Proses Coup d'etat Soeharto dalam menggulingkan Soekarno ?
fadhlil07
Creeping Coup D’etat. Begitu para sejarawan sering menyebut proses peralihan kekuasaan dari Presiden Sukarno ke Presiden Soeharto. Istilah creeping coup d’etat berasal dari Bahasa Prancis yang artinya kudeta merangkak. Kenapa kudeta merangkak? Sebab kudeta pengambilalihan kekuasaan Sukarno dilakukan melalui serangkaian proses politik sistematis. Mulai dari meminta Surat perintat sebelas maret (Supersemar), membubarkan PKI, menangkap orang-orang dekat Sukarno, hingga membubarkan Resimen Cakrabirawa. Pembubaran Resimen Cakrabirawa menempati babak penting dalam sejarah penggulingan kekuasaan Sukarno. Seperti diketahui usai Supersemar Soeharto langsung mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang bertendensi pada penggembosan kekuatan loyalis Sukarno. Soeharto misalnya tanpa persetujuan Presiden Sukarno membubarkan PKI yang jelas-jelas bukan kewenangannya. Dia juga menangkapi 15 orang menteri yang dikenal dekat dengan Sukarno. Tak cukup disitu, Soeharto juga mengganti para Sukarnois yang ada di MPRS dan DPRGR dengan pendukungnya. Walhasil secara politik kekuatan Sukarno sudah jauh berkurang. Sukarno dikucilkan dari orang-orang terdekatnya. Di tengah kucilan politik semacam itu, keberadaan Cakrabirawa memberi makna penting bagi kehidupan Sukarno. Saat itu Cakrabirawa hadir lebih dari sekadar penjaga keamanan dan keselamatan presiden. Mereka hadir sebagai teman bercerita sekaligus penghibur saat sepi. Cakrabirawa lah yang secara seksama memperhatikan makanan, minuman, dan obat-obatan yang mesti dikonsumsi Sukarno. Cakrabirawa adalah simbol kekuatan terakhir Sukarno. Peran penting Cakrabirawa agaknya dibaca Soeharto. Dia sadar Sukarno belum bisa dilemahkan hanya dengan menangkapi 15 menteri dan para tokoh Sukarnois. Maka satu-satunya jalan yang harus dilakukan adalah membubarkan Cakrabirawa. Pada 22 Maret 1966 atau 11 hari pascakeluarnya Supersemar, dilakukan rapat gabungan antar empat angkatan bersenjata yang diinisiasi Angkatan Darat. Rapat itu menghasilkan keputusan bersama Nomor: 6/3/1966 tanggal 22 Maret 1966 yang isinya masing-masing angkatan yakni Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Angkatan Kepolisian menarik kesatuannya dari Resimen Cakrabirawa. Selanjutnya berdasarkan keputusan itu Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), Jendral Maraden Pangeban langsung memanggil pimpinan Resimen Cakrabirawa, pimpinan Resimen Kawal Kehormatan, Detasemen Pengawal Chusus, dan Detasemen Pengawal Pribadi. Kepada mereka Pangabean mengatakan tugas menjaga Sukarno sudah selesai. Setiap angkatan yang bertugas di Resimen Cakrabirawa supaya kembali ke angkatan masing-masing. Dia mengakui prajurit Cakrabirawa adalah putera puteri terbaik di setiap angkatan dan telah melaksanakan tugas dengan baik. “Tugas sudah selesai,” kata Pangabean. Pada 23 Maret 1966 Jendral Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat mengeluarkan surat perintah Nomor: SPRIN/75/III/1966 tentang pembentukan Satuan Tugas Polisi Militer Angkatan Darat (Satgas Pomad). Satgas Pomad diawaki prajurit TNI AD. Anggotanya terdirii dari dua Batalyon Pomad Para sebagi inti, dibantu Detasemen Kavaleri, Korps Musik Militer dari Kodam Jaya, dan Batalyon II Raider. Tugas utama mereka menggantikan peran Cakrabirawa mengawal Presiden Sukarno, menjaga keamanan Istana Negara, serta melaksanakan tugas-tugas protokoler kenegaraan. Dari komposisinya jelas Satgas Pomad tidak merepresentasi kekuatan Sukarnois.