agathazafirra
Trah Kolopaking dengan diawali dengan menikahnya R. Ayu Pambayun Putri Panembahan Senopati dengan Ki Ageng Mangir IV Wonoboyo dan melahirkan Bagus Maduseno yang masa kecilnya yatim piatu karena ayahnya meninggal di Mataram sedangkan ibunya meninggal saat melahirkannya. Pada masa remaja mengembara ke arah barat dan meninggal meninggal di daerah Waja diambil menantu Pangeran Hadi dan mempunyai anak Bagus Bodronolo. Dalam pengembaraanya Bagus Bodronolo bertapa di Gunung Geyong daerah Panjer. Bagus Bodronolo menjadi murid Ki Ajar Geseng dan di ambil menantu oleh Ki Buyut Wanapatra, dan mempunyai anak Ki Bagus Curigo dan menurunkan Ki Bagus Kertodipo dan Ki Bagus Kertowongso. Tokoh terakhir inilah yang kemudian dapat gelar Kolopaking I. Kisah pemberian gelar Kolopaking sebagai Bupati pada Sunan Amangkurat I dikalahkan oleh Trunajaya, kemudian meninggalkan istana untuk mencari bantuan Kompeni. Perjalanannya ke barat melalui daerah Panjer ( Kebumen sekarang ). Pada saat di Kali Panjer kondisi fisik sedang sakit dan lemah, waktunya malam dan hujan. Dengan kondisi dan situasi seperti itu, perjalanan tidak mungkin dilanjutkan dan kemudian singgah di kediaman Ki Kertowongso. Pada malam itu Sunan Amangkurat meminta diambilkan kelapa muda untuk diminumnya, tetapi karena suasana malam dan hujan oleh Ki Kertowongso diambilkan kelapa yang sudah kering. Namun begitu di minum, Sunan Amangkurat I langsung sembuh dan badannya segar kembali. Sebagai hadiah kepada Ki Kertowongso adalah pertama diberi gelar dan pangkat R. Tumenggung Kolopaking, dan diberi kekuasaan sebagai Adipati Panjer. Yang kedua diberi hadiah, putrinya yang bernama Dewi Mulat (Klenting Abang). Dinasti Kolopaking dimulai sejak tahun 1677 sampai dengan 1833. Pada saat akhir pemerintahan di bawah Kolopaking IV bersamaan dengan perang Diponegoro, Kadipaten Panjer di bawah pimpinan Raden Tumenggung Kolopaking IV. Menyatakan diri ada dibelakang perjuangan Pangeran Diponegoro kalah dan tertangkap, keluarga Kolopaking disingkirkan oleh Belanda. Apapun yang berbau Kolopaking baik nama, cerita atau adat harus dihilangkan. Walaupun begitu keluarga Kolopaking tetap berjuang dengan gigih melawan Belanda dan akhirnya Belanda merasa kewalahan. Salah satu kisah menyebutkan pertempuran prajurit Kolopaking melawan Belanda, disebelah utara (kota Kebumen sekarang) ada Gunung Pogog. Karena gunung tersebut pada mulanya tinggi oleh Kolopaking gunugn tersebut dipotong dengan kerisnya untuk menutup celah perlindungan sehingga gunung yang dipotong tersebut menjadi pogog. Potongan gunung itu oleh Arungbinang IV dicongkel memakai tongkat pusakanya dan dilempar ke arah timur jatuh dipersawahan menjadi Gunung Gendek (gundukan) yang sekarang menjadi perumahan RSS Jatimulyo dan di sebut pula dengan nama Gunung Malang Kencana. Keluarga Kolopaking mau menghentikan perlawanan asal keturunannya diangkat menjadi Bupati. Oleh Belanda permintaan tersebut dipenuhi, dengan catatan tidak memakai nama Kolopaking. Selanjutnya dua anak Kolopaking diangkat menjadi Bupati, yang pertama di Kabupaten Karanganyar dengan nama Raden Tumenggung Kertinegoro, dan yang kedua di Banjarnegara denga nama Raden Tumenggung Joyonegoro. Selain kisah pertempuran antara Kolopaking IV dan Arungbinang IV di tengah persawahan, keduanya mempunyai kekuatan berimbang. Setelah pertempuran berjalan cukup lama, lengan Kolopaking IV tergores tombak Arungbinang IV dan mengeluarkan darah. Sepengetahuan Arungbinang IV siapa yang terkena tombaknya sampai luka pasti langsung mati, namun Kolopaking IV tidak, dan darah yang jatuh menjelma menjadi ular-ular berbisa dan memburu Arungbinang IV melarikan diri menghindari kejaran ular-ular berbisa tersebut. Karena pertempurannya sangat kuat (kenceng) maka tempat tersebut dinamakan Si Kenceng ( dekat Stadion Candradimuka sekarang).