budagotama18
Aku mengibaskan ujung blazer. Beruntung hujan belum begitu lebat saat aku memutuskan untuk memutar balik langkahku kemari. Hampir seminggu ini rintik hujan terus mengguyur Kota Pelajar tatkala matahari nyaris tenggelam di ufuk barat. Mataku masih terpaku dengan hujan yang kini semakin lebat.“Bagaimana aku bisa mengajaknya keluar kalau seperti ini?” lirihku.Di antara guyuran hujan, mataku sepeti tertarik untuk melekatkan pandangan pada sepasang bocah di bawah payung. Mulut mereka terbuka lebar. Mungkin mereka tertawa. Di bawah payung hitam itu, mereka sama-sama memegang gagang payung. Langkah tak terburu mereka menampakkan bahwa mereka menikmati hujan meski guntur menggelegar.Aku menyeka embun yang nyaris jatuh ke pipiku. Sepasang bocah itu berhasil menguarkan seluruh memoriku yang hampir dua bulan ini tak muncul. Bocah laki-laki itu memandangku. Tatapan mata itu… Tiba-tiba, kepalaku bergerak seratus delapan puluh derajat. Mataku mendapati beberapa orang dengan pakaian putih silih berganti. Aku menganggukkan kepala, memantapkan niatku.“Aku sudah bersusah payah agar orangtuaku membiarkanku tidak berangkat les untuk kemari. Aku harus masuk dan menemuinya.”Selangkah.. Dua langkah.. Tiga langkah…Aku merasa tak nyaman. Setiap langkah yang kulakukan terdengar sampai ujung koridor. Padahal aku sudah sangat pelan untuk menjatuhkan kakiku ke lantai. Belum lagi tatapan kosong beberapa orang di sekelilingku. Tak terkecuali orang-orang berseragam putih itu.“Ah.. beginikah rumah sakit?” tanyaku nyaris tak terdengar oleh siapapun. Ini kali pertamanya aku memasuki bangunan serba putih dengan puluhan wajah pucat dan tatapan kosong. Aroma khas seperti yang teman-temanku ceritakan saat aku menanyai mereka tentang rumah sakit, kucium sekarang. Ternyata benar, dari pertama aku menginjakkan kaki dan sampai aku berhenti di depan kamar yang suster itu katakan bahwa dia ada disitu, aroma itu masih tercium. Sama. Tidak kurang, tidak lebih. Entah bagaimana di dalam nanti.Aku menarik napas dalam-dalam. Tangan kananku meraba dada kiriku dimana ada sesuatu yang berdetak keras. Bayangan aneh yang berkelebat di benakku membuatku enggan mengetuk pintu dan masuk ke ruangan ini.Tok.. tok..Mataku membulat mendapati tanganku mengetuk pintu itu. Perlahan, kubuka pintu itu. Aku merasa detak jantungku semakin cepat berdetak tatkala mataku menangkap seseorang yang duduk di atas kursi roda. Aku tak salah lagi. Meski hanya punggungnya yang mampu kulihat, aku yakin itu pasti Edo.Edo. Iya, Edo. Alasan utamaku untuk membolos les. Alasan utamaku untuk merengek pada orangtuaku untuk masuk ke bangunan yang selalu mereka larang untukku masuk. Alasan utamaku saat kusia-siakan waktu makan siangku dengan tanya kesana-kesini tentang rumah sakit. Alasan utamaku memantapkan niat memasuki ruangnya.Air mataku jatuh. Tak bisa kubendung lagi rasa rindu yang nyaris membunuhku selama dua bulan ini. Kalau sebelumnya kutahu Edo akan mengalami hal itu, aku akan segera membatalkan keberangkatanku ke Australia. Rasa bersalah tiba-tiba menyergapku. Kenapa saat itu aku tak mencari kabar tentang Edo? Kenapa aku tak merasa sesuatu mengganjal seperti yang Edo rasakan saat aku sakit? Kenapa setelah kutahu kabarnya aku tak segera mengambil tindakan? Kenapa waktu itu aku hanya diam dan memandangi bangun putih ini yang terlihat dari puncak atas sekolahku. Kenapa aku bisa seperti itu? Ada apa dengaku? Dimana rasa kesensitifanku? Apakah benar aku ini sahabatnya?“Ehm.”Aku menyeka air mataku saat mendengar dehem Edo yang khas. Belum sempat aku melangkahkan kakiku, Edo membuatku tersentak.“Hey, kenapa malah menangis disitu? Kau rindu ya padaku?”“Bagaimana…?”“Siapa yang tidak mendengar isakan kerasmu itu? Lagipula siapa lagi kalau bukan kau, Tiffa Melaina Setyanas, yang selalu menggunakan parfum menyengat seperti ini?” Edo memotong kalimatku lalu terkekeh.Rasa bersalahku semakin membesar mendapati tawa renyahnya. Edo seperti tanpa beban disini. Padahal disini sangat mengerikan. Begitu berbeda dengan lingkungan rumahnya. Edo memang selalu sendiri di rumahnya, tapi keadaan rumahnya tidak sehoror ini. Bagaimana mungkin ia bisa tertawa seakan-akan tidak terjadi apa-apa padanya?Aku mendekatkan langkahku pada Edo. Entah siapa yang telah membuatnya duduk menghadap jendela yang terbuka lebar. Sungguh! Aku tak bisa membayangkan bagaimana kejadian itu menimpa Edo. Apakah truk itu…? Apakah Edo…? Cukup! Semuanya membuatku ngeri.
pada hari minggu mereka di ajak orang tuanya untuk pergi berlibur dan mereka sangat senang mendengar nya karena mereka akan pergi liburan