Lakukan analisis mengeenai adanya perubahan budaya pada masa kolonial a.memakai pakaina ala barat b.menggunakan bahasa inggris dan belanda c.seni bangunan dan arsitektur eropa.
ramadhana21
Kehidupan Keagamaan dan Sosial Budaya a. Kebijakan Pemerintah Kolonial terhadap Kehidupan Agama Kedatangan bangsa-bangsa Eropa ke Indonesia berkaitan dengan penyebaran dua aliran besar agama yaitu, Kristen Katolik dan Kristen Protestan. Kedatangan agama Protestan di Indonesia dibawa oleh para Zending atau penyebar Protestan, terutama orang-orang Belanda yang tergabung dalam Nederlandsch Zendelings Genootschap (NZG). Pada Masa Kolonial, pemerintah Belanda mengeluarkan kebijaksanaan yang menghambat perkembangan agama, terutama islam. Kebijakan di bidang sosial-budaya keagamaan dianggap tidak membahayakan kedudukan pemerintah kolonial. Akibat dari kebijakan pemerintah kolonial dalambidang keagamaan, terutama Islam, telah menimbulkan kebangkitan Islam yang ditandai dengan munculnya pemikiran-pemikiran pembaruan dalam Islam.
b. Kedudukan dan Kehidupan Perempuan pada Masa Kolonial Kedudukan kaum perempuan pada abad ke-19 masih rendah dibandingkan dengan kedudukan laki-laki. Keterlibatan kaum wanita dalam pergerakan nasional pada mulanya hanya berupa pergerakan sosial yang memperjuangkan kedudukan wanita dalam masyarakat. Pergerakan emansipasi wanita dipelopori oleh R.A. Kartini, Dewi Sartika, Maria Walanda Maramis. Pada abad ke-19, tradisi pembelengguan perempuan masih cukup kuat. Menurut Wiriaatmadj, Tradisi pingitan tersebut lebih menonjol pada anak gadis dari golongan bangsawan atau priyayi. Setelah dibukanya daerah perkebunan menurut sistem ekonomi kapitalis, kegiatan prostitusi di tempat itu makin marak. Penderitaan yang berat yang dialami kaum perempuan di perkebunan semakin diperkuat oleh diberlakukannya peraturan yang dijalankan oleh pemerintah kolonial Belanda. Linda Crystanty menyatakan bahwa kedatangan para pria Eropa sebagai pemilik modal di daerah perkebunan yang tidak diikuti istri-istri mereka berpengaruh terhadap kehidupan perempuan pribumi di lingkungan perkebunan. Melaluinyai, orang Eropa dapat lebih mudah mempelajari kebudayaan pribumi. Namun demikian, posisi mereka tetap rawan. Sepeningga tuannya, para nyai dihadapkan pada pilihan sulit. Menurut Cahyo Budi Utomo, secara biologis ada dua jenis gerakan perempuan pada masa-masa awal abad XX, yakni organisasi lokal kedaerahan dan organisai keagamaan. Putri Mardiko merupakan organisasi keputrian tertua yang merupakan bagian dari Budi Utomo. Berdiri pada 1912. Tujuan : memberikan bantuan, bimbingan, dan penerangan pada gadis pribumi dalam menuntut pelajaran dan menyatakan pendapat di muka bumi. Setalah Putri Mardiko berdiri, lahirlah berbagai organisasi perempuan, baik yang dibentuk sendiri oleh kaum perempuan maupun organisai yang beranggotakan kaum pria. Salah satu organisai keagamaan yang memerhatiakan masalah kedudukan perempuan adalah organisai Aisyiyah. Menurut Sukanti Suryocondro dalam bukunya yang ditulis oleh T.O. Ihronmi yang berjudul Kajian Perempuan dalam Pembangunan (1995), organisai-organisasi tersebut bergerak dalam bidang sosial dan kultural, yaitu memperjuangkan nilai-nilai beru dalam kehidupan keluarga dan masyarakat.
a. Kebijakan Pemerintah Kolonial terhadap Kehidupan Agama
Kedatangan bangsa-bangsa Eropa ke Indonesia berkaitan dengan penyebaran dua aliran besar agama yaitu, Kristen Katolik dan Kristen Protestan. Kedatangan agama Protestan di Indonesia dibawa oleh para Zending atau penyebar Protestan, terutama orang-orang Belanda yang tergabung dalam Nederlandsch Zendelings Genootschap (NZG).
Pada Masa Kolonial, pemerintah Belanda mengeluarkan kebijaksanaan yang menghambat perkembangan agama, terutama islam. Kebijakan di bidang sosial-budaya keagamaan dianggap tidak membahayakan kedudukan pemerintah kolonial. Akibat dari kebijakan pemerintah kolonial dalambidang keagamaan, terutama Islam, telah menimbulkan kebangkitan Islam yang ditandai dengan munculnya pemikiran-pemikiran pembaruan dalam Islam.
b. Kedudukan dan Kehidupan Perempuan pada Masa Kolonial
Kedudukan kaum perempuan pada abad ke-19 masih rendah dibandingkan dengan kedudukan laki-laki. Keterlibatan kaum wanita dalam pergerakan nasional pada mulanya hanya berupa pergerakan sosial yang memperjuangkan kedudukan wanita dalam masyarakat.
Pergerakan emansipasi wanita dipelopori oleh R.A. Kartini, Dewi Sartika, Maria Walanda Maramis. Pada abad ke-19, tradisi pembelengguan perempuan masih cukup kuat. Menurut Wiriaatmadj, Tradisi pingitan tersebut lebih menonjol pada anak gadis dari golongan bangsawan atau priyayi.
Setelah dibukanya daerah perkebunan menurut sistem ekonomi kapitalis, kegiatan prostitusi di tempat itu makin marak. Penderitaan yang berat yang dialami kaum perempuan di perkebunan semakin diperkuat oleh diberlakukannya peraturan yang dijalankan oleh pemerintah kolonial Belanda.
Linda Crystanty menyatakan bahwa kedatangan para pria Eropa sebagai pemilik modal di daerah perkebunan yang tidak diikuti istri-istri mereka berpengaruh terhadap kehidupan perempuan pribumi di lingkungan perkebunan.
Melaluinyai, orang Eropa dapat lebih mudah mempelajari kebudayaan pribumi. Namun demikian, posisi mereka tetap rawan. Sepeningga tuannya, para nyai dihadapkan pada pilihan sulit. Menurut Cahyo Budi Utomo, secara biologis ada dua jenis gerakan perempuan pada masa-masa awal abad XX, yakni organisasi lokal kedaerahan dan organisai keagamaan.
Putri Mardiko merupakan organisasi keputrian tertua yang merupakan bagian dari Budi Utomo. Berdiri pada 1912. Tujuan : memberikan bantuan, bimbingan, dan penerangan pada gadis pribumi dalam menuntut pelajaran dan menyatakan pendapat di muka bumi.
Setalah Putri Mardiko berdiri, lahirlah berbagai organisasi perempuan, baik yang dibentuk sendiri oleh kaum perempuan maupun organisai yang beranggotakan kaum pria. Salah satu organisai keagamaan yang memerhatiakan masalah kedudukan perempuan adalah organisai Aisyiyah.
Menurut Sukanti Suryocondro dalam bukunya yang ditulis oleh T.O. Ihronmi yang berjudul Kajian Perempuan dalam Pembangunan (1995), organisai-organisasi tersebut bergerak dalam bidang sosial dan kultural, yaitu memperjuangkan nilai-nilai beru dalam kehidupan keluarga dan masyarakat.