Bangsa Tiongkok yang datang ke Indonesia kebanyakan bertujuan untuk berdagang, mereka melakukan perdagangan dengan Indonesia yang terkenal dengan rempah-rempah dan tembakau yang menjadi komoditas mahal di dunia.
Setelah beberapa lama, banyak yang memutuskan untuk tinggal dan menetap di Indonesia dan menikah dengan masyarakat asli. Pada masa peralihan kekuasaan, Belanda menjadikan para pedagang Tiongkok ini sebagai kelas yang memungut pajak, mengambil insentif dari warga, dan perantara perdagangan.
Imbalan yang mereka terima antara lain adalah hak mereka untuk tetap berdagang dan memperjualbelikan kuli pribumi ke negara Tiongkok. Hal ini disinyalir memperlihatkan kepada masyarakat Indonesia bahwa bangsa Tiongkok lah yang merepresentasikan penindasan kepada mereka sehngga muncul suatu stigmatisasi dan sentimen negatif.
Pada masa setelah kemerdekaan dapat dikatakan hubungan antara pribumi dan etnis Tionghoa juga terus berlanjut dengan rasa saling curiga. Kedudukan warga Tionghoa menjadi kelompok yang disisihkan dan selalu dicurigai sebagai bagian dari rezim Soekarno yang pro Komunisme.
Puncak dari segala sentimen ini dapat terlihat pada tragedi berdarah Mei 1998 tersebut. Hal ini kemungkinan besar terjadi akibat kecemburuan ekonomi dan faktor keyakinan dan rasial dalam kasus ini. Konsep scapegoating atau pengkambing-hitaman juga dapat diterapkan dalam kasus pemerkosaan dan kekerasan terhadap etnis Tionghoa pada Mei 1998 ini.
0 votes Thanks 0
Starkstities
ga ada sangkut pautnya sama penurunan presiden waktu itu? dan mereka cuma jadi kambing hitam?
Bangsa Tiongkok yang datang ke Indonesia kebanyakan bertujuan untuk berdagang, mereka melakukan perdagangan dengan Indonesia yang terkenal dengan rempah-rempah dan tembakau yang menjadi komoditas mahal di dunia.
Setelah beberapa lama, banyak yang memutuskan untuk tinggal dan menetap di Indonesia dan menikah dengan masyarakat asli. Pada masa peralihan kekuasaan, Belanda menjadikan para pedagang Tiongkok ini sebagai kelas yang memungut pajak, mengambil insentif dari warga, dan perantara perdagangan.
Imbalan yang mereka terima antara lain adalah hak mereka untuk tetap berdagang dan memperjualbelikan kuli pribumi ke negara Tiongkok. Hal ini disinyalir memperlihatkan kepada masyarakat Indonesia bahwa bangsa Tiongkok lah yang merepresentasikan penindasan kepada mereka sehngga muncul suatu stigmatisasi dan sentimen negatif.
Pada masa setelah kemerdekaan dapat dikatakan hubungan antara pribumi dan etnis Tionghoa juga terus berlanjut dengan rasa saling curiga. Kedudukan warga Tionghoa menjadi kelompok yang disisihkan dan selalu dicurigai sebagai bagian dari rezim Soekarno yang pro Komunisme.
Puncak dari segala sentimen ini dapat terlihat pada tragedi berdarah Mei 1998 tersebut. Hal ini kemungkinan besar terjadi akibat kecemburuan ekonomi dan faktor keyakinan dan rasial dalam kasus ini. Konsep scapegoating atau pengkambing-hitaman juga dapat diterapkan dalam kasus pemerkosaan dan kekerasan terhadap etnis Tionghoa pada Mei 1998 ini.