anisa6712
Ayah datang membuka pintu sambil mengucapkan salam dengan heboh, bersama kawan-kawannya, dan Ibuku langsung setengah mengomel. Lei, adik lelakiku, langsung kocar-kacir. Begitu pula aku, Ling, yang segera disuruh mencuci perabotan makan untuk membuatkan teh.
"Elo ini!" aku dapat mendengar Ibu sedikit mengomeli Ayah dengan nada tercekik. "Elo pulang dengan bawa tamu di saat rumah kita lagi berantakan, ha!"
Ayah tertawa edan. "Mafhumlah... istri.. di pasar tadi, ada seorang pedagang baru... dari Sulawesi... dan gue tadi putusin buat nyambut dia di sini... rumah kite..."
"Makin banyak saja perantau di Jakarta ini, ha," gumam Ibu, "Amoy! Cepat ambilkan persediaan teh, ha! Aming! Ambil nampan! Amoy! Masak air!"
Orang baru macam apa yang membuat ayahku mengajaknya ke rumahku? Ah, kupikir... Indonesia-ku memang sangat beragam & luas. Lei bilang, di barat, ada Pulau Sumatra. Yang merupakan tempat asal Pak Syarif, yang katanya berasal dari etnis Aceh dan kawannya yang kadang disebut ibuku sebagai Om Batak. Lalu ada lagi satu tetanggaku, merupakan sesama pedagang juga laiknya ayahku, Pak Nampung. Ibuku pernah bilang bahwa Pak Nampung sejatinya adalah orang Dayak, namun Pak Nampung sendiri lebih memilih disebut orang Banjar. Dan masih banyak lagi tetangga sekaligus rekan dagang ayahku, yang merupakan sesama pedagang. Ada yang disebut pedagang India, pedagang Arab, saudagar Minang... dan entah beragam macam cap apa lagi. Katanya mereka telah jauh-jauh lama merantau ayah atau kakeknya ke Tanah Jawa ini, sejak zaman Belanda.
Sementara Lei merapikan ornamen-ornamen di ruang tamu, yang merupakan warisan kakek kami dari Negeri Benteng Naga, kepalaku mulai berpikir seraya menuangkan air panas ke dalam poci teh. Ah... Indonesia... memang negeri yang unik. Begitu besar, begitu luas. Dan ada banyak kelompok etnis dengan keunikannya sendiri-sendiri.
Seorang teman Betawiku pernah bilang, agar aku jangan terlalu terpengaruh dengan pengkotak-kotakan etnis semacam itu. Pikiranku berjalan seiring makin meresapnya teh bubuk dalam air panas.
"Moy, yang paling penting itu ialah," Murtado, kawan Betawiku itu, berbinar-binar matanya, "bagaimana kita bisa hidup saling bertoleransi di negeri kita ini. Tanpa memedulikan pengkotak-kotakan etnis."
Wah, wah, Murtado-ku sudah menjelma menjadi seorang elit terpelajar, sejak di era munculnya berbagai kaum terpelajar dan dia rajin mengantarkan koran-koran Tionghoa pamanku yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu, untuk mengejar target pelanggan.
Baguslah negeri tempat tinggalku ini semakin berkembang, terutama setelah Belanda & Jepang pergi!
"Lalu bagaimana kita bisa saling bekerjasama, berhubungan dengan baik, berkomunikasi dengan baik..." Murtado memandang mata orientalku dalam-dalam, "... itulah salah 1 keterampilan penting dalam hidup kita. Menjaga keutuhan bangsa kita. Biar kita berbeda-beda, kita tetaplah satu. Hidup di negeri yang sama. Negeri yang berpanjikan merah-putih. Indonesia."
Aaah... Murtado... filosofisnya dirimu. Ah, kau yang mengajarkanku, agar baik kepada.... tetangga-tetanggaku.. yang berasal dari luar Pulau Jawa...
Mendadak, dengan cerobohnya aku menyenggol sebuah gelas beling hingga pecah ke lantai lantaran teriakan Lei.
"Amoyyy.... di mana tehnya...!!"
Aah... kenapa aku jadi melamun...
Saat aku berbalik, yang kulihat ialah Ibuku yang berkacak pinggang dan dalam keadaan rambut berhias tusuk rambut naga emas yang membuat Ibuku tampak bagai ratu yang marah dan juga adik lelakiku yang memegang nampan berukir teratai Cina.
Catatan : Amoy adalah panggilan untuk gadis keturunan Tionghoa, sementara Aming adalah panggilan untuk anak lelakinya
"Elo ini!" aku dapat mendengar Ibu sedikit mengomeli Ayah dengan nada tercekik. "Elo pulang dengan bawa tamu di saat rumah kita lagi berantakan, ha!"
Ayah tertawa edan. "Mafhumlah... istri.. di pasar tadi, ada seorang pedagang baru... dari Sulawesi... dan gue tadi putusin buat nyambut dia di sini... rumah kite..."
"Makin banyak saja perantau di Jakarta ini, ha," gumam Ibu, "Amoy! Cepat ambilkan persediaan teh, ha! Aming! Ambil nampan! Amoy! Masak air!"
Orang baru macam apa yang membuat ayahku mengajaknya ke rumahku? Ah, kupikir... Indonesia-ku memang sangat beragam & luas. Lei bilang, di barat, ada Pulau Sumatra. Yang merupakan tempat asal Pak Syarif, yang katanya berasal dari etnis Aceh dan kawannya yang kadang disebut ibuku sebagai Om Batak. Lalu ada lagi satu tetanggaku, merupakan sesama pedagang juga laiknya ayahku, Pak Nampung. Ibuku pernah bilang bahwa Pak Nampung sejatinya adalah orang Dayak, namun Pak Nampung sendiri lebih memilih disebut orang Banjar. Dan masih banyak lagi tetangga sekaligus rekan dagang ayahku, yang merupakan sesama pedagang. Ada yang disebut pedagang India, pedagang Arab, saudagar Minang... dan entah beragam macam cap apa lagi. Katanya mereka telah jauh-jauh lama merantau ayah atau kakeknya ke Tanah Jawa ini, sejak zaman Belanda.
Sementara Lei merapikan ornamen-ornamen di ruang tamu, yang merupakan warisan kakek kami dari Negeri Benteng Naga, kepalaku mulai berpikir seraya menuangkan air panas ke dalam poci teh. Ah... Indonesia... memang negeri yang unik. Begitu besar, begitu luas. Dan ada banyak kelompok etnis dengan keunikannya sendiri-sendiri.
Seorang teman Betawiku pernah bilang, agar aku jangan terlalu terpengaruh dengan pengkotak-kotakan etnis semacam itu. Pikiranku berjalan seiring makin meresapnya teh bubuk dalam air panas.
"Moy, yang paling penting itu ialah," Murtado, kawan Betawiku itu, berbinar-binar matanya, "bagaimana kita bisa hidup saling bertoleransi di negeri kita ini. Tanpa memedulikan pengkotak-kotakan etnis."
Wah, wah, Murtado-ku sudah menjelma menjadi seorang elit terpelajar, sejak di era munculnya berbagai kaum terpelajar dan dia rajin mengantarkan koran-koran Tionghoa pamanku yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu, untuk mengejar target pelanggan.
Baguslah negeri tempat tinggalku ini semakin berkembang, terutama setelah Belanda & Jepang pergi!
"Lalu bagaimana kita bisa saling bekerjasama, berhubungan dengan baik, berkomunikasi dengan baik..." Murtado memandang mata orientalku dalam-dalam, "... itulah salah 1 keterampilan penting dalam hidup kita. Menjaga keutuhan bangsa kita. Biar kita berbeda-beda, kita tetaplah satu. Hidup di negeri yang sama. Negeri yang berpanjikan merah-putih. Indonesia."
Aaah... Murtado... filosofisnya dirimu. Ah, kau yang mengajarkanku, agar baik kepada.... tetangga-tetanggaku.. yang berasal dari luar Pulau Jawa...
Mendadak, dengan cerobohnya aku menyenggol sebuah gelas beling hingga pecah ke lantai lantaran teriakan Lei.
"Amoyyy.... di mana tehnya...!!"
Aah... kenapa aku jadi melamun...
Saat aku berbalik, yang kulihat ialah Ibuku yang berkacak pinggang dan dalam keadaan rambut berhias tusuk rambut naga emas yang membuat Ibuku tampak bagai ratu yang marah dan juga adik lelakiku yang memegang nampan berukir teratai Cina.
Catatan : Amoy adalah panggilan untuk gadis keturunan Tionghoa, sementara Aming adalah panggilan untuk anak lelakinya