Belum lama ini, tetangga kecil saya membuat semua orang di sekitarnya menangis. Namanya, Rahmah. Dia baru saja meniup lilin ulang tahun ketiganya, lalu tiba-tiba ibunya terpelanting, pingsan.
Ibunya masuk UGD, akibat pecah pembuluh darah dan komplikasi penyakit. Dokter sarankan segera operasi sesar untuk menyelamatkan satu dari dua orang yang tengah bersenyawa itu. Adik Rahmah yang baru delapan bulan dalam kandungan adalah prioritas dengan segala pertimbangan medis.
Ayah Rahmah menangis. Tapi Rahmah, tidak. Dia tegar, begitu kata orang. Lebih tepatnya, dia polos dan tak tahu apa yang tengah terjadi. Bahkan, meski hampir seluruh wajah ayahnya dilumuri air mata, Rahmah tetap terlihat tenang dan dingin. Dia hanya bertanya, "Ayah, Ibu mana?" Kata ayahnya, "Ibu dan ade lagi sama dokter." Anehnya, Rahma tersenyum, lalu mengulang kata yang sama penuh ceria, "Ade...ade...ade...," sejak pagi.
Sore harinya, Rahmah kedatangan banyak tamu. Hampir semua tetangga dan teman-teman ibunya melawat. Sebelum tali pocong ibunya diikat, seorang ibu menghampiri Rahmah, "Ayo, cium ibu dulu. Sini, cium ibu dulu. Ibu mau ke Surga." Rahmah yang polos, pun merunduk dan menciumi dahi ibunya. Tiba-tiba, ia terisak-isak menyebut,"Ibu...ibu...ibu...." Air matanya tumpah bersama tangis semua pelawat yang pecah ke langit-langit rumah. Rahmah seolah baru mengerti; ibunya pergi.
Kini, komplek rumah kami sepi. Gadis kecil yang cantik, aktif, dan lugu itu, sudah tiga hari di kampung neneknya mengikuti prosesi pemakaman sang ibu di sana. Selang empat hari, ada kabar Rahmah kembali.
Para tetangga sudah ramai, menunggu dia datang. Saat mobil Ayahnya diparkir depan rumah, kami melihat Rahmah berlari menuju pintu. "Ayah buka, Ayah buka..." pintanya sambil dia mendorong-dorong pintu dengan raut wajah sangat cerah. Tentu, kami pun turut senang.
Ceklek...pintu rumah terbuka dan Rahmah langsung berlari ke dapur... "Ibu...ibu...ibu..." teriaknya sembari menengok kanan-kiri. Karena tak ada jawaban, dia berlari ke kamar mandi, "Ibu...ibu...ibu..." tapi sepi juga. Lalu dia berlari menuju kamar, berhenti di depan pintu, kemudian terisak-isak sambil menyebut, "Ibu...ibu...ibu..." dan kami pun menangis lagi, lebih sedih dari sebelumnya.
Ibu adalah sosok manusia yang sangat kuat, bahkan kadang melebihi kuatnya ayah. Itu yang aku rasakan pada ibuku. Beban seberat apapun mampu ia pikul sendiri, apalagi semenjak kepergian ayah beberapa tahun lalu. Satu orang di pundak saja sudah berat, apalagi ibu menanggung beban 3 anak sekaligus.
Aku dan kedua adikku melihat dengan mata sendiri betapa tanggung malaikat itu. “Sini aku bantu bu…” ucap adikku suatu hari melihat ibu sedang menggendong satu keranjang penuh pakaian untuk dijemur. Ia hanya tersenyum melihat adikku yang membantunya.
Ibu sama sekali tidak pernah mengeluh padahal kami tahu ibu sangat letih, pusing, bingung dan mungkin juga takut membesarkan anak-anaknya sendiri. Sama sekali tak pernah terlihat ia lemah, kecuali melalui tatap matanya yang bening.
“Nak, kamu sudah mulai besar, bantu ibu cari uang ya, kasihan adik-adik kamu masih sekolah”, ucapnya suatu malam.
“Iya bu… aku pasti akan membantu ibu…” ucapku menahan pilu
Meski butuh bantuan, aku tahu bahwa Ibu sebenarnya tidak ingin meminta bantuan dariku. Jauh di matanya terlihat jelas bahwa ia hanya ingin mengajariku untuk mandiri, untuk membekali aku dengan keterampilan.
Sebagai malaikat, ibu selalu bisa menjadi pelindung dan memberikan solusi atas semua masalah yang kami harapi. Menjadi tempat mengadu, menjadi tempat melampiaskan sumpah serapah, ibu adalah segala-galanya bagi kami.
“Kak, kasihan ibu, sekarang ibu sudah tak sekuat dulu…”
“Iya benar… makanya kamu yang rajin belajar, sudah tidak perlu terlalu banyak main”
Belum lama ini, tetangga kecil saya membuat semua orang di sekitarnya menangis. Namanya, Rahmah. Dia baru saja meniup lilin ulang tahun ketiganya, lalu tiba-tiba ibunya terpelanting, pingsan.
Ibunya masuk UGD, akibat pecah pembuluh darah dan komplikasi penyakit. Dokter sarankan segera operasi sesar untuk menyelamatkan satu dari dua orang yang tengah bersenyawa itu. Adik Rahmah yang baru delapan bulan dalam kandungan adalah prioritas dengan segala pertimbangan medis.
Ayah Rahmah menangis. Tapi Rahmah, tidak. Dia tegar, begitu kata orang. Lebih tepatnya, dia polos dan tak tahu apa yang tengah terjadi. Bahkan, meski hampir seluruh wajah ayahnya dilumuri air mata, Rahmah tetap terlihat tenang dan dingin. Dia hanya bertanya, "Ayah, Ibu mana?" Kata ayahnya, "Ibu dan ade lagi sama dokter." Anehnya, Rahma tersenyum, lalu mengulang kata yang sama penuh ceria, "Ade...ade...ade...," sejak pagi.
Sore harinya, Rahmah kedatangan banyak tamu. Hampir semua tetangga dan teman-teman ibunya melawat. Sebelum tali pocong ibunya diikat, seorang ibu menghampiri Rahmah, "Ayo, cium ibu dulu. Sini, cium ibu dulu. Ibu mau ke Surga." Rahmah yang polos, pun merunduk dan menciumi dahi ibunya. Tiba-tiba, ia terisak-isak menyebut,"Ibu...ibu...ibu...." Air matanya tumpah bersama tangis semua pelawat yang pecah ke langit-langit rumah. Rahmah seolah baru mengerti; ibunya pergi.
Kini, komplek rumah kami sepi. Gadis kecil yang cantik, aktif, dan lugu itu, sudah tiga hari di kampung neneknya mengikuti prosesi pemakaman sang ibu di sana. Selang empat hari, ada kabar Rahmah kembali.
Para tetangga sudah ramai, menunggu dia datang. Saat mobil Ayahnya diparkir depan rumah, kami melihat Rahmah berlari menuju pintu. "Ayah buka, Ayah buka..." pintanya sambil dia mendorong-dorong pintu dengan raut wajah sangat cerah. Tentu, kami pun turut senang.
Ceklek...pintu rumah terbuka dan Rahmah langsung berlari ke dapur... "Ibu...ibu...ibu..." teriaknya sembari menengok kanan-kiri. Karena tak ada jawaban, dia berlari ke kamar mandi, "Ibu...ibu...ibu..." tapi sepi juga. Lalu dia berlari menuju kamar, berhenti di depan pintu, kemudian terisak-isak sambil menyebut, "Ibu...ibu...ibu..." dan kami pun menangis lagi, lebih sedih dari sebelumnya.
Penjelasan:
maksudnya cerpen?
Jawaban:
Malaikatku yang Renta
Cerpen Singkat tentang Ibu
Ibu adalah sosok manusia yang sangat kuat, bahkan kadang melebihi kuatnya ayah. Itu yang aku rasakan pada ibuku. Beban seberat apapun mampu ia pikul sendiri, apalagi semenjak kepergian ayah beberapa tahun lalu. Satu orang di pundak saja sudah berat, apalagi ibu menanggung beban 3 anak sekaligus.
Aku dan kedua adikku melihat dengan mata sendiri betapa tanggung malaikat itu. “Sini aku bantu bu…” ucap adikku suatu hari melihat ibu sedang menggendong satu keranjang penuh pakaian untuk dijemur. Ia hanya tersenyum melihat adikku yang membantunya.
Ibu sama sekali tidak pernah mengeluh padahal kami tahu ibu sangat letih, pusing, bingung dan mungkin juga takut membesarkan anak-anaknya sendiri. Sama sekali tak pernah terlihat ia lemah, kecuali melalui tatap matanya yang bening.
“Nak, kamu sudah mulai besar, bantu ibu cari uang ya, kasihan adik-adik kamu masih sekolah”, ucapnya suatu malam.
“Iya bu… aku pasti akan membantu ibu…” ucapku menahan pilu
Meski butuh bantuan, aku tahu bahwa Ibu sebenarnya tidak ingin meminta bantuan dariku. Jauh di matanya terlihat jelas bahwa ia hanya ingin mengajariku untuk mandiri, untuk membekali aku dengan keterampilan.
Sebagai malaikat, ibu selalu bisa menjadi pelindung dan memberikan solusi atas semua masalah yang kami harapi. Menjadi tempat mengadu, menjadi tempat melampiaskan sumpah serapah, ibu adalah segala-galanya bagi kami.
“Kak, kasihan ibu, sekarang ibu sudah tak sekuat dulu…”
“Iya benar… makanya kamu yang rajin belajar, sudah tidak perlu terlalu banyak main”
Penjelasan:
Cerpen Tentang Ibu