SEORANG penguasa Arab, Raja Da-zi mengirimkan sebuah tas yang berisi uang, meletakannya di perbatasan negara Ratu Sima. Sang Ratu di Jawa itu membuat Raja Da-zi penasaran karena ketegasannya menghukum mereka yang tak jujur. Tiga tahun berlalu, tas itu tak tersentuh. Orang-orang hanya melihatnya. Tak ada yang berani mengambilnya.
Suatu hari, putra mahkota tanpa sengaja menyentuh tas itu. Ratu Sima marah besar sampai ingin membunuhnya. Namun, para menteri keburu mencegahhnya. “Kesalahanmu terletak di kakimu, karena itu sudah memadai jika kakimu dipotong,” kata sang ratu.
Para menteri kembali menghalanginya. Akhirnya, Ratu Sima hanya memotong ibu jari kaki sang pangeran. Raja Da-zi pun takut dan tak berani menyerang negara sang ratu.
Demikian kesaksian utusan Tiongkok yang diabadikan dalam Sejarah Baru Dinasti Tang. Tercatat pada 674 M, Ratu Sima ditahbiskan sebagai pemimpin perempuan di Ho-Ling. Menariknya dalam catatan itu Raja Da-zi dikaitkan dengan orang Arab.
Siapakah Da-zi atau Ta-shih?
Da-zi atau Ta-shih tak hanya disebut dalam sumber Tiongkok abad ke-7 M. Arkeolog Uka Tjandrasasmita dalam Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota Muslim di Indonesia menjelaskan adanya sumber Jepang dari tahun 748 M. Sumber itu antara lain menceritakan banyak kapal Po-sse dan Ta-shih Kuo yang berlabuh di Khanfu (Kanton).
Demikian pula Chau-ju-kua, seorang pemeriksa pabean di Quanzhou, dalam karyanya Chu-fan-chi (1225 M) yang mengutip karya Chau-ku-fei (1178 M). Karya ini masih menceritakan adanya koloni orang-orang Ta-shih.
Nurni Wahyu Wuryandari, peneliti dari Pusat Studi Cina Universitas Indonesia menjelaskan, penyebutan Da-zi atau Ta-shih muncul juga dalam catatan Sejarah Dinasti Sung. Ta-shih disebutkan ketika catatan itu menjelaskan rute pelayaran dari Tiongkok ke Jawa.
“Mereka ke Jawa mulai dari Guangzou, lalu ke Tumasik, ada perdebatan Tumasik itu Singapura. Dalam konteks ini Singapura cocok. Tapi Ta-shih juga bisa berarti kerajaan Arab sebetulnya. Lalu masuk Sriwijaya, baru ke Jawa. Pulangnya lewat Sriwijaya lagi, Kuala Terengganu dan ke atas kembali ke Tiongkok,” kata Nurni dalam acara Borobudur Writers Cultural and Festival ke-7, di Hotel Manohara, Magelang.
Rita Rose di Meglio juga menyamakan Ta-shih pada abad ke-7 M dengan orang Arab. Dalam "Arab Trade With Indonesia And The Malay Peninsula From the 8th to 16th Century" dalam Islam: The Trade of Asia, Rita menjelaskan bahwa Ta-shih bukan untuk disamakan dengan orang-orang muslim lainnya dari India.
Penafsiran lebih jelas dilakukan oleh W.P. Groeneveldt dalam Nusantara dalam Catatan Tionghoa. Dia menulis, Ta-shih atau olehnya disebut Da-zi, merupakan nama yang umum digunakan untuk bangsa Arab dalam catatan-catatan sejarah Tiongkok.
Lebih jauh Groeneveldt menjelaskan Da-zi berada di pantai barat Sumatra. Lokasi ini tak pernah dijelaskan dalam literatur geografi Tiongkok. Sepertinya tak ada perdagangan atau kontak dengan wilayah itu. Maka, ketika wilayah ini dijelaskan, seringkali disamakan dengan Persia atau mayoritas dengan Arabia.
“Sepertinya, permukiman Arab telah ada di pantai barat Sumatra sejak lama. Akibatnya, sejumlah penulis Tionghoa menyamakan negara ini dengan Arabia,” ujarnya.
Seorang penulis, Dong Xi Yang Kao, bahkan menyatakan cerita Nabi Muhammad terjadi di pantai ini. Groeneveldt pun menilai, raja orang Arab yang tertera dalam catatan Tiongkok itu mungkin hanyalah pemimpin permukiman Arab di pulau itu saja.
Letak perkampungan orang Arab
Menurut Uka, letak perkampungan awal orang-orang Arab itu sulit dipastikan mengingat penafsiran dan penempatan Ta-shih dari masa ke masa berbeda-beda.
Salah satunya Haiguo Tuzhi, karya sarjana Tiongkok, Wei Yuan yang terbit pada 1844. Dia sudah mencantumkan peta Eropa yang benar berdasarkan sumber Eropa. Namun, dia masih mencatumkan peta historis Asia Tenggara dalam model yang lama. Petanya membagi Jawa menjadi dua buah pulau terpisah. Dia meletakkan orang Da-zi sejauh lima hari pelayaran dari pantai
SEORANG penguasa Arab, Raja Da-zi mengirimkan sebuah tas yang berisi uang, meletakannya di perbatasan negara Ratu Sima. Sang Ratu di Jawa itu membuat Raja Da-zi penasaran karena ketegasannya menghukum mereka yang tak jujur. Tiga tahun berlalu, tas itu tak tersentuh. Orang-orang hanya melihatnya. Tak ada yang berani mengambilnya.
Suatu hari, putra mahkota tanpa sengaja menyentuh tas itu. Ratu Sima marah besar sampai ingin membunuhnya. Namun, para menteri keburu mencegahhnya. “Kesalahanmu terletak di kakimu, karena itu sudah memadai jika kakimu dipotong,” kata sang ratu.
Para menteri kembali menghalanginya. Akhirnya, Ratu Sima hanya memotong ibu jari kaki sang pangeran. Raja Da-zi pun takut dan tak berani menyerang negara sang ratu.
Demikian kesaksian utusan Tiongkok yang diabadikan dalam Sejarah Baru Dinasti Tang. Tercatat pada 674 M, Ratu Sima ditahbiskan sebagai pemimpin perempuan di Ho-Ling. Menariknya dalam catatan itu Raja Da-zi dikaitkan dengan orang Arab.
Siapakah Da-zi atau Ta-shih?
Da-zi atau Ta-shih tak hanya disebut dalam sumber Tiongkok abad ke-7 M. Arkeolog Uka Tjandrasasmita dalam Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota Muslim di Indonesia menjelaskan adanya sumber Jepang dari tahun 748 M. Sumber itu antara lain menceritakan banyak kapal Po-sse dan Ta-shih Kuo yang berlabuh di Khanfu (Kanton).
Demikian pula Chau-ju-kua, seorang pemeriksa pabean di Quanzhou, dalam karyanya Chu-fan-chi (1225 M) yang mengutip karya Chau-ku-fei (1178 M). Karya ini masih menceritakan adanya koloni orang-orang Ta-shih.
Nurni Wahyu Wuryandari, peneliti dari Pusat Studi Cina Universitas Indonesia menjelaskan, penyebutan Da-zi atau Ta-shih muncul juga dalam catatan Sejarah Dinasti Sung. Ta-shih disebutkan ketika catatan itu menjelaskan rute pelayaran dari Tiongkok ke Jawa.
“Mereka ke Jawa mulai dari Guangzou, lalu ke Tumasik, ada perdebatan Tumasik itu Singapura. Dalam konteks ini Singapura cocok. Tapi Ta-shih juga bisa berarti kerajaan Arab sebetulnya. Lalu masuk Sriwijaya, baru ke Jawa. Pulangnya lewat Sriwijaya lagi, Kuala Terengganu dan ke atas kembali ke Tiongkok,” kata Nurni dalam acara Borobudur Writers Cultural and Festival ke-7, di Hotel Manohara, Magelang.
Rita Rose di Meglio juga menyamakan Ta-shih pada abad ke-7 M dengan orang Arab. Dalam "Arab Trade With Indonesia And The Malay Peninsula From the 8th to 16th Century" dalam Islam: The Trade of Asia, Rita menjelaskan bahwa Ta-shih bukan untuk disamakan dengan orang-orang muslim lainnya dari India.
Penafsiran lebih jelas dilakukan oleh W.P. Groeneveldt dalam Nusantara dalam Catatan Tionghoa. Dia menulis, Ta-shih atau olehnya disebut Da-zi, merupakan nama yang umum digunakan untuk bangsa Arab dalam catatan-catatan sejarah Tiongkok.
Lebih jauh Groeneveldt menjelaskan Da-zi berada di pantai barat Sumatra. Lokasi ini tak pernah dijelaskan dalam literatur geografi Tiongkok. Sepertinya tak ada perdagangan atau kontak dengan wilayah itu. Maka, ketika wilayah ini dijelaskan, seringkali disamakan dengan Persia atau mayoritas dengan Arabia.
“Sepertinya, permukiman Arab telah ada di pantai barat Sumatra sejak lama. Akibatnya, sejumlah penulis Tionghoa menyamakan negara ini dengan Arabia,” ujarnya.
Seorang penulis, Dong Xi Yang Kao, bahkan menyatakan cerita Nabi Muhammad terjadi di pantai ini. Groeneveldt pun menilai, raja orang Arab yang tertera dalam catatan Tiongkok itu mungkin hanyalah pemimpin permukiman Arab di pulau itu saja.
Letak perkampungan orang Arab
Menurut Uka, letak perkampungan awal orang-orang Arab itu sulit dipastikan mengingat penafsiran dan penempatan Ta-shih dari masa ke masa berbeda-beda.
Salah satunya Haiguo Tuzhi, karya sarjana Tiongkok, Wei Yuan yang terbit pada 1844. Dia sudah mencantumkan peta Eropa yang benar berdasarkan sumber Eropa. Namun, dia masih mencatumkan peta historis Asia Tenggara dalam model yang lama. Petanya membagi Jawa menjadi dua buah pulau terpisah. Dia meletakkan orang Da-zi sejauh lima hari pelayaran dari pantai