ghar
Kabupaten Lampung Barat, maka yang pertama kali terlintas dalam bentuk adalah hutan dan wilayah yang susah dijangkau. Pasalnya lebih dari 76% lebih wilayah Lampung Barat terdiri dari hutan yang dilindungi dan tidak sembarang dikelola oleh masyarakat secara bebas, jika tidak maka hutan di daerah Lampung Barat ini akan rusak, karena Lampung Barat boleh dikatakan merupakan paru-paru dunia yang harus dilindungi. Selain itu daerah yang dilintasi oleh Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), disamping merupakan paru-paru dunia juga merupakan penghasil damar mata kucing yang terbaik di dunia. Potensi ini merupakan andalan Lampung Barat sebagai komoditi kebanggaan dan andalan Lambar. Selain dapat dihasilkan getahnya, pohonnya juga dapat dijadikan sebagai pelestarian hutan, karena hutan di Lambar harus dilestarikan.
Namun paradigma tersebut kondisinya terbalik dengan realitas di lapangan, karena akhir-akhir ini hutan yang dibangga-banggakan sebagai paru-paru dunia ternyata telah banyak yang rusak sebagai akibat adanya perambahan hutan (illegal Loging) untuk dijual kayunya oleh oknum yang mencari keuntungan pribadi tanpa memperhatikan kondisi hutan kita selanjutnya sebagai warisan kepada anak cucu. Walaupun berbagai upaya dilakukan oleh aparat untuk mencegah pencurian kayu di hutan kawasan dengan menangkap dan memproses secara hukum, namun tidak membuat jera para pelaku illegal loging. Kondisi ini sebenarnya telah terjadi dan berlangsung secara sistematis dan berlangsung cukup lama, sementara pada sisi lain masyarakat juga tidak bisa disalahkan secara sepihak. Sebab aktivitas tersebut dilakukan semata-mata untuk bertahan hidup dan mencari penghasilan bagi keluarga.
Dengan terjadinya kondisi yang demikian di Lampung Barat dan berlangsung lama, maka tidak tertutup kemungkinan Lampung Barat yang tadinya paru-paru dunia menjadi berubah dan menjadi daerah yang hutan yang rusak bahkan gundul dan akibatnya dapat kita bayangkan jika hal ini terjadi yaitu banjir dan longsor. Untuk itu dibutuhkan kerja keras dan mencarikan solusi bagaimana tetap memberikan peluang bagi warga untuk bisa memanfaatkan hasilnya tanpa harus merusak keasliannya. Saat ini berbagai terobosan dilakukan oleh pemerintah untuk menggali potensi yang ada, mulai dari pengajuan potensi panas bumi di Suoh dan Sekincau yang mengandung lebih dari 430 mega watt energi listrik, juga usulan 12 calon lokasi Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang dapat menghasilkan 190-578 mega watt.
Saat ini Pemkab Lampung Barat juga mengusulkan dan mengajukan seluas 28.000 Ha Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dari total 33.000 Ha. Selain itu Pemkab juga mengajukan 40.000 Ha Hutan Kemasyarakatan (HKm) dari keseluruhan yang mendekati 50.000 Ha untuk dapat dikelola dan diberdayakan oleh masyarakat hasilnya dengan tetap menjaga kelestarian hutannya. Hal ini dipertegas oleh Kepala Dinas Kehutanan dan Sumber Daya Alam Ir. Warsito Selasa (19/1) yang mengatakan bahwa pada tahun 2009 Pemkab melalui Dinas Kehutanan dan Sumber Daya Alam (SDA) mengajukan pengelolaan HTR dan HKm guna lebih memperjelas usulan tersebut, dan pihaknya telah menemui Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan dan mengajukan pemberian izin dimaksud.
Lebih lanjut Ir. Warsito mengatakan bahwa awalnya Menteri Kehutanan agak keberatan dan enggan untuk memberikan izin HTR dan HKm dimaksud karena dilakukan dijadikan oleh daerah sebagai ajang untuk mencari keuntungan dengan memungut retribusinya terhadap kelompok tani (Poktan) yang mengelola seperti yang terjadi di beberapa wilayah sebelumnya. Namun setelah dijelaskan tidak akan ada penarikan retribusi dalam bentuk apapun dan semata-mata untuk mencari solusi pemberdayaan masyarakat dengan tetap melestarikan hutan yang ada, keinginan tersebut justeru mendapatkan dukungan penuh dari Menteri Kehutanan (Menhut) Zulkifli Hasan.
Namun paradigma tersebut kondisinya terbalik dengan realitas di lapangan, karena akhir-akhir ini hutan yang dibangga-banggakan sebagai paru-paru dunia ternyata telah banyak yang rusak sebagai akibat adanya perambahan hutan (illegal Loging) untuk dijual kayunya oleh oknum yang mencari keuntungan pribadi tanpa memperhatikan kondisi hutan kita selanjutnya sebagai warisan kepada anak cucu. Walaupun berbagai upaya dilakukan oleh aparat untuk mencegah pencurian kayu di hutan kawasan dengan menangkap dan memproses secara hukum, namun tidak membuat jera para pelaku illegal loging. Kondisi ini sebenarnya telah terjadi dan berlangsung secara sistematis dan berlangsung cukup lama, sementara pada sisi lain masyarakat juga tidak bisa disalahkan secara sepihak. Sebab aktivitas tersebut dilakukan semata-mata untuk bertahan hidup dan mencari penghasilan bagi keluarga.
Dengan terjadinya kondisi yang demikian di Lampung Barat dan berlangsung lama, maka tidak tertutup kemungkinan Lampung Barat yang tadinya paru-paru dunia menjadi berubah dan menjadi daerah yang hutan yang rusak bahkan gundul dan akibatnya dapat kita bayangkan jika hal ini terjadi yaitu banjir dan longsor. Untuk itu dibutuhkan kerja keras dan mencarikan solusi bagaimana tetap memberikan peluang bagi warga untuk bisa memanfaatkan hasilnya tanpa harus merusak keasliannya. Saat ini berbagai terobosan dilakukan oleh pemerintah untuk menggali potensi yang ada, mulai dari pengajuan potensi panas bumi di Suoh dan Sekincau yang mengandung lebih dari 430 mega watt energi listrik, juga usulan 12 calon lokasi Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang dapat menghasilkan 190-578 mega watt.
Saat ini Pemkab Lampung Barat juga mengusulkan dan mengajukan seluas 28.000 Ha Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dari total 33.000 Ha. Selain itu Pemkab juga mengajukan 40.000 Ha Hutan Kemasyarakatan (HKm) dari keseluruhan yang mendekati 50.000 Ha untuk dapat dikelola dan diberdayakan oleh masyarakat hasilnya dengan tetap menjaga kelestarian hutannya. Hal ini dipertegas oleh Kepala Dinas Kehutanan dan Sumber Daya Alam Ir. Warsito Selasa (19/1) yang mengatakan bahwa pada tahun 2009 Pemkab melalui Dinas Kehutanan dan Sumber Daya Alam (SDA) mengajukan pengelolaan HTR dan HKm guna lebih memperjelas usulan tersebut, dan pihaknya telah menemui Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan dan mengajukan pemberian izin dimaksud.
Lebih lanjut Ir. Warsito mengatakan bahwa awalnya Menteri Kehutanan agak keberatan dan enggan untuk memberikan izin HTR dan HKm dimaksud karena dilakukan dijadikan oleh daerah sebagai ajang untuk mencari keuntungan dengan memungut retribusinya terhadap kelompok tani (Poktan) yang mengelola seperti yang terjadi di beberapa wilayah sebelumnya. Namun setelah dijelaskan tidak akan ada penarikan retribusi dalam bentuk apapun dan semata-mata untuk mencari solusi pemberdayaan masyarakat dengan tetap melestarikan hutan yang ada, keinginan tersebut justeru mendapatkan dukungan penuh dari Menteri Kehutanan (Menhut) Zulkifli Hasan.