Latar belakang pancasila dipilih sebagai dasar negara
egipramana
Setelah sekian lama para tokoh Indonesia mendesak kemerdekaan pada Jepang, menyebabkan Jepang memberi jalan pada Indonesia untuk merumuskan dasar negara sebelum tercapainya kemerdekaan. Karena dasar negara merupakan hal yang paling vital bagi suatu negara. Dengan setengah hati, Jepang mengizinkan dibentuknya Dokuritsu Junbi Cosakai atau BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada tanggal 1 Juni 1945. BPUPKI ini diketuai oleh Dr. Radjiman Widiodiningrat. Ir. Soekarno memberikan pidato pada sidang I BPUPKI . pada pidato tersebut Ir. Soekarno menyampaikan gagasannya mengenai dasar falsafah negara. Gagasan tersebut berisi lima poin atau sila yang terdiri dari kebangsaan Indonesia, inetrnasionalisme atau perikemanusiaan, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial, dan ketuhanan yang berkebudayaan. Sebagai kelanjutan mengenai sidang tersebut, Dr. Radjiman Widiodiningrat selaku ketua BPUPKI membentuk sebuah tim yang terdiri dari Ir. Soekarno yang berlaku sebagai ketua tim tersebut dan beranggotakan Wachid Hasjim, Drs. Moh. Hatta, Otto Iskandar Dinata, A. Maramis, Mr. Mohammad Yamin, Ki Bagus Hadikusumo, dan Sutardjo Kartohadikusumo yang disebut sebagai “panitia delapan” yang bertugas menampung berbagai konsep mengenai dasar falsafah negara. Lalu, pada tanggal 22 Juni 1945 di gedung Jawa Hookokai, Soekarno mengumpulkan ketiga puluh delapan anggota BPUPKI dan disepakati dibentuknya ”Panitia Sembilan” yang bertujuan untuk menyusun rancangan Pembukaan Hukum Dasar. Panitia Sembilan beranggotakan oleh Ir. Soekarno, Wachid Hasjim, Drs. Moh. Hatta, Subardjo, A. Maramis, Mr. Mohammad Yamin, Kahar Muzakkar, Abikusno Tjokrosuyoso dan H. Agus Salim. Anggota panitia delapan sedikit mengalami perubahan dalam panitia sembilan. Hal ini merupakan ususlan dari Ir. Soekarno untuk menambah jumlah representasi kelompok Nasionalis-Islam. Hasil dari rapat Panitia Sembilan adalah “Rancangan Dasar Negara” atau yang lebih dikenal dengan “Piagam Jakarta”. Piagam Jakarta tersebut berisi (1) Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at syari’at islam bagi pemeluk – pemeluknya (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab (3) Persatuan Indonesia (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan (5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (Somantri 2006). Hasil dari Piagam Jakarta ini tidak diketahui oleh Jepang. Karena hal ini terjadi di luar sidang BPUPKI. Oleh karena itu Ir. Soekarno meminta maaf dan mengklarifikasi hal tersebut. Ia beranggapan jika Jepang mengetahui hasil Piagam Jakarta, maka Jepang akan menghambat proses Indonesia menuju merdeka. Pada saat itu juga Ir. Soekarno mendesak anggota BPUPKI agar segera merumuskan Undang – Undang dasar yan menjadi pokok segala aturan hukum di kemerdekaan Indonesia. Namun perdebatan mengenai hasil Piagam Jakarta mulai mencuat. Hal ini disebabkan oleh anggapan bahwa hasil dari Piagam Jakarta sila pertama memihak pada agama tertentu sehingga terjadi perpecahan. Sehingga pada awal Agustus 1945, dilakukan upaya pematanagn Rancangan Undang – Undang oleh para tokoh bangsa. Sementara itu, Moh. Hattta dan Teuku M. Hasan berusaha meyakinkan tokoh pergerakan islam untuk mengadakan perubahan sila pertama pada Piagam Jakarta. Karena, Menurut Hatta kemerdekaan sulit tercapai, atau jika tercapai pun bangsa Indonesia tetap mengalami perepecahan jika Piagam Jakarta tersebut tidak diubah (Somantri 2006). Sehari setelah kemerdekaan Indonesia, yakni pada tanggal 18 Agustus 1945 diadakan sidang I PPKI. Dalam sidang tersebut disahkanlah Undang – Undang Dasar. Dalam pembukaan Undang – Undang Dasar tersebut telah diperbaiki Lima Sila seperti yang tercantum dalam Piagam Jakarta, namun terdapat perubahan sila pertama. Lima sila tersebut berbunyi (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab (3) Persatuan Indonesia (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan (5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kelima sila tersebut terkenal dengan sebutan Pancasila.