1. Konvensi Jenewa 1949 tentang peraturan atau norma-norma dalam kondisi perang, diratifiksi oleh Indonesia pada 30 September 1958
2. Konvensi Hak-hak Sipil dan Politik diratifikasi dengan penetapan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 12 Tahun 2005
Diantaranya memuat (a) hak untuk hidup (rights to life); (b) hak bebas dari penyiksaan (rights to be free from torture); (c) hak bebas dari perbudakan (rights to be free from slavery); (d) hak bebas dari penahanan karena gagal memenuhi perjanjian (utang); (e) hak bebas dari pemidanaan yang berlaku surut; (f) hak sebagai subjek hukum; (g) hak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan agama.
Kemudian hak yang dibatasi, yaitu: (a) hak atas kebebasan berkumpul secara damai; (b) hak atas kebebasan berserikat; termasuk membentuk dan menjadi anggota sarekat buruh; dan (c) hak atas menyatakan kebebasan menyatakan pendapat atau berekspresi; termasuk kebebasan mencari, menerima dan memberikan informasi dan segala macam gagasan tanpa memperhatikan batas (baik melalui lisan maupun tulisan). Hak-hak ini hanya dapat dibatasi tanpa diskriminasi dengan alasan: (a) Menjaga ketertiban umum, moralitas umum, kesehatan atau keamanan nasional; dan (b) menghormati hak atau kebebasan orang lain.
Dari poin yang tercantum dalam ratifikasi tersebut, dapat dilihat bahwa Indonesia sejatinya mengemban dua kepentingan sekaligus. Yaitu sebagai “politik HAM” dalam hal ini pencitraan, juga sebagai solusi untuk memperbaiki sejarah yang buruk akan penegakan HAM di tanah air.
Pemerintah dalam hal ini SBY yang berkuasa pada masa itu merasa Indonesia perlu mengambil momentum untuk pemulihan nama baik Indonesia dalam kancah Internasional.
Namun yang sangat disesalkaan adalah ketika ratifikasi tersebut agaknya belum mampu terimplementasi dengan maksimal. Indikatornya dapat terlihat dari berbagai kasus pelanggaran HAM khususnya hak-hak sipil yang justru kian menjamur di Indonesia pasca ratifikasi. Tindak kekerasan serta konflik horizontal, kecurangan-kecurangan dalam penyelenggaraan pemilu, mandeknya persidangan kasus pelanggaran HAM serta berbagai pelanggaran lainnya relatif mampu memperparah citra buruk penegakan HAM di Indonesia.
3. Undang-undang nomor 68/1958 yang meratifikasi konvensi tentang hak-hak Politik Perempuan. Diratifikasi pada 17 Juli 1958
Perkembangan tentang isu kesetaraan gender khususnya dalam bidang politik telah cukup menunjukkan peningkatan yang signifiikan. Dalam ratifikasi ini, pemerintah Indonesia terlihat cukup serius dalam pengimplementasiannya sehingga proses ratifikasi tersebut tidak semata menjadi ajang pencitraan. Hal tersebut dapat dilihat dari program serta kebijakan pemerintah antara lain dengan pembentukan komnas perlindungan perempuan. Kebijakan yang paling terlihat ialah terhadap quota keterwakilan perempuan di kabinet yang ditetapkan pemerintah dan membuktikan komitmennya untuk memprioritaskan hak-hak politik perempuan.
b. Ratifikasi HAM terhadap bidang Ekonomi, Sosial, Budaya
1. UU RI No. 29 tahun 1999 tentang pengesahan International Convention On The Elimination Of All Forms Of Racial Discrimination 1965 (Konvensi Internasional Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965)
Motivasi ratifikasi ini relatif mengarah pada pencitraan Indonesia di panggung perpolitikan dunia. Indonesia yang memang terkenal dengan rasnya yang begitu heterogen disamping berbagai konflik etnis yang mungkin terjadi tentu saja akan dianggap telah cukup mampu membangun semangat persatuan dalam sederet etnis yang terdapat di dalamnya. Namun amat disayangkan, Indonesia sepertinya terbuai dengan predikat Bhinneka Tunggal Ika itu sendiri tanpa melakukan evaluasi mengenai pemerataan keadilan yang terjadi di Indonesia. Ketimpangan pemerataan pembangunan antara pulau Jawa dengan wilayah-wilayah lainnya khususnya wilayah Timur Indonesia masih menjadi suatu fakta yang amat miris untuk diketahui.
2. Convention On The Rights Of The Childs diratifikasi Indonesia pada tahun 2005 melalui Kepres No. 36/1990
Dengan ratifikasi ini, pemerintah kemungkinan berharap agar kondisi hak anak-anak di Indonesia menjadi lebih baik. Namun dalam pelaksanaannya ratifikasi ini belum sepenuhnya terlepas dari “politik HAM” yang ingin dikonstruksikan Indonesia. Terbukti dengan belum mampunya Negara ini untuk meminimalisir kekerasan terhadap anak. Namun pembentukan komisi nasional perlindungan anak cukup pantas mendapat apresiasi meski belum menunjukkan kinerja yang maksimal.
3. Ratifikasi kovenan Internasioanal tentang Hak-hak EKOSOB (International Covenant on Economic, social, and Cultural Right) pada Oktober 2005. Ratifikasi ini ditandai dengan terbitnya UU No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Convenant on Economic, Social and Cultural Right (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya).
1. Konvensi Jenewa 1949 tentang peraturan atau norma-norma dalam kondisi perang, diratifiksi oleh Indonesia pada 30 September 1958
2. Konvensi Hak-hak Sipil dan Politik diratifikasi dengan penetapan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 12 Tahun 2005
Diantaranya memuat (a) hak untuk hidup (rights to life); (b) hak bebas dari penyiksaan (rights to be free from torture); (c) hak bebas dari perbudakan (rights to be free from slavery); (d) hak bebas dari penahanan karena gagal memenuhi perjanjian (utang); (e) hak bebas dari pemidanaan yang berlaku surut; (f) hak sebagai subjek hukum; (g) hak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan agama.
Kemudian hak yang dibatasi, yaitu: (a) hak atas kebebasan berkumpul secara damai; (b) hak atas kebebasan berserikat; termasuk membentuk dan menjadi anggota sarekat buruh; dan (c) hak atas menyatakan kebebasan menyatakan pendapat atau berekspresi; termasuk kebebasan mencari, menerima dan memberikan informasi dan segala macam gagasan tanpa memperhatikan batas (baik melalui lisan maupun tulisan). Hak-hak ini hanya dapat dibatasi tanpa diskriminasi dengan alasan: (a) Menjaga ketertiban umum, moralitas umum, kesehatan atau keamanan nasional; dan (b) menghormati hak atau kebebasan orang lain.
Dari poin yang tercantum dalam ratifikasi tersebut, dapat dilihat bahwa Indonesia sejatinya mengemban dua kepentingan sekaligus. Yaitu sebagai “politik HAM” dalam hal ini pencitraan, juga sebagai solusi untuk memperbaiki sejarah yang buruk akan penegakan HAM di tanah air.
Pemerintah dalam hal ini SBY yang berkuasa pada masa itu merasa Indonesia perlu mengambil momentum untuk pemulihan nama baik Indonesia dalam kancah Internasional.
Namun yang sangat disesalkaan adalah ketika ratifikasi tersebut agaknya belum mampu terimplementasi dengan maksimal. Indikatornya dapat terlihat dari berbagai kasus pelanggaran HAM khususnya hak-hak sipil yang justru kian menjamur di Indonesia pasca ratifikasi. Tindak kekerasan serta konflik horizontal, kecurangan-kecurangan dalam penyelenggaraan pemilu, mandeknya persidangan kasus pelanggaran HAM serta berbagai pelanggaran lainnya relatif mampu memperparah citra buruk penegakan HAM di Indonesia.
3. Undang-undang nomor 68/1958 yang meratifikasi konvensi tentang hak-hak Politik Perempuan. Diratifikasi pada 17 Juli 1958
Perkembangan tentang isu kesetaraan gender khususnya dalam bidang politik telah cukup menunjukkan peningkatan yang signifiikan. Dalam ratifikasi ini, pemerintah Indonesia terlihat cukup serius dalam pengimplementasiannya sehingga proses ratifikasi tersebut tidak semata menjadi ajang pencitraan. Hal tersebut dapat dilihat dari program serta kebijakan pemerintah antara lain dengan pembentukan komnas perlindungan perempuan. Kebijakan yang paling terlihat ialah terhadap quota keterwakilan perempuan di kabinet yang ditetapkan pemerintah dan membuktikan komitmennya untuk memprioritaskan hak-hak politik perempuan.
b. Ratifikasi HAM terhadap bidang Ekonomi, Sosial, Budaya
1. UU RI No. 29 tahun 1999 tentang pengesahan International Convention On The Elimination Of All Forms Of Racial Discrimination 1965 (Konvensi Internasional Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965)
Motivasi ratifikasi ini relatif mengarah pada pencitraan Indonesia di panggung perpolitikan dunia. Indonesia yang memang terkenal dengan rasnya yang begitu heterogen disamping berbagai konflik etnis yang mungkin terjadi tentu saja akan dianggap telah cukup mampu membangun semangat persatuan dalam sederet etnis yang terdapat di dalamnya. Namun amat disayangkan, Indonesia sepertinya terbuai dengan predikat Bhinneka Tunggal Ika itu sendiri tanpa melakukan evaluasi mengenai pemerataan keadilan yang terjadi di Indonesia. Ketimpangan pemerataan pembangunan antara pulau Jawa dengan wilayah-wilayah lainnya khususnya wilayah Timur Indonesia masih menjadi suatu fakta yang amat miris untuk diketahui.
2. Convention On The Rights Of The Childs diratifikasi Indonesia pada tahun 2005 melalui Kepres No. 36/1990
Dengan ratifikasi ini, pemerintah kemungkinan berharap agar kondisi hak anak-anak di Indonesia menjadi lebih baik. Namun dalam pelaksanaannya ratifikasi ini belum sepenuhnya terlepas dari “politik HAM” yang ingin dikonstruksikan Indonesia. Terbukti dengan belum mampunya Negara ini untuk meminimalisir kekerasan terhadap anak. Namun pembentukan komisi nasional perlindungan anak cukup pantas mendapat apresiasi meski belum menunjukkan kinerja yang maksimal.
3. Ratifikasi kovenan Internasioanal tentang Hak-hak EKOSOB (International Covenant on Economic, social, and Cultural Right) pada Oktober 2005. Ratifikasi ini ditandai dengan terbitnya UU No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Convenant on Economic, Social and Cultural Right (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya).