Santimahmudsanti
Sosiologi di Indonesia sebenarnya telah berkembang sejak zaman dahulu. Walaupun tidak mempelajari sosiologi sebagai ilmu pengetahuan, para pujangga dan tokoh bangsa Indonesia telah banyak memasukkan unsur-unsur sosiologi dalam ajaran-ajaran mereka. Sri Paduga Mangkunegoro IV, misalnya, telah memasukkan unsur tata hubungan manusia pada berbagai golongan yang berbeda (intergroup relation) dalam ajaran Wulang Reh. Selanjutnya, Ki Hajar Dewantara yang di kenal sebagai peletak dasar pendidikan nasinal Indonesia banyak memperaktekan konsep-konsep penting sosiologi seperti kepemimpinandan kekeluargaan dalam proses pendidikan di Taman Siswa yang didirikannya. Hal yang sama dapat juga kita selidiki dari berbagai karya tentang Indonesia yang di tulis oleh beberapa orang Belanda seperti Snouck Hurgronje dan Van Volenhaven sekitar abad 19. Mereka mengemukakan unsur-unsur sosiologi sebagai kerangka berfikir untuk memahami masyarakat Indonesia. Snouck Hurgronje, misalnya, menggunakan pendekatan sosiologi untuk memahami masyarakat Aceh yang hasilnya di pergunakan oleh pemerintah Belanda untuk menguasai daerah tersebut. Dari uraian tersebut terlihat bahwa sosiologi di Indonesia pada awalnya, yakni sebelum perang dunia ke II hanya di anggap sebagai ilmu pembantu bagi ilmu-ilmu pengetahuan lainnya. Dengan kata lain, sosiologi belum di anggap cukup penting untuk di pelajari dan di gunakan sebagai ilmu pengetahuan, yang terlepas dari ilmu-ilmu pengetahuan yang lain. Secara formal, sekolah tinggi hukum (Rechts Shoge School) di jakarta pada waktu itu menjadi satu-satunya lembaga perguruan tinggi yang mengajarkan mata kuliah sosiologi di indonesia walaupun hanya sebagai pelengkap mata kuliah ilmu hukum. Namun, seiring perjalanan waktu, mata kuliah tersebut kemudian di tiadakan dengan alasan bahwa pengetahuan tentang bentuk dan susunan masyarakat beserta proses-proses yang terjadi di dalamnya tidak di perlukan dalam pelajaran hukum. Dalam perdagangan mereka, yang perlu di ketahui adalah perumusan peraturannya dan sistem-sistem untuk menafsirkannya. Sementara, penyebab terjadinya sebuah peraturan dan tujuan sebuah peraturan dianggap tidaklah penting. lebih detailnya liat aja dsitus internetnya.
Selanjutnya, Ki Hajar Dewantara yang di kenal sebagai peletak dasar pendidikan nasinal Indonesia banyak memperaktekan konsep-konsep penting sosiologi seperti kepemimpinandan kekeluargaan dalam proses pendidikan di Taman Siswa yang didirikannya. Hal yang sama dapat juga kita selidiki dari berbagai karya tentang Indonesia yang di tulis oleh beberapa orang Belanda seperti Snouck Hurgronje dan Van Volenhaven sekitar abad 19. Mereka mengemukakan unsur-unsur sosiologi sebagai kerangka berfikir untuk memahami masyarakat Indonesia. Snouck Hurgronje, misalnya, menggunakan pendekatan sosiologi untuk memahami masyarakat Aceh yang hasilnya di pergunakan oleh pemerintah Belanda untuk menguasai daerah tersebut.
Dari uraian tersebut terlihat bahwa sosiologi di Indonesia pada awalnya, yakni sebelum perang dunia ke II hanya di anggap sebagai ilmu pembantu bagi ilmu-ilmu pengetahuan lainnya. Dengan kata lain, sosiologi belum di anggap cukup penting untuk di pelajari dan di gunakan sebagai ilmu pengetahuan, yang terlepas dari ilmu-ilmu pengetahuan yang lain.
Secara formal, sekolah tinggi hukum (Rechts Shoge School) di jakarta pada waktu itu menjadi satu-satunya lembaga perguruan tinggi yang mengajarkan mata kuliah sosiologi di indonesia walaupun hanya sebagai pelengkap mata kuliah ilmu hukum. Namun, seiring perjalanan waktu, mata kuliah tersebut kemudian di tiadakan dengan alasan bahwa pengetahuan tentang bentuk dan susunan masyarakat beserta proses-proses yang terjadi di dalamnya tidak di perlukan dalam pelajaran hukum. Dalam perdagangan mereka, yang perlu di ketahui adalah perumusan peraturannya dan sistem-sistem untuk menafsirkannya. Sementara, penyebab terjadinya sebuah peraturan dan tujuan sebuah peraturan dianggap tidaklah penting. lebih detailnya liat aja dsitus internetnya.