natalia174
Pagi itu, Jumat 1 Oktober 1965 suara Letnan Kolonel Untung terdengar hampir di seluruh sudut kampung di Jakarta bahkan mungkin ke semua pelosok negeri. Melalui Radio Republik Indonesia, Untung yang juga Komandan Grup I Batalyon Tjakrabirawa mengumumkan pembentukan Dewan Revolusi Indonesia.
Beberapa jam sebelumnya, dia memimpin penculikan dan pembunuhan terhadap enam jenderal dan seorang perwira pertama TNI AD.
"Demi keselamatan Angkatan Darat dan Angkatan Bersenjata pada umumnya, pada waktu tengah malam hari Kamis tanggal 30 September 1965 di Ibukota Republik Indonesia Jakarta, telah dilangsungkan gerakan pembersihan terhadap anggota-anggota apa yang menamakan dirinya "Dewan Jenderal" yang telah merencanakan cup menjelang Hari Angkatan Bersenjata 5 Oktober 1965," kata Untung saat mengumumkan pembentukan Dewan Revolusi Indonesia.
Untung menutup pengumumannya di RRI dengan membacakan susunan Dewan Revolusi Indonesia. Untung yang berpangkat Letnan Kolonel diangkat sebagai Komandan. Dia membawahi seorang jenderal yakni, Brigdjen Supardjo yang ditunjuk sebagai wakil komandan.
Siapa sebenarnya Letnan Kolonel Untung yang disebut sebagai pimpinan Gerakan 30 September/PKI?
Letnan Kolonel Untung lahir di Desa Sruni, Kedungbajul, Kebumen, Jawa Tengah pada 3 Juli 1926 dengan nama kecil Kusmindar alias Kusman. Mbah Sadeli (85), warga RT 01/ RW 02, Dusun Kedung Bajul, Desa Bojongsari, Kecamatan Alian, Kabupaten Kebumen menceritakan masa kecil Kusmindar
Orangtuanya berpisah saat Kusmindar berusia 10 tahun. Untung kecil lalu pindah ke Solo dan diasuh oleh adik ayahnya, Samsuri yang tak punya anak. Karena itu, ia lebih dikenal sebagai Untung bin Samsuri.
"Iya kenal, dulu main bareng, tapi ketika umur 10 tahun Kusmindar pindah ke Solo karena dibawa Pak Lik nya yang namanya Samsuri, bapaknya Kus namanya Adullah Mukri, tapi karena adiknya pak Abdullah Mukri itu tidak punya anak makanya Kusmindar diminta menjadi anaknya dan dibawa ke Solo," kata Sadeli kepada detikcom, Rabu (27/9/2017).
Orangtua angkat Untung, Samsuri dan istri bekerja pada seorang priyayi keturunan trah Kasunan, Ibu Wergoe Prajoko, yang tinggal di daerah Keparen, Solo. Pada 1943, saat berusia 18 tahun, Untung mendaftar Heiho, organisasi militer di masa pendudukan Jepang.
Selang dua tahun Jepang kalah melawan Sekutu dalam Perang Dunia II. Untung kemudian bergabung dengan Batalion Sudigdo yang bermarkas di Wonogiri, Jawa Tengah. Pada 1947 Batalyon Sudigdo yang berada di bawah Divisi Panembahan Senopati berhasil ditarik menjadi pendukung Partai Komunis Indonesia.
Beberapa jam sebelumnya, dia memimpin penculikan dan pembunuhan terhadap enam jenderal dan seorang perwira pertama TNI AD.
"Demi keselamatan Angkatan Darat dan Angkatan Bersenjata pada umumnya, pada waktu tengah malam hari Kamis tanggal 30 September 1965 di Ibukota Republik Indonesia Jakarta, telah dilangsungkan gerakan pembersihan terhadap anggota-anggota apa yang menamakan dirinya "Dewan Jenderal" yang telah merencanakan cup menjelang Hari Angkatan Bersenjata 5 Oktober 1965," kata Untung saat mengumumkan pembentukan Dewan Revolusi Indonesia.
Untung menutup pengumumannya di RRI dengan membacakan susunan Dewan Revolusi Indonesia. Untung yang berpangkat Letnan Kolonel diangkat sebagai Komandan. Dia membawahi seorang jenderal yakni, Brigdjen Supardjo yang ditunjuk sebagai wakil komandan.
Siapa sebenarnya Letnan Kolonel Untung yang disebut sebagai pimpinan Gerakan 30 September/PKI?
Letnan Kolonel Untung lahir di Desa Sruni, Kedungbajul, Kebumen, Jawa Tengah pada 3 Juli 1926 dengan nama kecil Kusmindar alias Kusman. Mbah Sadeli (85), warga RT 01/ RW 02, Dusun Kedung Bajul, Desa Bojongsari, Kecamatan Alian, Kabupaten Kebumen menceritakan masa kecil Kusmindar
Orangtuanya berpisah saat Kusmindar berusia 10 tahun. Untung kecil lalu pindah ke Solo dan diasuh oleh adik ayahnya, Samsuri yang tak punya anak. Karena itu, ia lebih dikenal sebagai Untung bin Samsuri.
"Iya kenal, dulu main bareng, tapi ketika umur 10 tahun Kusmindar pindah ke Solo karena dibawa Pak Lik nya yang namanya Samsuri, bapaknya Kus namanya Adullah Mukri, tapi karena adiknya pak Abdullah Mukri itu tidak punya anak makanya Kusmindar diminta menjadi anaknya dan dibawa ke Solo," kata Sadeli kepada detikcom, Rabu (27/9/2017).
Orangtua angkat Untung, Samsuri dan istri bekerja pada seorang priyayi keturunan trah Kasunan, Ibu Wergoe Prajoko, yang tinggal di daerah Keparen, Solo. Pada 1943, saat berusia 18 tahun, Untung mendaftar Heiho, organisasi militer di masa pendudukan Jepang.
Selang dua tahun Jepang kalah melawan Sekutu dalam Perang Dunia II. Untung kemudian bergabung dengan Batalion Sudigdo yang bermarkas di Wonogiri, Jawa Tengah. Pada 1947 Batalyon Sudigdo yang berada di bawah Divisi Panembahan Senopati berhasil ditarik menjadi pendukung Partai Komunis Indonesia.