Pertama, kerusakan lingkungan hidup yang telah merambah aspek moral dan etika. Kerusakan lingkungan itu sudah demikian parah dan hebat. Kerusakan tidak hanya sebatas aspek lingkungan fisik, seperti kerusakan lahan, air, dan hutan, tetapi sudah memasuki ranah nurani yang dalam, yaitu kerusakan moral dan etika. “Berbuat kerusakan terhadap lingkungan tidak lagi merasa bersalah atau berdosa, tetapi selalu dicarikan alasan pembenaran terhadap kesalahan itu agar publik memahaminya. Menebang pohon di tengah kota/hutan, mencemari sungai/udara tidak lagi merasa bersalah, pada hal keberadaan pohon, air, dan udara itu sangat dibutuhkan untuk menjamin lingkungan agar tetap sehat bagi orang banyak.
Kedua, kemunduran kehidupan sosial yang telah menimbulkan desintegrasi sosial dalam masyarakat. Ada kesan Indonesia yang dikenal dengan masyarakat majemuk (plural society) dengan budayanya yang ramah, sopan, dan akrab telah berubah menjadi masyarakat yang “cinta kekerasan dan anarkisme”.
Keragaman agama, etnik, status sosial dan ekonomi yang telah lama bersemi seiring dengan pertumbuhan bangsa ini telah berubah sama sekali. Keragaman itu telah menjadi potensi konflik sosial yang menimbulkan desintegrasi sosial. Belakangan baru disadari bahwa ada yang salah dalam ‘idiologi’ kehidupan bersama (living together) kita sebagai bangsa.
Mengelola globalisasi dapat dilakukan dengan kerjasama regional, seperti negara-negara di Eropa barat menyatukan dalam “the Europan Union”. Dengan kebersatuan itu kemampuannya bersaing dapat meningkat. Dalam industri pesawat terbang, kerjasama Prancis, Jerman, Spanyol, Belanda telah menjadi pesaing Amerika. Demikian juga dalam merger industri dapat meningkatkan efisiensi. Dalam konteks itu kerjasama regional ASEAN perlu diperkuat.
Pertama, kerusakan lingkungan hidup yang telah merambah aspek moral dan etika. Kerusakan lingkungan itu sudah demikian parah dan hebat. Kerusakan tidak hanya sebatas aspek lingkungan fisik, seperti kerusakan lahan, air, dan hutan, tetapi sudah memasuki ranah nurani yang dalam, yaitu kerusakan moral dan etika. “Berbuat kerusakan terhadap lingkungan tidak lagi merasa bersalah atau berdosa, tetapi selalu dicarikan alasan pembenaran terhadap kesalahan itu agar publik memahaminya. Menebang pohon di tengah kota/hutan, mencemari sungai/udara tidak lagi merasa bersalah, pada hal keberadaan pohon, air, dan udara itu sangat dibutuhkan untuk menjamin lingkungan agar tetap sehat bagi orang banyak.
Kedua, kemunduran kehidupan sosial yang telah menimbulkan desintegrasi sosial dalam masyarakat. Ada kesan Indonesia yang dikenal dengan masyarakat majemuk (plural society) dengan budayanya yang ramah, sopan, dan akrab telah berubah menjadi masyarakat yang “cinta kekerasan dan anarkisme”.
Keragaman agama, etnik, status sosial dan ekonomi yang telah lama bersemi seiring dengan pertumbuhan bangsa ini telah berubah sama sekali. Keragaman itu telah menjadi potensi konflik sosial yang menimbulkan desintegrasi sosial. Belakangan baru disadari bahwa ada yang salah dalam ‘idiologi’ kehidupan bersama (living together) kita sebagai bangsa.
Mengelola globalisasi dapat dilakukan dengan kerjasama regional, seperti negara-negara di Eropa barat menyatukan dalam “the Europan Union”. Dengan kebersatuan itu kemampuannya bersaing dapat meningkat. Dalam industri pesawat terbang, kerjasama Prancis, Jerman, Spanyol, Belanda telah menjadi pesaing Amerika. Demikian juga dalam merger industri dapat meningkatkan efisiensi. Dalam konteks itu kerjasama regional ASEAN perlu diperkuat.