Peranan Sejarah indonesia dalam proses integrasi nusantara
hendri1882
Sudah sejak zaman dahulu di Nusantara terjadi Migrasi penduduk yang biasanya dilaksanakan dengan kemauan sendiri dan biaya sendiri (Swakarsa dan Swadana). Penyebabnya antara lain, karena adanya bencana alam, masalah ekonomi, politik, dan sebagainya: 1. Bencana alam, misalnya karena bencana gunung berapi meletus, kerajaan Mataram pindah ke Jawa Timur (Zaman Mpu Sendok pada abad ke-10). 2. Masalah ekonomi, misalnya kebiasaan orang Minangkabau atau orang Batak merantau untuk memperoleh perbaikan ekonominya (orang Minang menyebutnya Harajoan). Pada zaman pelaksanaan tanam paksa (cultuur stelsel) banyak orang pindah dari daerahnya karena kesulitan ekonomi. 3. Masalah politik, misalnya pada zaman Majapahit terjadi migrasi ke Malaka yang dipimpin Paramisora karena adanya perang saudara di Majapahit; Para pelaut Makassar-Bugis dipimpin Karaeng-Galesung, Karaeng Bontomaranu, dan Syekh Yusuf migrasi ke Banten, Jawa Timur serta ke perairan Riau karena tekanan militer Belanda; Zaman Sultan Agung terjadi migrasi karena kegagalan serangan ke Batavia dan memindahkan penduduk ke Jawa barat untuk persiapan perang melawan Belanda. 4. Kuli kontrak, misalnya pada akhir abad ke-19 Belanda menerapkan politik ekonomi liberal sehingga banyak berdiri perkebunan swasta di Jawa dan Luar Jawa (terutama di Sumatera). Untuk keperluan mencukupi buruh (kuli), diadakan pemindahan penduduk dari Jawa ke Sumatera dengan dalih kuli kontrak (sebenarnya pemindahan paksa) terutama di daerah Deli, Lampung dan Kalimantan. Disamping ke daerah perkebunan, juga pemindahan penduduk ke daerah industri, misalnya ke daerah industri gula, teh, kopi dan tembakau yang biasanya hanya antar daerah di Jawa. Migrasi juga terjadi pada kota-kota besar karena faktor pendidikan. Hal itu dimulai sejak diberlakukannya politik Etis pada akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20. Belanda membuka sekolah baik untuk bangsanya sendiri maupun untuk kaum pribumi secara terbatas, misalnya: 1. Tahun 1892 dibuka sekolah Angka Loro. 2. Tahun 1907 dibuka sekolah Desa (Volkschool), kemudian dibuka sekolah Angka Siji. 3. Vervolkschool (lanjutan sekolah dasar). 4. Hollandsch Inlandsch School (HIS) untuk kalangan atas. 5. Mulo (Meen Uit Gebreid Lager Onderwijs) setingkat SMP. 6. AMS (Alegemeene Meiddle School) setingkat SMA. 7. STOVIA (School Teer Opleiding Van Inlander / Arsten). 8. Normal School (Sekolah Guru). Sekolah tersebut hanya terdapat di kota besar sehingga terjadilah migrasi penduduk dari desa ke kota atau dari luar jawa ke jawa. Jumlahnya tidak seberapa, tetapi potensial sebagai ajang pertemuan. Dengan bertemunya kaum terpelajar dari berbagai daerah, berbagai pulau, dan berbagai suku, sangat mendorong terjadinya kesadaran bahwa mereka sebangsa dan setanah air. Dengan kata lain, migrasi karena faktor pendidikan mendorong proses integrasi bangsa Indonesia. Mereka itulah yang nanti menjadi motor gerakan kebangsaan menuju terwujudnya integrasi bangsa.
1. Bencana alam, misalnya karena bencana gunung berapi meletus, kerajaan Mataram pindah ke Jawa Timur (Zaman Mpu Sendok pada abad ke-10). 2. Masalah ekonomi, misalnya kebiasaan orang Minangkabau atau orang Batak merantau untuk memperoleh perbaikan ekonominya (orang Minang menyebutnya Harajoan). Pada zaman pelaksanaan tanam paksa (cultuur stelsel) banyak orang pindah dari daerahnya karena kesulitan ekonomi. 3. Masalah politik, misalnya pada zaman Majapahit terjadi migrasi ke Malaka yang dipimpin Paramisora karena adanya perang saudara di Majapahit; Para pelaut Makassar-Bugis dipimpin Karaeng-Galesung, Karaeng Bontomaranu, dan Syekh Yusuf migrasi ke Banten, Jawa Timur serta ke perairan Riau karena tekanan militer Belanda; Zaman Sultan Agung terjadi migrasi karena kegagalan serangan ke Batavia dan memindahkan penduduk ke Jawa barat untuk persiapan perang melawan Belanda. 4. Kuli kontrak, misalnya pada akhir abad ke-19 Belanda menerapkan politik ekonomi liberal sehingga banyak berdiri perkebunan swasta di Jawa dan Luar Jawa (terutama di Sumatera). Untuk keperluan mencukupi buruh (kuli), diadakan pemindahan penduduk dari Jawa ke Sumatera dengan dalih kuli kontrak (sebenarnya pemindahan paksa) terutama di daerah Deli, Lampung dan Kalimantan. Disamping ke daerah perkebunan, juga pemindahan penduduk ke daerah industri, misalnya ke daerah industri gula, teh, kopi dan tembakau yang biasanya hanya antar daerah di Jawa. Migrasi juga terjadi pada kota-kota besar karena faktor pendidikan. Hal itu dimulai sejak diberlakukannya politik Etis pada akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20. Belanda membuka sekolah baik untuk bangsanya sendiri maupun untuk kaum pribumi secara terbatas, misalnya:
1. Tahun 1892 dibuka sekolah Angka Loro.
2. Tahun 1907 dibuka sekolah Desa (Volkschool), kemudian dibuka sekolah Angka Siji.
3. Vervolkschool (lanjutan sekolah dasar).
4. Hollandsch Inlandsch School (HIS) untuk kalangan atas.
5. Mulo (Meen Uit Gebreid Lager Onderwijs) setingkat SMP.
6. AMS (Alegemeene Meiddle School) setingkat SMA.
7. STOVIA (School Teer Opleiding Van Inlander / Arsten).
8. Normal School (Sekolah Guru). Sekolah tersebut hanya terdapat di kota besar sehingga terjadilah migrasi penduduk dari desa ke kota atau dari luar jawa ke jawa. Jumlahnya tidak seberapa, tetapi potensial sebagai ajang pertemuan. Dengan bertemunya kaum terpelajar dari berbagai daerah, berbagai pulau, dan berbagai suku, sangat mendorong terjadinya kesadaran bahwa mereka sebangsa dan setanah air. Dengan kata lain, migrasi karena faktor pendidikan mendorong proses integrasi bangsa Indonesia. Mereka itulah yang nanti menjadi motor gerakan kebangsaan menuju terwujudnya integrasi bangsa.