Dulu, saat aku masih kecil, seorang anak perempuan memberitahuku bahwa di bawah sumurnya terdapat istana. Dia memberitahuku dengan wajah yang berseri-seri, senyum yang sangat cerah, di bawah kelabunya langit siang hari tersebut.
“Aku mau ke sana! Kamu mau ikut?” tanyanya padaku.
Tentu saja mau, jawabku. Anak mana yang tidak mau diajak pergi ke istana? Namun, bahkan di usiaku yang belia, aku telah memikirkan banyak hal. Aku banyak bercuriga, banyak tidak percaya. Maka, aku pun bertanya padanya, dari mana dia tahu kalau di bawah sumurnya terdapat istana?
“Ibuku bilang begitu! Katanya, di situlah ayahku berada!” jawabnya, masih sangat bersemangat.
Aku agak bingung. Bukankah ayahnya ada di rumah, dan baru saja kami bertemu dengannya, melihatnya sedang tidur-tiduran di dipan sementara ibunya bekerja di pasar? Membanting tulang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka?
“Dia bukan ayahku! Ibu memang menikahinya, tapi dia bukan ayahku!” jawabnya keras-keras, mendadak tampak kesal. Dia cemberut, menyilangkan kedua tangannya di dadanya.
Oke, kalau begitu, Ayah yang mana yang dia maksud? Dia menjawab, tentu saja ayah kandungnya yang dia maksud, yang sekarang berada di bawah. Aku pastilah tampak sangat bingung – maklum, namanya juga anak-anak, belum begitu mengerti istilah ayah kandung dan tiri – sehingga dia mulai bercerita.
Dulu sekali, saat dia bahkan masih belum dilahirkan, sebelum dia membuka matanya untuk menatap dunia, saat aku mungkin belum dilahirkan, atau setidaknya belum pindah ke desa tersebut bersama keluargaku, bahkan sebelum ayahku didinaskan di kantor kepala desa, ayahnya adalah seorang tukang gali sumur. Ayah dan ibunya bertemu, jatuh cinta, dan menikah.
Satu hari, saat ibunya tengah mengandung dirinya, ayahnya, setelah menyadari bahwa sumur di rumahnya sudah mulai mengering, memutuskan untuk menggali lagi sumur tersebut. Dalam, lebih dalam. Begitu dalam ayahnya menggali sumur, hingga mendadak, tak ada lagi tanah yang bisa digali, dan ayahnya jatuh ke hamparan rumput lembut di lembah nan luas, dengan danau yang cemerlang, dan istana raksasa yang berdiri di atasnya.
Ayahnya, penasaran, dan memerlukan bantuan untuk kembali ke lubang di atas, agar bisa kembali ke rumahnya, berjalan ke istana tersebut. Namun, pemilik istana tersebut bukanlah orang baik yang mau menolong sebagaimana yang ayahnya kira. Pemilik istana tersebut, penguasa seluruh lembah itu, adalah seorang ratu yang begitu jahat, kejam, licik, dan cantik jelita. Ratu jarang mendapatkan kunjungan dari atas sumur, dari dunia di luar lembah dan istananya. Oleh karena itu, Sang Ratu menggoda ayahnya, merayunya, sedemikian rupa hingga ayahnya memutuskan untuk tidak kembali ke atas melalui lubang tersebut.
Dulu, saat aku masih kecil, seorang anak perempuan memberitahuku bahwa di bawah sumurnya terdapat istana. Dia memberitahuku dengan wajah yang berseri-seri, senyum yang sangat cerah, di bawah kelabunya langit siang hari tersebut.
“Aku mau ke sana! Kamu mau ikut?” tanyanya padaku.
Tentu saja mau, jawabku. Anak mana yang tidak mau diajak pergi ke istana? Namun, bahkan di usiaku yang belia, aku telah memikirkan banyak hal. Aku banyak bercuriga, banyak tidak percaya. Maka, aku pun bertanya padanya, dari mana dia tahu kalau di bawah sumurnya terdapat istana?
“Ibuku bilang begitu! Katanya, di situlah ayahku berada!” jawabnya, masih sangat bersemangat.
Aku agak bingung. Bukankah ayahnya ada di rumah, dan baru saja kami bertemu dengannya, melihatnya sedang tidur-tiduran di dipan sementara ibunya bekerja di pasar? Membanting tulang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka?
“Dia bukan ayahku! Ibu memang menikahinya, tapi dia bukan ayahku!” jawabnya keras-keras, mendadak tampak kesal. Dia cemberut, menyilangkan kedua tangannya di dadanya.
Oke, kalau begitu, Ayah yang mana yang dia maksud? Dia menjawab, tentu saja ayah kandungnya yang dia maksud, yang sekarang berada di bawah. Aku pastilah tampak sangat bingung – maklum, namanya juga anak-anak, belum begitu mengerti istilah ayah kandung dan tiri – sehingga dia mulai bercerita.
Dulu sekali, saat dia bahkan masih belum dilahirkan, sebelum dia membuka matanya untuk menatap dunia, saat aku mungkin belum dilahirkan, atau setidaknya belum pindah ke desa tersebut bersama keluargaku, bahkan sebelum ayahku didinaskan di kantor kepala desa, ayahnya adalah seorang tukang gali sumur. Ayah dan ibunya bertemu, jatuh cinta, dan menikah.
Satu hari, saat ibunya tengah mengandung dirinya, ayahnya, setelah menyadari bahwa sumur di rumahnya sudah mulai mengering, memutuskan untuk menggali lagi sumur tersebut. Dalam, lebih dalam. Begitu dalam ayahnya menggali sumur, hingga mendadak, tak ada lagi tanah yang bisa digali, dan ayahnya jatuh ke hamparan rumput lembut di lembah nan luas, dengan danau yang cemerlang, dan istana raksasa yang berdiri di atasnya.
Ayahnya, penasaran, dan memerlukan bantuan untuk kembali ke lubang di atas, agar bisa kembali ke rumahnya, berjalan ke istana tersebut. Namun, pemilik istana tersebut bukanlah orang baik yang mau menolong sebagaimana yang ayahnya kira.
Pemilik istana tersebut, penguasa seluruh lembah itu, adalah seorang ratu yang begitu jahat, kejam, licik, dan cantik jelita. Ratu jarang mendapatkan kunjungan dari atas sumur, dari dunia di luar lembah dan istananya. Oleh karena itu, Sang Ratu menggoda ayahnya, merayunya, sedemikian rupa hingga ayahnya memutuskan untuk tidak kembali ke atas melalui lubang tersebut.