dindacast02092016
Pancasila Sebagai Pedoman Dalam Menghadapi Globalisasi Pancasila sebagai dasar negara Indonesia yang sudah ditentukan oleh para pendiri negara ini haruslah menjadi sebuah acuan dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara,berbagai tantangan dalam menjalankan ideologi pancasila juga tidak mampu untuk menggantikankan pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia,pancasila terus dipertahankan oleh segenap bangsa Indonesia sebagai dasar negara,itu membuktikan bahwa pancasila merupakan ideologi yang sejati untuk bangsa Indonesia. Oleh karena itu tantangan di era globalisasi yang bisa mengancam eksistensi kepribadian bangsa,dan kini mau tak mau,suka tak suka ,bangsa Indonesia berada di pusaran arus globalisasi dunia.Tetapi harus diingat bahwa bangsa dan negara Indonesia tak mesti kehilangan jatidiri,kendati hidup ditengah-tengah pergaulan dunia.Rakyat yang tumbuh di atas kepribadian bangsa asing mungkin saja mendatangkan kemajuan,tetapi kemajuan tersebut akan membuat rakyat tersebut menjadi asing dengan dirinya sendiri.Mereka kehilangan jatidiri yang sebenarnya sudah jelas tergambar dari nilai-nilai luhur pancasila. Dalam arus globalisasi saat ini dimana tidak ada lagi batasan-batasan yang jelas antar setiap bangsa Indonesia,rakyat dan bangsa Indonesia harus membuka diri. Dahulu,sesuai dengan tangan terbuka menerima masuknya pengaruh budaya hindu,islam,serta masuknya kaum barat yang akhirnya melahirkan kolonialisme.pengalaman pahit berupa kolonialisme tentu sangat tidak menyenangkan untuk kembali terulang. Patut diingat bahwa pada zaman modern sekarang ini wajah kolonialisme dan imperialisme tidak lagi dalam bentuk fisik, tetapi dalam wujud lain seperti penguasaan politik dan ekonomi. Meski tidak berwujud fisik, tetapi penguasaan politik dan ekonomi nasional oleh pihak asing akan berdampak sama seperti penjajahan pada masa lalu, bahkan akan terasa lebih menyakitkan. Dalam pergaulan dunia yang kian global, bangsa yang menutup diri rapat-rapat dari dunia luar bisa dipastikan akan tertinggal oleh kemajuan zaman dan kemajuan bangsa-bangsa lain. Bahkan, negara sosialis seperti Uni Soviet—yang terkenal anti dunia luar—tidak bisa bertahan dan terpaksa membuka diri. Maka, kini, konsep pembangunan modern harus membuat bangsa dan rakyat Indonesia membuka diri. Dalam upaya untuk meletakan dasar-dasar masyarakat modern, bangsa Indonesia bukan hanya menyerap masuknya modal, teknologi, ilmu pengetahuan, dan ketrampilan, tetapi juga terbawa masuk nilai-nilai sosial politik yang berasal dari kebudayaan bangsa lain. Yang terpenting adalah bagaimana bangsa dan rakyat Indonesia mampu menyaring agar hanya nilai-nilai kebudayaan yang baik dan sesuai dengan kepribadian bangsa saja yang terserap. Sebaliknya, nilai-nilai budaya yang tidak sesuai apalagi merusak tata nilai budaya nasional mesti ditolak dengan tegas. Kunci jawaban dari persoalan tersebut terletak pada Pancasila sebagai pandangan hidup dan dasar negara. Bila rakyat dan bangsa Indonesia konsisten menjaga nilai-nilai luhur bangsa, maka nilai-nilai atau budaya dari luar yang tidak baik akan tertolak dengan sendirinya. Cuma, persoalannya, dalam kondisi yang serba terbuka seperti saat ini justeru jati diri bangsa Indonesia tengah berada pada titik nadir. Bangsa dan rakyat Indonesia kini seakan-akan tidak mengenal dirinya sendiri sehingga budaya atau nilai-nilai dari luar baik yang sesuai maupun tidak sesuai terserap bulat-bulat. Nilai-nilai yang datang dari luar serta-merta dinilai bagus, sedangkan nilai-nilai luhur bangsa yang telah tertanam sejak lama dalam hati sanubari rakyat dinilai usang. Lihat saja sistem demokrasi yang kini tengah berkembang di Tanah Air yang mengarah kepada faham liberalisme. Padahal, negara Indonesia—seperti ditegaskan dalam pidato Bung Karno di depan Sidang Umum PBB—menganut faham demokrasi Pancasila yang berasaskan gotong royong, kekeluargaan, serta musyawarah dan mufakat.
Pancasila sebagai dasar negara Indonesia yang sudah ditentukan oleh para pendiri negara ini haruslah menjadi sebuah acuan dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara,berbagai tantangan dalam menjalankan ideologi pancasila juga tidak mampu untuk menggantikankan pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia,pancasila terus dipertahankan oleh segenap bangsa Indonesia sebagai dasar negara,itu membuktikan bahwa pancasila merupakan ideologi yang sejati untuk bangsa Indonesia.
Oleh karena itu tantangan di era globalisasi yang bisa mengancam eksistensi kepribadian bangsa,dan kini mau tak mau,suka tak suka ,bangsa Indonesia berada di pusaran arus globalisasi dunia.Tetapi harus diingat bahwa bangsa dan negara Indonesia tak mesti kehilangan jatidiri,kendati hidup ditengah-tengah pergaulan dunia.Rakyat yang tumbuh di atas kepribadian bangsa asing mungkin saja mendatangkan kemajuan,tetapi kemajuan tersebut akan membuat rakyat tersebut menjadi asing dengan dirinya sendiri.Mereka kehilangan jatidiri yang sebenarnya sudah jelas tergambar dari nilai-nilai luhur pancasila.
Dalam arus globalisasi saat ini dimana tidak ada lagi batasan-batasan yang jelas antar setiap bangsa Indonesia,rakyat dan bangsa Indonesia harus membuka diri.
Dahulu,sesuai dengan tangan terbuka menerima masuknya pengaruh budaya hindu,islam,serta masuknya kaum barat yang akhirnya melahirkan kolonialisme.pengalaman pahit berupa kolonialisme tentu sangat tidak menyenangkan untuk kembali terulang. Patut diingat bahwa pada zaman modern sekarang ini wajah kolonialisme dan imperialisme tidak lagi dalam bentuk fisik, tetapi dalam wujud lain seperti penguasaan politik dan ekonomi. Meski tidak berwujud fisik, tetapi penguasaan politik dan ekonomi nasional oleh pihak asing akan berdampak sama seperti penjajahan pada masa lalu, bahkan akan terasa lebih menyakitkan.
Dalam pergaulan dunia yang kian global, bangsa yang menutup diri rapat-rapat dari dunia luar bisa dipastikan akan tertinggal oleh kemajuan zaman dan kemajuan bangsa-bangsa lain. Bahkan, negara sosialis seperti Uni Soviet—yang terkenal anti dunia luar—tidak bisa bertahan dan terpaksa membuka diri. Maka, kini, konsep pembangunan modern harus membuat bangsa dan rakyat Indonesia membuka diri. Dalam upaya untuk meletakan dasar-dasar masyarakat modern, bangsa Indonesia bukan hanya menyerap masuknya modal, teknologi, ilmu pengetahuan, dan ketrampilan, tetapi juga terbawa masuk nilai-nilai sosial politik yang berasal dari kebudayaan bangsa lain.
Yang terpenting adalah bagaimana bangsa dan rakyat Indonesia mampu menyaring agar hanya nilai-nilai kebudayaan yang baik dan sesuai dengan kepribadian bangsa saja yang terserap. Sebaliknya, nilai-nilai budaya yang tidak sesuai apalagi merusak tata nilai budaya nasional mesti ditolak dengan tegas. Kunci jawaban dari persoalan tersebut terletak pada Pancasila sebagai pandangan hidup dan dasar negara. Bila rakyat dan bangsa Indonesia konsisten menjaga nilai-nilai luhur bangsa, maka nilai-nilai atau budaya dari luar yang tidak baik akan tertolak dengan sendirinya. Cuma, persoalannya, dalam kondisi yang serba terbuka seperti saat ini justeru jati diri bangsa Indonesia tengah berada pada titik nadir.
Bangsa dan rakyat Indonesia kini seakan-akan tidak mengenal dirinya sendiri sehingga budaya atau nilai-nilai dari luar baik yang sesuai maupun tidak sesuai terserap bulat-bulat. Nilai-nilai yang datang dari luar serta-merta dinilai bagus, sedangkan nilai-nilai luhur bangsa yang telah tertanam sejak lama dalam hati sanubari rakyat dinilai usang. Lihat saja sistem demokrasi yang kini tengah berkembang di Tanah Air yang mengarah kepada faham liberalisme. Padahal, negara Indonesia—seperti ditegaskan dalam pidato Bung Karno di depan Sidang Umum PBB—menganut faham demokrasi Pancasila yang berasaskan gotong royong, kekeluargaan, serta musyawarah dan mufakat.