RiriJune
Raumanen, yang biasa dipanggil Manen, adalah seorang gadis Manado berumur 18 tahun. Ia aktif dalam kegiatan organisasi di Jakarta. Berbagi acara atau kegiatan yang diselenggarakan organisasinya diikuti Manen. Pada suatu acara ia berkenalan dengan insinyur muda bernama Monang. Perkenalan antara Manen dan Monang berlanjut terus. Keduanya tidak sekadar sering berjumpa, tetapi kerap dilanjutkan dengan berjalan bersama-sama. Lambat-laun hubungan mereka makin rapat. Manen menyadari bahwa hubungannya dengan insinyur muda itu hanya sebatas hubungan sesama teman. Bahkan ia merasa lebih tepat sebagai seorang “adik” kecil bagi Monang. Jadi, Manen tidak perlu risau pada nasihat teman-temannya yang mengatakan bahwa Monang “si perebut hati wanita” sedang mencari korban berikutnya. Dengan perasaan bahwa dirinya diperlakukan hanya sebagai seorang “adik” dan dalam pandangannya Monang lebih bertingkah laku sebagai seorang kakak terhadapnya, Manen tetap melanjutkan hubungannya dengan Monang. Perkembangan berikutnya menunjukkan bahwa hubungan mereka meningkat lebih mesra. Kembali, teman-temannya Manen merasa perlu mengingatkannya akan tabiat Monang agar ia menyelesaikan kuliahnya terlebih dahulu. Di samping itu, ibunya –juga teman-temannya- memperingatkan Manen tentang adat yang mengikat anak laki-laki dari keluarga Batak. Semua peringatan itu ternyata tak membuat Manen memutuskan hubungannya dengan Monang. Sebaliknya, hubungan keduanya makin mesra. Bagi Manen, rupanya hubungan itu telah menyadarkan dirinya bahwa inilah untuk pertama kalinya ia merasakan jatuh cinta. Ya, itulah cinta pertamanya. Sebaliknya bagi Monang, Manen termasuk salah satu gadis dari sekian gadis yang ditaklukkannya. Sebenarnya, dapat saja Monang menjadikan Manen sebagai korban yang kesekian dan kemudian meninggalkannya. Namun, keluguan gadis Manado itu telah membuat insinyur muda itu amat menyayanginya; suatu perasaan yang sebelumnya tak pernah terjadi dalam petualangan cinta Monang. Bahkan Monang merasakan baru Manenlah yang mengerti perasaannya. Inilah salah satu alasan yang membuat pemuda itu tak ingin meninggalkan Manen. Kemesraan kedua insan itu pada akhirnya sampai jua pada titik yang melampaui batas larangan. Sebuah bungalow di Cibogo merupakan saksi perbuatan mereka. Apa yang terjadi di tempat itu adalah suatu mimpi buruk bagi Manen seumur hidup tak dapat dilupakannya. Monang berjanji akan bertanggung jawab atas kejadian itu. Ia akan mengawini Manen. “Kalau cuma itu sebabnya hingga kau mau kawin denganku … kurasa lebih baik kaulupakan saja,” kata Manen.Gadis itu tak mau kawin dengan lelaki yang menikahinya hanya karena terpaksa. Perkawinan harus dilandasi cinta, tegas Manen. Akan tetapi, Monang rupanya memilih cara lain mengungkapkan cintanya. Tak pernah sekali pun kata cinta keluar dari mulut lelaki itu; padahal, ucapan itu sangat dibutuhkan oleh kekasihnya, Manen. Hal itu juga yang membuat Manen merasa ragu akan niat kekasihnya untuk mengawininya, walaupun pemuda itu sudah berusaha memperkenalkan kekasihnya kepada keluarganya dan mempersiapan rumah yang akan mereka tinggali kelak. Manen masih ragu. Ia terlalu lugu hingga belum dapat menerjemahkan sikap Monang sebagai ungkapan pernyataan cintanya. Ia masih menunggu kekasihnya mengucapkan kata cinta. Namun, Monang tidak pernah mengungkapkan kata itu. Sementara itu, perbuatan yang mestinya tidak mereka lakukan lagi –karena keduanya belum sah sebagai suami-istri- terulang kembali dan terus terulang kembali. Sampai akhirnya, Manen hamil.
Akan tetapi, Monang rupanya memilih cara lain mengungkapkan cintanya. Tak pernah sekali pun kata cinta keluar dari mulut lelaki itu; padahal, ucapan itu sangat dibutuhkan oleh kekasihnya, Manen. Hal itu juga yang membuat Manen merasa ragu akan niat kekasihnya untuk mengawininya, walaupun pemuda itu sudah berusaha memperkenalkan kekasihnya kepada keluarganya dan mempersiapan rumah yang akan mereka tinggali kelak. Manen masih ragu. Ia terlalu lugu hingga belum dapat menerjemahkan sikap Monang sebagai ungkapan pernyataan cintanya. Ia masih menunggu kekasihnya mengucapkan kata cinta. Namun, Monang tidak pernah mengungkapkan kata itu. Sementara itu, perbuatan yang mestinya tidak mereka lakukan lagi –karena keduanya belum sah sebagai suami-istri- terulang kembali dan terus terulang kembali. Sampai akhirnya, Manen hamil.