sofiah1618
Many years ago, in the German town of Hamelin, the people had a terrible problem with rats. There were rats everywhere, in the streets, houses, beds, and even in babies cots. The mayor did not know what to do.
One day, a peculiar man called the Pied Piper arrived and said he could deal with the problem if the mayor would pay a huge sum of money. The mayor agreed.
The Pied Piper played the pipes and the rats followed him out of Hamelin and fell out a cliff. "I refuse to pay!" said the mayor.
So, the Pied Piper played his pipes again. This time every child followed the Pier Piper. They never returned. The mayor had learned his lesson, but much too late.
1 votes Thanks 1
clarestavlnc
Dalam bahasa indonesia : Tahun 1284, ketika kota Hamelin terkena bencana hama tikus, seorang pria berpakaian aneka warna datang dan mengaku sebagai pengusir tikus. Orang asing itu berjanji kepada walikota bahwa masalah hama di kota tersebut akan terpecahkan. Sebagai gantinya, walikota berjanji bahwa ia akan mendapat imbalan yang setimpal setelah berhasil mengusir hama tersebut. Setelah perjanjian disepakati, orang asing itu memainkan seruling ajaibnya. Suara seruling tersebut memikat para tikus di setiap rumah penduduk untuk mengikuti si peniup seruling hingga sampai di sungai Weser. Semua tikus ditenggelamkan di sana kecuali seekor. Setelah usahanya berhasil, sang walikota tidak memberi imbalan sesuai yang dijanjikannya. Si peniup seruling menjadi berang lalu meninggalkan kota, dan bersumpah bahwa ia akan kembali di lain hari untuk menuntut balas. Pada Hari Yohanes dan Paulus, ketika para penduduk dewasa berkumpul di gereja, si peniup seruling kembali lagi dengan pakaian hijau seperti pemburu, kali ini dengan maksud memikat seluruh anak di Hamelin. Seratus tiga puluh anak lelaki dan perempuan mengikutinya sampai ke luar kota, kemudian mereka diajak ke sebuah gua dan tidak pernah terlihat lagi. Tergantung versi cerita, sekurang-kurangnya ada tiga macam anak yang tertinggal di belakang. Anak yang pertama adalah anak yang pincang sehingga tidak mampu mengikuti anak lainnya dengan cepat; yang kedua adalah anak yang tuli yang ikut-ikutan karena merasa penasaran; yang terakhir adalah anak yang buta dan tidak mampu melihat ke mana ia pergi. Ketiga anak tersebut memberi informasi kepada penduduk kota tentang apa yang terjadi setelah mereka meninggalkan gereja.
One day, a peculiar man called the Pied Piper arrived and said he could deal with the problem if the mayor would pay a huge sum of money. The mayor agreed.
The Pied Piper played the pipes and the rats followed him out of Hamelin and fell out a cliff.
"I refuse to pay!" said the mayor.
So, the Pied Piper played his pipes again. This time every child followed the Pier Piper. They never returned. The mayor had learned his lesson, but much too late.
Tahun 1284, ketika kota Hamelin terkena bencana hama tikus, seorang pria berpakaian aneka warna datang dan mengaku sebagai pengusir tikus. Orang asing itu berjanji kepada walikota bahwa masalah hama di kota tersebut akan terpecahkan. Sebagai gantinya, walikota berjanji bahwa ia akan mendapat imbalan yang setimpal setelah berhasil mengusir hama tersebut. Setelah perjanjian disepakati, orang asing itu memainkan seruling ajaibnya. Suara seruling tersebut memikat para tikus di setiap rumah penduduk untuk mengikuti si peniup seruling hingga sampai di sungai Weser. Semua tikus ditenggelamkan di sana kecuali seekor. Setelah usahanya berhasil, sang walikota tidak memberi imbalan sesuai yang dijanjikannya. Si peniup seruling menjadi berang lalu meninggalkan kota, dan bersumpah bahwa ia akan kembali di lain hari untuk menuntut balas. Pada Hari Yohanes dan Paulus, ketika para penduduk dewasa berkumpul di gereja, si peniup seruling kembali lagi dengan pakaian hijau seperti pemburu, kali ini dengan maksud memikat seluruh anak di Hamelin. Seratus tiga puluh anak lelaki dan perempuan mengikutinya sampai ke luar kota, kemudian mereka diajak ke sebuah gua dan tidak pernah terlihat lagi. Tergantung versi cerita, sekurang-kurangnya ada tiga macam anak yang tertinggal di belakang. Anak yang pertama adalah anak yang pincang sehingga tidak mampu mengikuti anak lainnya dengan cepat; yang kedua adalah anak yang tuli yang ikut-ikutan karena merasa penasaran; yang terakhir adalah anak yang buta dan tidak mampu melihat ke mana ia pergi. Ketiga anak tersebut memberi informasi kepada penduduk kota tentang apa yang terjadi setelah mereka meninggalkan gereja.