Sambutan media massa terhadap 80 tahun Sumpah Pemuda 28 Oktober, dan juga terhadap Hari Pahlawan 10 November, jauh kurang meriah dibandingkan dengan 100 tahun pergerakan kebangsaan. Kecuali pidato presiden dan satu dua artikel, nyaris tidak ada siaran yang langsung membicarakan peristiwa 80 tahun lalu itu. Sebagai gantinya dikemukakan berbagai karya anak bangsa akhir-akhir ini yang dianggap sebagai perwujudan cita-cita Sumpah Pemuda, seperti forum dan pendidikan lintas-suku-agama.
Pidato presiden dan juga satu-dua artikel lain itu pun lebih mengedepankan apa yang dianggap makna Sumpah Pemuda sekarang ini daripada menghidupkan kembali peristiwa tersebut secara berdaya-cipta. Presiden sendiri, misalnya, hanya mengatakan bahwa dengan memperingati Sumpah Pemuda, kita menyadari bahwa “semangat kedaerahan dan ikatan primordial yang berlebihan menjadi tantangan bagi persatuan seluruh rakyat Indonesia sebagai bangsa.”
Kuat kesan, peringatan Sumpah Pemuda kali ini hanya merupakan kegiatan rutin belaka; peristiwanya mungkin dinilai jauh kurang penting dibandingkan dengan peristiwa-peristiwa lain dalam sejarah pergerakan kebangsaan kita. Bukannya kita menghendaki perayaan gagah-gagahan seperti yang diadakan oleh pemerintahan Suharto pada 1988. Lewat penerbitan Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Tatabahasa Baku Bahasa Indonesia, Kongres Nasional Sumpah Pemuda dengan banyak perserta asing, serta upacara khidmat di sekolah-sekolah dan kantor pemerintah di seluruh Indonesia, pemerintah masa itu mencanangkan makna Sumpah Pemuda sebagai upaya nasional untuk mengikis warisan penjajah di segala bidang kehidupan bangsa Indonesia.
Puncak Gerakan Kebangsaan Indonesia
Sambutan media massa terhadap 80 tahun Sumpah Pemuda 28 Oktober, dan juga terhadap Hari Pahlawan 10 November, jauh kurang meriah dibandingkan dengan 100 tahun pergerakan kebangsaan. Kecuali pidato presiden dan satu dua artikel, nyaris tidak ada siaran yang langsung membicarakan peristiwa 80 tahun lalu itu. Sebagai gantinya dikemukakan berbagai karya anak bangsa akhir-akhir ini yang dianggap sebagai perwujudan cita-cita Sumpah Pemuda, seperti forum dan pendidikan lintas-suku-agama.
Pidato presiden dan juga satu-dua artikel lain itu pun lebih mengedepankan apa yang dianggap makna Sumpah Pemuda sekarang ini daripada menghidupkan kembali peristiwa tersebut secara berdaya-cipta. Presiden sendiri, misalnya, hanya mengatakan bahwa dengan memperingati Sumpah Pemuda, kita menyadari bahwa “semangat kedaerahan dan ikatan primordial yang berlebihan menjadi tantangan bagi persatuan seluruh rakyat Indonesia sebagai bangsa.”
Kuat kesan, peringatan Sumpah Pemuda kali ini hanya merupakan kegiatan rutin belaka; peristiwanya mungkin dinilai jauh kurang penting dibandingkan dengan peristiwa-peristiwa lain dalam sejarah pergerakan kebangsaan kita. Bukannya kita menghendaki perayaan gagah-gagahan seperti yang diadakan oleh pemerintahan Suharto pada 1988. Lewat penerbitan Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Tatabahasa Baku Bahasa Indonesia, Kongres Nasional Sumpah Pemuda dengan banyak perserta asing, serta upacara khidmat di sekolah-sekolah dan kantor pemerintah di seluruh Indonesia, pemerintah masa itu mencanangkan makna Sumpah Pemuda sebagai upaya nasional untuk mengikis warisan penjajah di segala bidang kehidupan bangsa Indonesia.