zezenzaenallud
Seusai pulang sekolah, Dion selalu membiasakan diri untuk tidur siang beberapa jam, untuk kemudian, ia baru bisa bermain sebentar dengan teman-teman di sekitar rumahnya. Ada taman berukuran cukup besar disana, jika sore hari tiba, banyak anak-anak seumurannya yang bermain-main dengan riang gembira. Ada yang gemar bermain lompat tali dan juga sepeda. Belakangan ini banyak anak-anak yang sedang menggemari bermain sepeda. Ada yang sudah mahir mengendarai sepeda hanya dengan dua roda, ada juga yang beroda tiga, atau bahkan beroda empat. Sepeda yang mereka gunakan juga berwarna-warni, sesuai dengan kegemaran mereka masing-masing. Lalu Dion belakangan menjadi agak murung, karena dari sekian anak yang memiliki sepeda, hanya ia yang tidak memiliki kendaraan tersebut. “Dion, kamu mau boncengan denganku? Yuk, kita berputar-putar dengan sepedaku!” ajak Rafa memberikan tumpangan. Rafa adalah sahabat Dion, baik di rumah maupun di sekolah. “Terima kasih Rafa, sepertinya aku lebih baik membantu Ibu menjaga toko saja.” Tolak Dion dengan sopan. “Baiklah kalau gitu, besok kita ke sekolah dengan sepedaku saja, besok aku jemput kamu dirumah dan kita berangkat sama-sama saja ya,” ucap Dion kembali. “Oke, Rafa, aku tunggu besok, ya.” Kata Dion mengiyakan dan segera kembali ke rumah untuk membantu Ibu. Rafa berasal dari keluarga berada, sedangkan Dion dari keluarga sederhana. Ayah Dion bekerja sebagai karyawan swasta di perusahaan Jakarta, sedangkan Ibu disamping sebagai Ibu rumah tangga juga bekerja menjaga toko sembako sederhana di depan rumah. Dalam keseharian, Dion sering membantu Ibu menjaga toko, karena di samping itu, Ibu juga harus memasak dan merapihkan rumah. Saat di kamar, Dion memperhatikan celengan ayam nya yang terbuat dari tanah liat. Dion mengangkatnya dan memastikan bahwa isi dalam celengan tersebut sudah cukup penuh. ‘kraakkk! Kraakk!’ bunyi dalam isi celengan agak riuh terdengar. Ibu yang kelar memasak, memastikan asal suara nyaring itu. “Suara apa itu, Dion?” tanya Ibu penasaran sembari membuka pintu kamar Dion. Dion yang terkejut dengan kedatangan Ibu, segera menoleh dengan kikuk. “Oh, Ibu! Aku sedang mengecek isi celenganku saja, Bu.” Jawab Dion jujur. “Bagaimana, apa celenganmu sudah penuh?” tanya Ibu yang juga penasaran. “Sepertinya sudah cukup penuh, Bu, lumayan berat juga,” jawab Dion sembari tersenyum senang. “Belakangan ini kamu makin sering menabung ya, nak? Bagus, kamu makin pintar menyisihkan uang jajan mu.” Puji Ibu dengan bangga. “Ah, tidak juga, Bu. Seharusnya aku makin sering menabung ya supaya isi celenganku makin banyak.” Ucap Dion agak murung. “Memangnya apa yang mau kamu beli, nak?” tanya Ibu penasaran. Dion terdiam sejenak, ia merasa sungkan untuk mengatakan yang sebenarnya kepada Ibu, karena takut akan menjadi beban pikiran untuk Ibu dan Ayah. “Enggak ada kok, Bu.” Ucap Dion berbohong. Ibu kemudian menepuk kepala Dion dengan lembut dan kasih sayang, “Katakan saja yang sebenarnya, kamu mau punya sepeda baru kan, nak?” Dion tidak menyangka bahwa Ibu akan bisa menebak isi hatinya. “Kok Ibu bisa tahu?” “Ibu selalu tahu apa yang diinginkan oleh anak-anaknya. Kamu anak yang baik dan pintar, bagaimana kalau hari minggu kita ke pasar untuk membeli sepeda baru?” ajak Ibu menawarkan kabar bahagia bagi Dion. Dion yang terkejut dengan ajakan Ibu sangat antusias sekali mendengarnya, “Benarkah, Bu? Tapi kan uang dari cele ngan ayamku pasti belum seberapa, pasti masih enggak cukup untuk bisa membeli sepeda baru.” “Jangan pikirkan itu, Ayah dan Ibu juga diam-diam sudah menyisihkan uang untuk sepedamu. Yang penting kan kamu sudah berusaha untuk menabung dengan giat, itu adalah hal yang baik, dan harus di pertahankan ya, nak. Dari tabungan yang sedikit- sedikit kan lama-lama akan menjadi bukit, bukan?” Dion tersenyum bangga dengan Ibu. Ia peluk Ibu dengan erat, dengan perasaan bahagia, sembari berkata, “Terima kasih Ibu. Terima kasih Ayah!”
membiasakan diri untuk tidur siang
beberapa jam, untuk kemudian, ia
baru bisa bermain sebentar dengan
teman-teman di sekitar rumahnya.
Ada taman berukuran cukup besar
disana, jika sore hari tiba, banyak
anak-anak seumurannya yang
bermain-main dengan riang
gembira. Ada yang gemar bermain
lompat tali dan juga sepeda.
Belakangan ini banyak anak-anak
yang sedang menggemari bermain
sepeda. Ada yang sudah mahir
mengendarai sepeda hanya dengan
dua roda, ada juga yang beroda tiga,
atau bahkan beroda empat. Sepeda
yang mereka gunakan juga
berwarna-warni, sesuai dengan
kegemaran mereka masing-masing.
Lalu Dion belakangan menjadi agak
murung, karena dari sekian anak
yang memiliki sepeda, hanya ia yang
tidak memiliki kendaraan tersebut.
“Dion, kamu mau boncengan
denganku? Yuk, kita berputar-putar
dengan sepedaku!” ajak Rafa
memberikan tumpangan. Rafa adalah
sahabat Dion, baik di rumah maupun
di sekolah.
“Terima kasih Rafa, sepertinya aku
lebih baik membantu Ibu menjaga
toko saja.” Tolak Dion dengan
sopan.
“Baiklah kalau gitu, besok kita ke
sekolah dengan sepedaku saja,
besok aku jemput kamu dirumah dan
kita berangkat sama-sama saja ya,”
ucap Dion kembali.
“Oke, Rafa, aku tunggu besok, ya.”
Kata Dion mengiyakan dan segera
kembali ke rumah untuk membantu
Ibu.
Rafa berasal dari keluarga berada,
sedangkan Dion dari keluarga
sederhana. Ayah Dion bekerja
sebagai karyawan swasta di
perusahaan Jakarta, sedangkan Ibu
disamping sebagai Ibu rumah tangga
juga bekerja menjaga toko sembako
sederhana di depan rumah. Dalam
keseharian, Dion sering membantu
Ibu menjaga toko, karena di samping
itu, Ibu juga harus memasak dan
merapihkan rumah.
Saat di kamar, Dion memperhatikan
celengan ayam nya yang terbuat dari
tanah liat. Dion mengangkatnya dan
memastikan bahwa isi dalam
celengan tersebut sudah cukup
penuh.
‘kraakkk! Kraakk!’ bunyi dalam isi
celengan agak riuh terdengar. Ibu
yang kelar memasak, memastikan
asal suara nyaring itu.
“Suara apa itu, Dion?” tanya Ibu
penasaran sembari membuka pintu
kamar Dion.
Dion yang terkejut dengan
kedatangan Ibu, segera menoleh
dengan kikuk. “Oh, Ibu! Aku sedang
mengecek isi celenganku saja, Bu.”
Jawab Dion jujur.
“Bagaimana, apa celenganmu sudah
penuh?” tanya Ibu yang juga
penasaran.
“Sepertinya sudah cukup penuh, Bu,
lumayan berat juga,” jawab Dion
sembari tersenyum senang.
“Belakangan ini kamu makin sering
menabung ya, nak? Bagus, kamu
makin pintar menyisihkan uang jajan
mu.” Puji Ibu dengan bangga.
“Ah, tidak juga, Bu. Seharusnya aku
makin sering menabung ya supaya
isi celenganku makin banyak.” Ucap
Dion agak murung.
“Memangnya apa yang mau kamu
beli, nak?” tanya Ibu penasaran.
Dion terdiam sejenak, ia merasa
sungkan untuk mengatakan yang
sebenarnya kepada Ibu, karena takut
akan menjadi beban pikiran untuk
Ibu dan Ayah.
“Enggak ada kok, Bu.” Ucap Dion
berbohong.
Ibu kemudian menepuk kepala Dion
dengan lembut dan kasih sayang,
“Katakan saja yang sebenarnya,
kamu mau punya sepeda baru kan,
nak?”
Dion tidak menyangka bahwa Ibu
akan bisa menebak isi hatinya. “Kok
Ibu bisa tahu?”
“Ibu selalu tahu apa yang diinginkan
oleh anak-anaknya. Kamu anak yang
baik dan pintar, bagaimana kalau
hari minggu kita ke pasar untuk
membeli sepeda baru?” ajak Ibu
menawarkan kabar bahagia bagi
Dion.
Dion yang terkejut dengan ajakan Ibu
sangat antusias sekali
mendengarnya, “Benarkah, Bu? Tapi
kan uang dari cele
ngan ayamku pasti belum seberapa,
pasti masih enggak cukup untuk bisa
membeli sepeda baru.”
“Jangan pikirkan itu, Ayah dan Ibu
juga diam-diam sudah menyisihkan
uang untuk sepedamu. Yang penting
kan kamu sudah berusaha untuk
menabung dengan giat, itu adalah hal
yang baik, dan harus di pertahankan
ya, nak. Dari tabungan yang sedikit-
sedikit kan lama-lama akan menjadi
bukit, bukan?”
Dion tersenyum bangga dengan Ibu.
Ia peluk Ibu dengan erat, dengan
perasaan bahagia, sembari berkata,
“Terima kasih Ibu. Terima kasih
Ayah!”