pemberitaan peristiwa yang berhubungan dengan penyalahgunaan uang negara oleh oknum-oknum aparat merupakan salah satu upaya pencegahan tindak pidana korupsi dalam bidang
Berlakunya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah merupakan tonggak berjalannya otonomi daerah, yang merupakan awal pendelegasian wewenang dari pemerintah pusat (sentralistik) kepada pemerintah daerah (otonomi), yang selanjutnya dirubah dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, selanjutnya dirubah dengan UU No. 23 Tahun 2014, dan yang terakhir adalah UU No. 9 tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 23 Tahun 2014. Pemerintah daerah sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan (vide Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU No. 32 Tahun 2004). Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintah pusat yang meliputi urusan politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional serta urusan agama (Vide Pasal 10 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004). Urusan yustisi (peradilan) adalah urusan pemerintahan pusat, yang dalam prakteknya di daerah masih terdapat perbedaan persepsi dalam masalah penegakan hukum khususnya dalam upaya pemerintah melakukan pemberantasan korupsi. Berbagai hal tentang ketentuan normatif mengenai unsur-unsur pasal yang diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi masih sering terjadi perbedaan penafsiran baik antara aparat penegak hukum di daerah (Polisi, Jaksa dan Hakim) sendiri maupun dengan para pejabat di daerah. Hal tersebut merupakan persoalan yang perlu dikaji kembali sehingga dapat diformulasikan model penegakan hukum di daerah agar lebih efisien dan efektif karena tidak terjadinya bolak-baliknya penanganan perkara tindak pidana korupsi.
penjelasan:
Berlakunya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah merupakan tonggak berjalannya otonomi daerah, yang merupakan awal pendelegasian wewenang dari pemerintah pusat (sentralistik) kepada pemerintah daerah (otonomi), yang selanjutnya dirubah dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, selanjutnya dirubah dengan UU No. 23 Tahun 2014, dan yang terakhir adalah UU No. 9 tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 23 Tahun 2014. Pemerintah daerah sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan (vide Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU No. 32 Tahun 2004). Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintah pusat yang meliputi urusan politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional serta urusan agama (Vide Pasal 10 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004). Urusan yustisi (peradilan) adalah urusan pemerintahan pusat, yang dalam prakteknya di daerah masih terdapat perbedaan persepsi dalam masalah penegakan hukum khususnya dalam upaya pemerintah melakukan pemberantasan korupsi. Berbagai hal tentang ketentuan normatif mengenai unsur-unsur pasal yang diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi masih sering terjadi perbedaan penafsiran baik antara aparat penegak hukum di daerah (Polisi, Jaksa dan Hakim) sendiri maupun dengan para pejabat di daerah. Hal tersebut merupakan persoalan yang perlu dikaji kembali sehingga dapat diformulasikan model penegakan hukum di daerah agar lebih efisien dan efektif karena tidak terjadinya bolak-baliknya penanganan perkara tindak pidana korupsi.
Jawaban:
Tindak pidana korupsi