Kebutuhan untuk berkontribusi atau lingkungan serta mencapai potensi diri sepenuhnya
Chacabilandonesia selama ini mengalami ketergantungan terhadap sumber energi jenis fosil seperti minyak bumi, gas alam, dan batubara dalam memenuhi kebutuhan energi nasional. Jumlah pasokan dan cadangan minyak bumi di Indonesia yang semakin menipis disertai oleh kenaikan harga minyak bumi dunia yang meningkat tajam menjadi permasalahan nasional yang semakin dirasakan dewasa ini. Selain itu, dampak lingkungan yang ditimbulkan akibat pembakaran sumber energi fosil menjadi persoalan tersendiri yang harus dicari solusinya. Terkait hal tersebut, salah satu kebijakan pemerintah ialah mendorong upaya-upaya penggunaan sumber-sumber energi alternatif lainnya yang dianggap layak dilihat dari segi teknis, ekonomi, lingkungan hidup, dan terbarukan salah satunya bahan bakar nabati (biofuel) dan energi berbasis biomassa seperti cogeneration pabrik gula. Pemerintah telah mengatur kebijakan energi nasional melalui Peraturan Presiden (Perpres) Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2006. Hal ini dilakukan untuk menjamin keamanan pasokan energi nasional dalam rangka mendukung pembangunan yang berkelanjutan. Salah satu sasarannya adalah penggunaan bahan bakar nabati (biofuel) pada tahun 2025 mencapai lebih dari 5% dari keseluruhan pasokan energi nasional. Begitu juga dengan penggunaan energi baru dan energi terbarukan lainnya, khususnya biomassa, nuklir, tenaga air, tenaga surya, dan tenaga angin diharuskan lebih dari 5%1. Pemanfaatan energi suatu industri yang mandiri energi seperti di pabrik gula dapat dilakukan melalui efisiensi pemanfaatan energi dan diversifikasi energi yang dimiliki sehingga dapat turut mensukseskan kebijakan energi nasional. Potensi Energi Pabrik GulaKebutuhan energi untuk mengolah tebu menjadi gula dapat dipenuhi oleh pabrik gula itu sendiri yang berasal dari ampas tebu. Ampas tebu merupakan sumber biomassa potensial untuk menghasilkan energi listrik (cogeneration). Menurut Kurniawan dan Santoso (2009), potensi kelebihan ampas tebu pada pabrik gula dengan kapasitas 5.000 TCD (Ton Cane per Day) mencapai 90.000 ton dalam satu musim giling dengan hari giling 180 hari atau setara dengan 34.483 MWH (Megawatt Hour). Secara nasional, potensi produksi listrik pabrik gula yang bisa digali dalam jangka pendek atau menengah diperkirakan mencapai 379.310 MWH dari surplus ampas tebu2. Hal ini merupakan potensi energi yang cukup besar sehingga surplus energi listrik ini dapat dimanfaatkan untuk industri lain atau dijual ke Perusahaan Listrik Negara (PLN) seperti yang terjadi di beberapa negara seperti Brazil. Disamping dapat menghasilkan listrik dari surplus ampas tebu, pabrik gula juga menghasilkan produk samping berupa molase atau tetes tebu yang digunakan sebagai bahan baku produksi bioethanol. Saat ini, ethanol menjadi salah satu produk favorit pensubstitusi bahan bakar minyak seperti bensin, karena memiliki kelebihan dibandingkan dengan bahan bakar fosil dan zat aditif bensin. Selain mengandung 35% oksigen sehingga dapat meningkatkan emisi pembakaran, ethanol juga ramah lingkungan karena emisi gas buangnya rendah kadar CO, NOx, gas rumah kaca seperti CO2, serta logam berat dan senyawa karsinogenik. Sebagai bahan pensubstitusi bensin, etanol dapat diaplikasikan dalam bentuk campuran dengan minyak bensin, misalnya 10% etanol dicampur dengan 90% bensin (gasohol E10) atau digunakan 100% (E100) sebagai bahan bakar3. Pada tahun 2006, produksi ethanol nasional mencapai 200 juta liter. Saat ini, di Indonesia terdapat sembilan perusahaan dengan kapasitas produksi total 133.632 kiloliter. Dua dari sembilan perusahaan tersebut memproduksi ethanol dengan spesifikasi untuk bahan bakar atau bioethanol fuel grade, yaitu PT. Bukitmanikam Subur Persada di Lampung dan PT. Indo Acidama Chemical di Surakarta. Total kapasitas produksi kedua perusahaan tersebut mencapai 93.282 kiloliter per tahun4. Ampas tebu dan tetes tebu merupakan bahan baku sumber energi potensial yang dimiliki pabrik gula. Jelas jika keduanya dimanfaatkan secara optimal akan menjadi potensi energi yang luar biasa serta dapat menghasilkan keuntungan bagi perusahaan.
Pemerintah telah mengatur kebijakan energi nasional melalui Peraturan Presiden (Perpres) Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2006. Hal ini dilakukan untuk menjamin keamanan pasokan energi nasional dalam rangka mendukung pembangunan yang berkelanjutan. Salah satu sasarannya adalah penggunaan bahan bakar nabati (biofuel) pada tahun 2025 mencapai lebih dari 5% dari keseluruhan pasokan energi nasional. Begitu juga dengan penggunaan energi baru dan energi terbarukan lainnya, khususnya biomassa, nuklir, tenaga air, tenaga surya, dan tenaga angin diharuskan lebih dari 5%1. Pemanfaatan energi suatu industri yang mandiri energi seperti di pabrik gula dapat dilakukan melalui efisiensi pemanfaatan energi dan diversifikasi energi yang dimiliki sehingga dapat turut mensukseskan kebijakan energi nasional.
Potensi Energi Pabrik GulaKebutuhan energi untuk mengolah tebu menjadi gula dapat dipenuhi oleh pabrik gula itu sendiri yang berasal dari ampas tebu. Ampas tebu merupakan sumber biomassa potensial untuk menghasilkan energi listrik (cogeneration). Menurut Kurniawan dan Santoso (2009), potensi kelebihan ampas tebu pada pabrik gula dengan kapasitas 5.000 TCD (Ton Cane per Day) mencapai 90.000 ton dalam satu musim giling dengan hari giling 180 hari atau setara dengan 34.483 MWH (Megawatt Hour). Secara nasional, potensi produksi listrik pabrik gula yang bisa digali dalam jangka pendek atau menengah diperkirakan mencapai 379.310 MWH dari surplus ampas tebu2. Hal ini merupakan potensi energi yang cukup besar sehingga surplus energi listrik ini dapat dimanfaatkan untuk industri lain atau dijual ke Perusahaan Listrik Negara (PLN) seperti yang terjadi di beberapa negara seperti Brazil.
Disamping dapat menghasilkan listrik dari surplus ampas tebu, pabrik gula juga menghasilkan produk samping berupa molase atau tetes tebu yang digunakan sebagai bahan baku produksi bioethanol. Saat ini, ethanol menjadi salah satu produk favorit pensubstitusi bahan bakar minyak seperti bensin, karena memiliki kelebihan dibandingkan dengan bahan bakar fosil dan zat aditif bensin. Selain mengandung 35% oksigen sehingga dapat meningkatkan emisi pembakaran, ethanol juga ramah lingkungan karena emisi gas buangnya rendah kadar CO, NOx, gas rumah kaca seperti CO2, serta logam berat dan senyawa karsinogenik. Sebagai bahan pensubstitusi bensin, etanol dapat diaplikasikan dalam bentuk campuran dengan minyak bensin, misalnya 10% etanol dicampur dengan 90% bensin (gasohol E10) atau digunakan 100% (E100) sebagai bahan bakar3.
Pada tahun 2006, produksi ethanol nasional mencapai 200 juta liter. Saat ini, di Indonesia terdapat sembilan perusahaan dengan kapasitas produksi total 133.632 kiloliter. Dua dari sembilan perusahaan tersebut memproduksi ethanol dengan spesifikasi untuk bahan bakar atau bioethanol fuel grade, yaitu PT. Bukitmanikam Subur Persada di Lampung dan PT. Indo Acidama Chemical di Surakarta. Total kapasitas produksi kedua perusahaan tersebut mencapai 93.282 kiloliter per tahun4. Ampas tebu dan tetes tebu merupakan bahan baku sumber energi potensial yang dimiliki pabrik gula. Jelas jika keduanya dimanfaatkan secara optimal akan menjadi potensi energi yang luar biasa serta dapat menghasilkan keuntungan bagi perusahaan.