Saman adalah salah satu kesenian tradisional yang tumbuh dan berkembang pada masyarakat Gayo di Kabupaten Gayo Lues, Aceh Tenggara, Aceh Timur (Kecamatan Serbejadi), Kabupaten Aceh Tamiang (Tamiang Hulu).
Berdasarkan cerita dari mulut ke mulut, Saman berasal dari kesenian yang disebut pok ane yang artinya menepuk tangan sambil bernyanyi. Menurut sejarahnya, Saman dikembangkan oleh seorang tokoh Islam yang bernama Syeh Saman. Selain sebagai penyiar agama Syeh Saman juga seorang seniman sehingga namanya kemudian didedikasikan sebagai nama tarian Saman. Dalam perkembangan selanjutnya kesenian ini digunakan sebagai media dakwah untuk pengembangan agama Islam. Sebagai media pengembang agama Islam, sampai kini masih kita rasakan dalam syair-syairnya, terutama dalam langkah-langkah awal selalui dimulai dengan salam. Dalam tulisan Mudha Farsya (dalam Haba, No. 38/2006) disebutkan bahwa tari saman lahir lebih kurang pada abad ke XIV. Tetapi jika tarian tersebut dijadikan sebagai alat dakwah penyebaran Islam, maka tarian tersebut telah ada sebelum Islam masuk ke Tanah Gayo. Hingga saat ini belum ditemukan literature tentang Syech Saman yang diyakini sebagai pengembang tarian Saman tersebut. Snouck Hurgronje dalam perjalanannya ke Tanah Gayo pada awal 1900-an (Tanoh gayo dan Penduduknya, 1996), mengatakan bahwa tarian Saman ini dilakukan pada saat akhir bulan puasa oleh para anak muda (laki-laki).
Dalam perkembangan selanjutnya, saman dijadikan sebagai kesenian yang diikutsertakan dalam festival Pekan Kebudayaan Aceh (PKA ke-2) tahun 1972 di Banda Aceh. Pada waktu itu saman menjadi salah satu tari favorit sehingga digelari “tari tangan seribu” oleh ibu Tien Suharto. Sejak saat itu tari Saman mulai dikenal luas da diundang dalam pembukaan Taman Mini Indonesia Indah tahun 1974. Kemudian Saman diundang ke berbagai acara tngkat nasional hingga misi kesenian ke luar negeri. Pada perkembangan selanjutnya, saman dijadikan sebagai komoditas komersial.
Berdasarkan hasil survey lapangan menunjukkan bahwa saman mengalami degradasi nilai dan maknanya. Pendangkalan nilai dan makna ini akan mengancam keberadaan saman. Pengaruh televisi, internet, budaya asing dan bentuk-bentuk teknologi lain adalah factor penyebab utama degradasi nilai dan makna tersebut. Hal ini merupakan ancaman berat terhadap kelestarian saman asli di Kabupaten Gayo Lues. Hal ini jelas akan membawa dampak buruk bagi saman asli yang tersebar di luar Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Aceh.
Saman adalah salah satu kesenian tradisional yang tumbuh dan berkembang pada masyarakat Gayo di Kabupaten Gayo Lues, Aceh Tenggara, Aceh Timur (Kecamatan Serbejadi), Kabupaten Aceh Tamiang (Tamiang Hulu).
Berdasarkan cerita dari mulut ke mulut, Saman berasal dari kesenian yang disebut pok ane yang artinya menepuk tangan sambil bernyanyi. Menurut sejarahnya, Saman dikembangkan oleh seorang tokoh Islam yang bernama Syeh Saman. Selain sebagai penyiar agama Syeh Saman juga seorang seniman sehingga namanya kemudian didedikasikan sebagai nama tarian Saman. Dalam perkembangan selanjutnya kesenian ini digunakan sebagai media dakwah untuk pengembangan agama Islam. Sebagai media pengembang agama Islam, sampai kini masih kita rasakan dalam syair-syairnya, terutama dalam langkah-langkah awal selalui dimulai dengan salam. Dalam tulisan Mudha Farsya (dalam Haba, No. 38/2006) disebutkan bahwa tari saman lahir lebih kurang pada abad ke XIV. Tetapi jika tarian tersebut dijadikan sebagai alat dakwah penyebaran Islam, maka tarian tersebut telah ada sebelum Islam masuk ke Tanah Gayo. Hingga saat ini belum ditemukan literature tentang Syech Saman yang diyakini sebagai pengembang tarian Saman tersebut. Snouck Hurgronje dalam perjalanannya ke Tanah Gayo pada awal 1900-an (Tanoh gayo dan Penduduknya, 1996), mengatakan bahwa tarian Saman ini dilakukan pada saat akhir bulan puasa oleh para anak muda (laki-laki).
Dalam perkembangan selanjutnya, saman dijadikan sebagai kesenian yang diikutsertakan dalam festival Pekan Kebudayaan Aceh (PKA ke-2) tahun 1972 di Banda Aceh. Pada waktu itu saman menjadi salah satu tari favorit sehingga digelari “tari tangan seribu” oleh ibu Tien Suharto. Sejak saat itu tari Saman mulai dikenal luas da diundang dalam pembukaan Taman Mini Indonesia Indah tahun 1974. Kemudian Saman diundang ke berbagai acara tngkat nasional hingga misi kesenian ke luar negeri. Pada perkembangan selanjutnya, saman dijadikan sebagai komoditas komersial.
Berdasarkan hasil survey lapangan menunjukkan bahwa saman mengalami degradasi nilai dan maknanya. Pendangkalan nilai dan makna ini akan mengancam keberadaan saman. Pengaruh televisi, internet, budaya asing dan bentuk-bentuk teknologi lain adalah factor penyebab utama degradasi nilai dan makna tersebut. Hal ini merupakan ancaman berat terhadap kelestarian saman asli di Kabupaten Gayo Lues. Hal ini jelas akan membawa dampak buruk bagi saman asli yang tersebar di luar Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Aceh.