Kerajaan Gowa-Tallo adalah kerajaan yang dikenal dengan wilayah terluas sehingga Kerajaan Gowa-Tallo sering disebut sebagai kerajaan terbesar di Indonesia Timur. Wilayah Kerajaan Gowa-Sulawesi Selatan, Pulau Selayar, Pulau Muna, Pulau Buton, hingga Sumbawa di Nusa Tenggara Barat. Untuk meluaskan wilayah kerajaan, mereka harus menundukkan dan mengusir raja-raja yang sebelumnya berkuasa ditempat itu. Salah satu raja yang pernah diusir adalah Raja Bone, yaitu Arung Palakka.
Kerajaan Gowa-Tallo beribukota di Makassar. Pada saat itu, Makassar adalah pusat perdagangan yang dikenal sangat ramai. Mengambil ramainya begitu banyak pedagang yang datang kemudian pergi dari Makassar, entah itu pedagang pribumi atau pedagang asing yang datang untuk berniaga. Penduduk makassar sangat terkenal sebagai pelaut-pelaut yang hebat dan tangguh. Karena sebagian besar penduduk Makassar memiliki mata pencaharian
sebagai pelaut. Mereka berlayar hingga ke berbagai wilayah di Indonesia. Ke Maluku mereka membeli rempah-rempah, kemudian di Sumatera mereka membeli lada dan kapur barus, mereka juga membeli hasil hutan di Kalimantan, bahkan mereka juga naik ke Jawa untuk membeli beras. Dari berbagai jenis yang mereka dapatkan kemudian dikumpulkan di Makassar.
Kedatangan VOC Belanda ke Indonesia awalnya hanya ingin berdagang. Namun rempah-rempah di Eropa sangat mahal dengan harga yang juga sangat mahal ditemukan di Indonesia, terutama di Maluku. Maka dari itu VOC Belanda ingin agar semua rempah-rempah dijual bebas hanya untuk pihak lain. Tentu saja sistem monopoli ini sangat merugikan warga Indonesia, khususnya warga Maluku, harga tambahan yang ditentukan oleh Belanda sangat rendah sesuai dengan kehendaknya. Dan Belanda akan senang jika ada yang menjual rempah-rempah untuk pihak lain, maka Belanda tidak akan melakukan tindakan kasar. Seperti kebun dan ladang tempat mereka menanam akan dirusak dan dibakar, selain itu pelakunya akan dikeluarkan mati atau dijadikan budak.
Orang Belanda melihat orang-orang Makassar bebas dan leluasa membeli rempah-rempah di Maluku. Hal inilah yang membuat Belanda marah karena Maluku sudah menjadi milik Belanda berarti semua hasil rempah-rempah di Maluku adalah miliknya. Belanda juga menghargai Makassar adalah "bandar gelap" yang memperdagangkan rempah-rempah dari Maluku. Maka dari itu Belanda mengirim utusannya menuju Makassar untuk menghadap Sultan Hasanuddin selaku penguasa Kerajaan Gowa-Tallo. Namun, Sultan Hasanuddin menolak monopoli perdagangan oleh Belanda. Bagi Sultan Hasanuddin, rempah-rempah adalah hasil bumi yang diciptakan oleh siapa saja. Bukannya untuk keperluan Belanda saja.
Belanda sangat geram mendengar jawaban Sultan Hasanuddin. Ini sudah menandakan ituAyam Jantan Dari Timur telah menunjukkan tajinya. Sultan Hasanuddin jelas-jelas menunjukkan perlawanannya terhadap VOC Belanda. Pada tahun 1660 terjadilah perang antara Kerajaan Gowa-Tallo dan Belanda. Namun demikian, perang berakhir. Meski demikian, ini sangat merugikan Kerajaan Gowa-Tallo. Pada tahun 1662, Armada Kerajaan Gowa-Tallo mengejar kapal VOC De Walvisch yang telah ketahuan memasuki penerbangan Makassar tanpa izin. Hingga akhirnya kapal De Walvisch terdampar di pantai. Kerajaan Gowa-Tallo menyita sebanyak 16 buah yang ditemukan di dalam kapal De Walvisch.
Perang kembali terjadi pada tahun 1664. Pada saat itu kapal VOC De Leeuwin tenggelam di Pulau Dayang-Dayang. Tidak hanya itu, seratus anak buah kapal tenggelam dan diletakkan sebanyak 162 orang ditawan di Kerajaan Gowa-Tallo. Setelah kejadian tersebut, VOC kemudian mengirim 14 orang pegawainya menuju tempat tenggelamnya kapal De Leeuwin untuk diselidiki tanpa sepengetahuan Sultan Hasanuddin. Hal ini membuat Sultan Hasanuddin sangat murka karena mendapat kehormatannya telah diinjak-injak. Atas perintah Sultan Hasanuddin ke-14 pegawai VOC yang ditangkap kemudian dijatuhi hukuman mati.
Pada tahun 1665 Kerajaan Gowa-Tallo hampir dirugikan lagi oleh persyaratan perundingan perdamaian. Gubernur Jenderal Joan Mattsuijker mengirim undangan bertemu Joan Van Wesenhagen untuk menghadap Sultan Hasanuddin dengan membawa pesan perundingan perdamaian. Tentu saja Sultan Hasanuddin menolak dengan syarat karena syarat perundingan yang ditentukan oleh VOC. Akibat penolakan Sultan Hasanuddin ini Belanda kemudian dikirim pasukan perangnya yang dipimpin oleh Laksamana Cornelis Spellman pada tahun 1666 untuk menyerang. Sebanyak 21 kapal perang diturunkan yang membawa 1.000 orang tentara, 600 dikirim adalah serdadu Belanda. Dibawah pimpinan Sultan Hasanuddin rakyat Gowa-Tallo mengahadapi serangan Belanda dengan gagah menantang. Peperangan terus berlanjut hingga berbulan-bulan lamanya.
Kerajaan Gowa-Tallo adalah kerajaan yang dikenal dengan wilayah terluas sehingga Kerajaan Gowa-Tallo sering disebut sebagai kerajaan terbesar di Indonesia Timur. Wilayah Kerajaan Gowa-Sulawesi Selatan, Pulau Selayar, Pulau Muna, Pulau Buton, hingga Sumbawa di Nusa Tenggara Barat. Untuk meluaskan wilayah kerajaan, mereka harus menundukkan dan mengusir raja-raja yang sebelumnya berkuasa ditempat itu. Salah satu raja yang pernah diusir adalah Raja Bone, yaitu Arung Palakka.
Kerajaan Gowa-Tallo beribukota di Makassar. Pada saat itu, Makassar adalah pusat perdagangan yang dikenal sangat ramai. Mengambil ramainya begitu banyak pedagang yang datang kemudian pergi dari Makassar, entah itu pedagang pribumi atau pedagang asing yang datang untuk berniaga. Penduduk makassar sangat terkenal sebagai pelaut-pelaut yang hebat dan tangguh. Karena sebagian besar penduduk Makassar memiliki mata pencaharian
sebagai pelaut. Mereka berlayar hingga ke berbagai wilayah di Indonesia. Ke Maluku mereka membeli rempah-rempah, kemudian di Sumatera mereka membeli lada dan kapur barus, mereka juga membeli hasil hutan di Kalimantan, bahkan mereka juga naik ke Jawa untuk membeli beras. Dari berbagai jenis yang mereka dapatkan kemudian dikumpulkan di Makassar.
Kedatangan VOC Belanda ke Indonesia awalnya hanya ingin berdagang. Namun rempah-rempah di Eropa sangat mahal dengan harga yang juga sangat mahal ditemukan di Indonesia, terutama di Maluku. Maka dari itu VOC Belanda ingin agar semua rempah-rempah dijual bebas hanya untuk pihak lain. Tentu saja sistem monopoli ini sangat merugikan warga Indonesia, khususnya warga Maluku, harga tambahan yang ditentukan oleh Belanda sangat rendah sesuai dengan kehendaknya. Dan Belanda akan senang jika ada yang menjual rempah-rempah untuk pihak lain, maka Belanda tidak akan melakukan tindakan kasar. Seperti kebun dan ladang tempat mereka menanam akan dirusak dan dibakar, selain itu pelakunya akan dikeluarkan mati atau dijadikan budak.
Orang Belanda melihat orang-orang Makassar bebas dan leluasa membeli rempah-rempah di Maluku. Hal inilah yang membuat Belanda marah karena Maluku sudah menjadi milik Belanda berarti semua hasil rempah-rempah di Maluku adalah miliknya. Belanda juga menghargai Makassar adalah "bandar gelap" yang memperdagangkan rempah-rempah dari Maluku. Maka dari itu Belanda mengirim utusannya menuju Makassar untuk menghadap Sultan Hasanuddin selaku penguasa Kerajaan Gowa-Tallo. Namun, Sultan Hasanuddin menolak monopoli perdagangan oleh Belanda. Bagi Sultan Hasanuddin, rempah-rempah adalah hasil bumi yang diciptakan oleh siapa saja. Bukannya untuk keperluan Belanda saja.
Belanda sangat geram mendengar jawaban Sultan Hasanuddin. Ini sudah menandakan ituAyam Jantan Dari Timur telah menunjukkan tajinya. Sultan Hasanuddin jelas-jelas menunjukkan perlawanannya terhadap VOC Belanda. Pada tahun 1660 terjadilah perang antara Kerajaan Gowa-Tallo dan Belanda. Namun demikian, perang berakhir. Meski demikian, ini sangat merugikan Kerajaan Gowa-Tallo. Pada tahun 1662, Armada Kerajaan Gowa-Tallo mengejar kapal VOC De Walvisch yang telah ketahuan memasuki penerbangan Makassar tanpa izin. Hingga akhirnya kapal De Walvisch terdampar di pantai. Kerajaan Gowa-Tallo menyita sebanyak 16 buah yang ditemukan di dalam kapal De Walvisch.
Perang kembali terjadi pada tahun 1664. Pada saat itu kapal VOC De Leeuwin tenggelam di Pulau Dayang-Dayang. Tidak hanya itu, seratus anak buah kapal tenggelam dan diletakkan sebanyak 162 orang ditawan di Kerajaan Gowa-Tallo. Setelah kejadian tersebut, VOC kemudian mengirim 14 orang pegawainya menuju tempat tenggelamnya kapal De Leeuwin untuk diselidiki tanpa sepengetahuan Sultan Hasanuddin. Hal ini membuat Sultan Hasanuddin sangat murka karena mendapat kehormatannya telah diinjak-injak. Atas perintah Sultan Hasanuddin ke-14 pegawai VOC yang ditangkap kemudian dijatuhi hukuman mati.
Pada tahun 1665 Kerajaan Gowa-Tallo hampir dirugikan lagi oleh persyaratan perundingan perdamaian. Gubernur Jenderal Joan Mattsuijker mengirim undangan bertemu Joan Van Wesenhagen untuk menghadap Sultan Hasanuddin dengan membawa pesan perundingan perdamaian. Tentu saja Sultan Hasanuddin menolak dengan syarat karena syarat perundingan yang ditentukan oleh VOC. Akibat penolakan Sultan Hasanuddin ini Belanda kemudian dikirim pasukan perangnya yang dipimpin oleh Laksamana Cornelis Spellman pada tahun 1666 untuk menyerang. Sebanyak 21 kapal perang diturunkan yang membawa 1.000 orang tentara, 600 dikirim adalah serdadu Belanda. Dibawah pimpinan Sultan Hasanuddin rakyat Gowa-Tallo mengahadapi serangan Belanda dengan gagah menantang. Peperangan terus berlanjut hingga berbulan-bulan lamanya.