Mengapa budaya korupsi , kolusi, nepotisme sulit dihilangkan di indonesia
Septianipartii
Karena kurangnya pengawasan dan hukuman bagi para koruptor sangat ringan
0 votes Thanks 0
VegarsKarena publik Indonesia ...>> terbiasa disuguhi fenomena korupsi di hampir semua ranah dan persoalan. Ini berarti budaya publik di negeri ini tak lagi sehat dalam memandang persoalan korupsi. Realitas sosial kita menunjukkan perilaku budaya korupsi telah melahirkan budaya baru, yakni: culas, main belakang dan berbohong.
Pertanyaan kritisnya, mengapa korupsi dibenci tapi tetap saja marak dilakukan banyak orang di negeri ini ? Banyak faktor yang melingkari diantaranya : Pertama, nihilnya budaya rasa malu korupsi, padahal malu merupakan terapi psikologis untuk menurunkan derajat korupsi. Semakin tinggi rasa malu seseorang semakin tinggi pula tingkat kontrol psikologis untuk takut korupsi. Dalam hal ini kita dapat belajar dari budaya Jepang yang mengunggulkan budaya rasa malu sebagai cara mengangkat derajat bangsa menjadi bangsa yang unggul di atas bangsa-bangsa yang lain.Menurut laporan News Week pada tahun 2002 yang lalu sedikitnya 30.000 orang Jepang mati dengan jalan bunuh diri dan diduga keras penyebab tingginya angka itu adalah faktor "malu".
Kedua, lemahnya sanksi moral di tengah masyarakat terhadap koruptor. Tengoklah, realitas di masyarakat para koruptor kakap justru dipuji dan ditokohkan dalam masyarakat. Bagaimana tidak, karena koruptor biasanya dermawan di tengah masyarakat, dari donatur terbesar tempat ibadah, donatur utama panti asuhan, donatur tetap perayaan sosial di lingkungannya dan lain-lain. Artinya di satu sisi masyarakat membenci korupsi, tapi di sisi yang lain mereka amat menghargai, menghormati bahkan membutuhkan koruptor. Tak kalah pentingnya para koruptor di tengah masyarakat pada umumnya teramat lihai menarik simpati.
Dalam konteks budaya sesungguhnya masyarakat kita munafik dan penuh pertimbangan moral dalam memberi sanksi sosial. Seandainya masyarakat kita tidak munafik, Untuk menumbuh kembangkan rasa malu korupsi, budaya dapat diwujudkan dalam bentuk yang sederhana, yakni: perlunya mewujudkan budaya solidaritas anti korupsi sebagai bentuk rasa cinta negara Indonesia (nasionalisme) agaknya kita perlu menggelorakan slogan-slogan reflektif anti korupsi misalnya: "koruptor tak nasionalis", "koruptor adalah penjajah", "koruptor adalah teroris", "koruptor tidak beriman" dan lain-lain. Sosialisasi gagasan ini penting dilakukan dan diindoktrinasikan ke dalam semua level masyarakat terutama lembaga-lembaga pendidikan formal maupun informal dari pendidikan dasar, menengah dan perguruan tinggi. Sebagai bagian dari mewujudkan nilai-nilai nasionalisme di era kekinian.
Realitas sosial kita menunjukkan perilaku budaya korupsi telah melahirkan budaya baru, yakni: culas, main belakang dan berbohong.
Pertanyaan kritisnya, mengapa korupsi dibenci tapi tetap saja marak dilakukan banyak orang di negeri ini ? Banyak faktor yang melingkari diantaranya :
Pertama, nihilnya budaya rasa malu korupsi, padahal malu merupakan terapi psikologis untuk menurunkan derajat korupsi. Semakin tinggi rasa malu seseorang semakin tinggi pula tingkat kontrol psikologis untuk takut korupsi. Dalam hal ini kita dapat belajar dari budaya Jepang yang mengunggulkan budaya rasa malu sebagai cara mengangkat derajat bangsa menjadi bangsa yang unggul di atas bangsa-bangsa yang lain.Menurut laporan News Week pada tahun 2002 yang lalu sedikitnya 30.000 orang Jepang mati dengan jalan bunuh diri dan diduga keras penyebab tingginya angka itu adalah faktor "malu".
Kedua, lemahnya sanksi moral di tengah masyarakat terhadap koruptor. Tengoklah, realitas di masyarakat para koruptor kakap justru dipuji dan ditokohkan dalam masyarakat. Bagaimana tidak, karena koruptor biasanya dermawan di tengah masyarakat, dari donatur terbesar tempat ibadah, donatur utama panti asuhan, donatur tetap perayaan sosial di lingkungannya dan lain-lain. Artinya di satu sisi masyarakat membenci korupsi, tapi di sisi yang lain mereka amat menghargai, menghormati bahkan membutuhkan koruptor. Tak kalah pentingnya para koruptor di tengah masyarakat pada umumnya teramat lihai menarik simpati.
Dalam konteks budaya sesungguhnya masyarakat kita munafik dan penuh pertimbangan moral dalam memberi sanksi sosial. Seandainya masyarakat kita tidak munafik, Untuk menumbuh kembangkan rasa malu korupsi, budaya dapat diwujudkan dalam bentuk yang sederhana, yakni: perlunya mewujudkan budaya solidaritas anti korupsi sebagai bentuk rasa cinta negara Indonesia (nasionalisme) agaknya kita perlu menggelorakan slogan-slogan reflektif anti korupsi misalnya: "koruptor tak nasionalis", "koruptor adalah penjajah", "koruptor adalah teroris", "koruptor tidak beriman" dan lain-lain.
Sosialisasi gagasan ini penting dilakukan dan diindoktrinasikan ke dalam semua level masyarakat terutama lembaga-lembaga pendidikan formal maupun informal dari pendidikan dasar, menengah dan perguruan tinggi. Sebagai bagian dari mewujudkan nilai-nilai nasionalisme di era kekinian.