Sebutkan unsur unsur budaya politik yang menonjol dalam sistem politik di indonesia
omozie1.Konfigurasi subkultur di Indonesia masih beraneka ragam. Keaneka ragaman subkultur ini ditanggulangi berkat usaha pembangunan bangsa (nation building) dan pembangunan karakter (character building).
2.Budaya politik Indonesia bersifat parokial-kaula di satu pihak dan budaya politik partisipan di lain pihak (jadi, di suatu kelompok masyarakat, masih ada yang budaya politiknya parokial & kaula, namun di kelompok mayarakat lain, budaya politik nya sudah bersifat partisipan). di satu segi masyarakat masih ketinggalan dalam menggunakan hak dan dalam memikul tanggung jawab politiknya (yang mungkin disebabkan oleh isolasi dari kebudayaan luar, pengaruh penjajahan, feodalisme, bapakisme, ikatan primordial). sedang di lain pihak kaum elitnya sungguh-sungguh merupakan merupakan partisipan yang aktif (yang kira-kira disebabkan oleh pengaruh pendidikan moderen ) kadang-kadang bersifat sekuler dalam arti relatif dapat membedakan faktor-faktor penyebab disintegrasi seperti agama, kesukuan dan lainnya, dengan kata lain kebudayaan politik Indonesia merupakan “mixed political culture” yang diwarnai dengan besarnya pengaruh kebudayaan politik parokial-kaula.
3.Sifat ikatan primordial yang masih berakar yang dikenal melalui indikatornya berupa sentimen kedaerahan, kesukuan, keagamaan, perbedaan pendekatan terhadap keagamaan tertentu; puritanisme dan nonpuritanisme dan lain-lain. Di samping itu, salah satu petunjuk masih kukuhnya ikatan tersebut dapat dilihat dari pola budaya politik yang tercermin dalam struktur vertikal masyarakat di mana usaha gerakan kaum elit langsung mengeksploitasi dan menyentuh substruktur sosial dan subkultur untuk tujuan perekrutan dukungan.
4.Kecenderungan budaya politik Indonesia yang masih mengkukuhi sikap paternalisme dan sifat patrimonial; sebagai indikatornya dapat disebutkan antara lain bapakisme, sikap asal bapak senang. Di Indonesia, budaya politik tipe parokial kaula lebih mempunyai keselarasan untuk tumbuh dengan persepsi masyarakat terhadap obyek politik yang menyandarkan atau menundukkan diri pada proses output dari penguasa.
5.Dilema interaksi tentang introduksi moderenisasi (dengan segala konsekwensinya) dengan pola-pola yang telah lama berakar sebagai tradisi dalam masyarakat.
2.Budaya politik Indonesia bersifat parokial-kaula di satu pihak dan budaya politik partisipan di lain pihak (jadi, di suatu kelompok masyarakat, masih ada yang budaya politiknya parokial & kaula, namun di kelompok mayarakat lain, budaya politik nya sudah bersifat partisipan).
di satu segi masyarakat masih ketinggalan dalam menggunakan hak dan dalam memikul tanggung jawab politiknya (yang mungkin disebabkan oleh isolasi dari kebudayaan luar, pengaruh penjajahan, feodalisme, bapakisme, ikatan primordial).
sedang di lain pihak kaum elitnya sungguh-sungguh merupakan merupakan partisipan yang aktif (yang kira-kira disebabkan oleh pengaruh pendidikan moderen )
kadang-kadang bersifat sekuler dalam arti relatif dapat membedakan faktor-faktor penyebab disintegrasi seperti agama, kesukuan dan lainnya, dengan kata lain kebudayaan politik Indonesia merupakan “mixed political culture” yang diwarnai dengan besarnya pengaruh kebudayaan politik parokial-kaula.
3.Sifat ikatan primordial yang masih berakar yang dikenal melalui indikatornya berupa sentimen kedaerahan, kesukuan, keagamaan, perbedaan pendekatan terhadap keagamaan tertentu; puritanisme dan nonpuritanisme dan lain-lain. Di samping itu, salah satu petunjuk masih kukuhnya ikatan tersebut dapat dilihat dari pola budaya politik yang tercermin dalam struktur vertikal masyarakat di mana usaha gerakan kaum elit langsung mengeksploitasi dan menyentuh substruktur sosial dan subkultur untuk tujuan perekrutan dukungan.
4.Kecenderungan budaya politik Indonesia yang masih mengkukuhi sikap paternalisme dan sifat patrimonial; sebagai indikatornya dapat disebutkan antara lain bapakisme, sikap asal bapak senang. Di Indonesia, budaya politik tipe parokial kaula lebih mempunyai keselarasan untuk tumbuh dengan persepsi masyarakat terhadap obyek politik yang menyandarkan atau menundukkan diri pada proses output dari penguasa.
5.Dilema interaksi tentang introduksi moderenisasi (dengan segala konsekwensinya) dengan pola-pola yang telah lama berakar sebagai tradisi dalam masyarakat.